Wednesday, 26 November 2014

Inovasi Hijau: Pasukan Khusus Penghancur Sampah Organik

Oleh: ANGGER PUTRANTO
Ribuan lalat memenuhi ruangan berbentuk rumah berukuran 7 meter x 7 meter setinggi 3 meter. Di depannya tertulis rearing house. Sebagian lalat hinggap di jaring-jaring sebagai dinding, sebagian lagi menghinggapi dedaunan pisang di ruangan itu. Itulah pasukan khusus lalat hitam pengurai sampah organik.
Sejumlah spons basah diletakkan di sudut lantai ruangan. Jaringan pipa air dan ujung penyemprotnya terpasang di atas. Semua itu untuk menjaga ruangan tetap lembab sehingga lalat nyaman tinggal.
Tepat di samping kanan rearing house atau rumah pembesaran itu berdiri bangunan berbentuk rumah ditutupi jaring-jaring lebih gelap yang biasa disebut reactor house. Tak hanya lalat di ruangan itu. Namun, ribuan bahkan jutaan larva (belatung/maggot) sangat mudah dijumpai di tumpukan sampah.
Reactor house adalah tempat larva menikmati santapan sampah kegemarannya. Kendati berada di sekitar ruang banyak sampah dan larva, tak perlu menutup hidung. Sampah itu hampir tak berbau.
Lalat dan larva di kedua ruangan itu bukan datang sendiri karena ada tumpukan sampah. Binatang yang sering dipandang menjijikkan itu sengaja didatangkan dan dikembangbiakkan Guru Besar Riset Ekonomi Pertanian Agus Pakpahan (58) dan Perusahaan Gula PT Gunung Madu Plantations. Lalat dan larva itu mendapat tugas khusus mengurai sampah di area perkebunan dan rumah tinggal milik perusahaan gula tertua di Lampung itu.
Hermetia illucens
Saat ini, sampah menjadi ancaman masyarakat. Tak hanya berdampak buruk bagi kesehatan lingkungan, sampah juga membutuhkan lahan luas.
Pekan lalu, Kompas melihat proses pengembangbiakan Hermes illucens dan bagaimana lalat-lalat hitam itu mengurai sampah rumah tangga dan sampah sisa pengolahan tebu. Serangga asli kawasan Amerika Utara itu diklaim sanggup mengurangi 80 persen sampah rumah tangga dan 10 persen limbah pengolahan tebu. Sampah sisa penguraian bisa dijadikan pupuk organik.
Hermetia illucens merupakan jenis serangga keluarga lalat yang jauh beda dengan lalat sampah (Musca domestica) pada umumnya dengan sifat yang tak dimiliki lalat lain. Masa dewasanya kurang dari delapan hari, yang ditujukan mencari pasangan dan bertelur. Tahap nonmakan lalat dewasa bersayap tanpa bagian mulut itulah alasan utama mengapa lalat-lalat itu tak dikaitkan dengan penularan penyakit kepada manusia.
Bahkan, larva atau maggot Hermetia illucens dapat membunuh dan menekan populasi bakteri jahat, misalnya Salmonella dan E. coli, serta mampu mengolah limbah organik sangat cepat.
Maggot juga mengandung protein dan lemak tinggi sehingga baik digunakan sebagai pakan unggas atau ikan. Sisa kotoran maggot juga bisa dijadikan pupuk organik, padat atau cair.
Secara fisik, lalat hitam ini bertubuh lebih panjang dan ramping dibandingkan lalat umumnya. Tubuhnya mengilap, geraknya lambat. Jika dikembangbiakkan khusus dan jumlahnya mendominasi, lalat lain, seperti lalat hijau dan lalat sampah, akan menyingkir.
Agus menjelaskan, Hermetia illucens relatif mudah dikembangbiakkan. Tidak perlu perlakuan khusus. Dalam siklus hidupnya, lalat ini bisa bermigrasi secara mandiri saat bermetamorfosis dari fase maggot ke prepupa.
Siklus hidupnya relatif singkat, sekitar 40 hari. Fase metamorphosis terdiri dari fase telur selama 3 hari, maggot 18 hari, prepupa 14 hari, pupa 3 hari, dan lalat dewasa 3 hari. Lalat itu mati setelah kawin.
Hermetia illucens betina bisa menghasilkan 300-1.000 telur. Lalat jenis ini menyembunyikan telur di tempat aman, seperti di sela-sela kardus atau tumbuhan segar dan hidup.
Banyaknya telur membuat khawatir terjadi ledakan populasi. “Overpopulasi sangat sulit karena predatornya sangat banyak. Kandungan protein Hermetia illucens membuat burung, kadal, cecak, laba-laba, dan tupai gemar menyantap,” kata Agus, yang sudah meneliti biokonversi sampah sejak 2010.
Pasukan pengurai
Kemampuan Hermetia illucens mengurai sampah tak perlu diragukan lagi. setiap ekornya rata-rata menghasilkan 500 maggot dalam satu siklus hidupnya. Apabila ada 20 ekor, nantinya aka nada 10.000 maggot.
Dalam satu hari, 10.000 maggot mampu mengurai 1 kilogram sampah rumah tangga (sisa makanan) dalam 24 jam dan menyisakan 200 gram sampah terurai yang biasa disebut bekas maggot (kasgot). Kasgot dapat langsung dimanfaatkan sebagai pupuk organik.
Sementara itu maggot yang baru saja menyelesaikan tugas mengurai sampah, dalam tiga hari akan bermetamorfosis menjadi prepupa (fase puasa). Prepupa memiliki kandungan protein hingga 45 persen, lemak 35 persen. Dengan kandungan protein tinggi, prepupa dapat dimanfaatkan sebagai pakan unggas dan ikan.
Guna menjaga populasi dan siklus Hermetia illucens, Agus tak sepenuhnya menjadikan prepupa sebagai pakan. Ia menyisakan 3 persen prepupa agar melanjutkan siklus hidupnya menjadi pupa dan lalat dewasa.
Tak hanya mengurai sampah dan sumber protein bagi ternak, biokonversi sampah menggunakan lalat hitam itu juga mampu menyuburkan tanah. Perusahaan gula PT Gunung Madu Plantations membuktikannya.
Di perusahaan gula itu, pasukan lalat hitam mengurai sisa endapan hasil pengolahan tebu (blotong) hingga 10 persen. Apabila maggot mengurai 10 kilogram blotong, maka dihasilkan 9 kg pupuk organik dari blotong.
Dalam satu tahun, PT Gunung Madi Plantations mendapat 80.000 ton blotong dari sisa produksi gula. Mereka juga akan dapat 72.000 ton pupun organik.
“Pupuk hasil penguraian maggot Hermetia illucens ternyata berdampak positif bagi perkebunan kami. Lapisan olah yang semula memiliki ketebalan 10  cm kini bertambah jadi 14 cm. kadar nitrogen dalam tanah juga meningkat 37.6 persen dari semula 0,9 kini menjadi 1,2,” kata Manager Umum, Bisnis, dan Keuangan PT Gunung Madu Plantations Gunamarwan.
Agus dan Gunamarwan berharap biokonversi sampah itu bisa menular, baik di permukiman warga maupun perusahaan perkebunan. Tahun 2011, sampah masyarakat Indonesia 80.000 ton per hari (Kompas, 15/11/2013). Jumlah itu meningkat tahun 2014, mencapai 200.000 ton per hari.
Tahun 2025, dengan prediksi jumlah penduduk 270 juta jiwa, diperkirakan aka nada 270.000 ton sampah per harinya. Asumsinya, per orang menghasilkan 0,5 kg-1,5 kg sampah per hari (Kompas, 7/3).
Di tengah berbagai upaya memerangi sampah, pasukan khusus lalat hitam sudah dan siap diterjunkan.
Kompas, Minggu, 22 November 2014

Akademi Militer: Hubungan Huang Pu-Nusantara

Di Pulau Chang Zhou di kawasan delta Sungai Mutiara, kota Guangzhou, Provinsi Guangdong, berdiri Akademi Militer Huang Pu yang melahirkan para tokoh militer dan pemimpin Tiongkok modern yang tidak hanya menyimpan sejarah Tiongkok, tetapi juga hubungan dengan kepulauan Nusantara.
11441452721792_1.jpg
Pada halaman depan dekat pintu masuk Kesatrian Huang Pu, terdapat batu bertuliskan aksara Han Zi (kanji) berisi nama para alumnus Angkatan I hingga Angkatan VII.
Sejak berdiri tahun 1924, Akademi Militer Huang Pu (Huang Pu Jun Xiao - 黄埔军校) atau Akademi Militer Whampoa menjadi simbol sejarah kepulauan Nusantara alias Insulinde atau Indonesia pra-kemerdekaan dan perang kemerdekaan Republik Indonesia. Sejarawan Didi Kwartanada dari Yayasan Nation Building (Nabil) menjelaskan adanya pemuda-pemuda peranakan Tionghoa dari Pulau Jawa yang masuk Akademi Militer (Akmil) Whampoa.
Pendiri akademi itu adalah Bapak Tiongkok Modern, Sun Yat Sen, yang juga mendapat masukan dari tokoh komunis Henk Sneevliet asal Belanda yang sebelumnya di Hindia-Belanda (Indonesia masa penjajahan) banyak mendampingi kaum buruh dan memperjuangkan keadilan sosial versi komunis, hingga akhirnya diusir Pemerintah Hindia-Belanda.
Sejarawan Bonnie Triyana mengisahkan, Henk Sneevliet yang dikenal di Tiongkok sebagai Maring juga menjadi salah satu tokoh penting pendirian Partai Komunis Tiongkok yang kini menjadi salah satu kekuatan politik dunia.
Pendirian Akademi Militer Huang Pu menjadi sarana perjuangan Tiongkok modern dan juga bangsa-bangsa lain yang bersimpati pada gagasan anti imperialisme dan penjajahan. Pada masa Perang Sino-Japan, semakin banyak pemuda Tiongkok dan mancanegara uang datang membantu Pemerintah Tiongkok di bidang militer serta bantuan kemanusiaan, termasuk dari kepulauan Nusantara yang masih menjadi kawula jajahan Belanda.

Jenderal dan politisi

Yang Jian Yu, guru dari Guang Xi International Youth Exchange, mendampingi Kompas melihat batu peringatan berisi nama-nama alumni Akmil Huang Pu. Tokoh-tokoh yang dikenal di Indonesia seperti Lin Biao dan Zhou En Lai adalah alumni Akmil Huang Pu. Zhou En Lai berhubungan erat dengan Soekarno dalam Konferensi Asia-Afrika, serta sama-sama memperjuangkan gagasan Asia-Afrika yang merdeka, mandiri, bermartabat, dan berkepribadian. Sesuai gagasan Trisakti yang diperjuangkan Bung Karno.
Sebelum perang kemerdekaan Republik Indonesia, sejumlah alumnus Huang Pu datang ke Pulau Jawa. Beberapa orang di antara mereka terlibat dalam perang membela “Panji Merah Putih”. Dalam buku Tionghoa Dalam Sejarah Kemiliteran terbitan Penerbit Buku Kompas (PBK), terungkap adanya sosok Kho Sien Hoo asal Fujian yang menjadi salah satu pemimpin dalam Pertempuran Palagan Ambarawa. Pramoedya Ananta Toer mencatat dalam biofrafi Ghanda Winata Bangkit serta Pantang Menyerah: Kisah Nyata Inspiratif Seorang Prajurit, Pendidik, dan Pebisnis Tionghoa diungkapkan Surjo Budihandoko alias Kho Sien Hoo menjadi Komandan Tertinggi Laskar Rakyat Magelang dan Kedu. Kho memimpin BKR merampas senjata Nakamura Butai serta melawan Inggris-Gurkha dan NICA di Palagan Ambarawa.
Ghanda Winata, mantan perwira TNI AL berdarah Tionghoa yang pernah menjadi instruktur mantan Dan Korps Marinir Mayor Jenderal (Purn) Djoko Pramono, mengisahkan, mertuanya datang ke Jawa bersama dua alumnus Akmil Whampoa.
“Temannya yang lain adalah Lim Tjiang Kee dan Lim Sun Kho,” kata Gandha yang namanya telah direhabilitasi setelah turut menjadi kambing hitam Orde Baru pasca peristiwa 1965.
Sejarawan Universitas Makau, Akiko Sugiyama, yang fasih berbahasa Indonesia mengaku belum mendengar adanya kajian mendalam tentang para pemuda dari Jawa yang tahun 1930-an masuk Akmil Huang Pu, dan di sisi lain alumni Huang Pu yang aktif terlibat dalam upaya membantu kemerdekaan Indonesia dan negara-negara lain di Asia Tenggara.
Didi Kwartanada mengingatkan, bagian sejarah yang terlupakan antara Huang Pu dan Nusantara itu merupakan salah satu simpul perekat Indonesia-Tiongkok seperti diperjuangkan Bung Karno sewaktu Indonesia berdiri dengan poros Jakarta-Peking. Sejarah itu adalah salah satu faktor perekat dua bangsa besar. Bangsa yang besar juga tidak melupakan jasa para pejuangnya… (IWAN SANTOSA, dari Guangzhou, Tiongkok)
Kompas, Minggu, 23 November 2014

Tambang Banyak Merugikan

Penambangan Timah Rusak Lingkungan Pesisir
PALEMBANG, KOMPAS – Kegiatan tambang dinilai masih lebih banyak merugikan masyarakat di sekitarnya daripada meningkatkan kesejahteraan. Kerugian ini baik dari kerusakan lingkungan yang berakibat pada hilangnya mata pencaharian masyarakat maupun banyaknya tunggakan penerimaan negara.
1223205780x390.jpg
Aktivitas tambang timah yang dibuka dalam areal hutan lindung pantai Air Putih, Bangka Barat, Kepulauan Bangka Belitung. (Kompas/Kris Razianto Mada)
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Bangka Belitung, Ratno Budi mengatakan, masifnya kapal isap untuk menambang timah di kawasan pesisir Pulau Bangka mengakibatkan kerugian pada sekitar 45.000 nelayan. “Pendapatan mereka dari nelayan turun drastis karena lingkungan pesisir rusak,” katanya seusai monitoring dan evaluasi pertambangan mineral di Palembang, Sumatera Selatan, Jumat (21/11).
Karena tak mempunyai pilihan lain, saat ini ribuan nelayan beralih profesi sebagai pekerja ataupun pengelola tambang timah. Hal ini justru memicu kerusakan lingkungan Bangka kian parah sehingga pemulihan lingkungan diperkirakan memakan waktu hingga raturan tahun. Dikhawatirkan, saat timah sudah habis, warga Bangka Belitung akan kehilangan mata pencaharian sementara sumber daya alam sudah rusak.
Dalam kesempatan itu, Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Zulkarnain mengatakan, menurut kajian Kementerian Lingkungan Hidup terhadap kegiatan tambang di sembilan kabupaten dan kota, baru satu daerah yang bernilai positif. Artinya, sebagian besar pertambangan baru menguntungkan pengusaha dan pekerjanya, tetapi justru merugikan masyarakat.
Kajian ini dilakukan di Bangka Barat, Bangka Timur, Bogor, Kanowe Utara, Morowali, Tanah Bumbu, Tanah Laut, Kutai Kartanegara, dan Kutai Timur. Hanya kegiatan tambang di Bogor yang memberi nilai tambah atau menguntungkan bagi masyarakat. Reklamasi pun, kata Zulkarnain, masih sangat minim dilakukan pada bekas tambang.
Direktur Eksekutif Walhi Sumsel Hadi Jatmiko mengatakan, nilai kerugian akibat tambang di Sumsel pada 2010-2013 diperkirakan lebih dari Rp 248 miliar, di Jambi Rp 50,5 miliar, dan di Bangka Belitung Rp 6,6 miliar. “Ini baru dihitung dari tunggakan pemasukan negara dari nilai lahan yang belum masuk. Belum dihitung dari sisi kerusakan lingkungan,” katanya.
Aktivis Wahana Bumi Hijau, Adios Syafri, mengatakan, dari sisi kesejahteraan pun, kegiatan tambang di Kabupaten Musi Banyuasin tak berbanding lurus dengan kesejahteraan masyarakatnya. Musi Banyuasin merupakan salah satu kabupaten yang paling banyak mengeluarkan izin usaha pertambangan (IUP) yang pada 2013 mencapai 69 IUP. Namun, tingkat kemiskinan di kabupaten ini masih sangat tinggi, mencapai 18,02 persen dari total jumlah penduduk atau sekitar 34.277 jiwa.
Ditutup
Di Maluku, Pemerintah Kabupaten Buru akhirnya menutup penambangan liar di Gunung Botak. Aktivitas tersebut telah menimbulkan korban jiwa dan kerusakan lingkungan. Semua pihak, termasuk TNI dan Polri, berkomitmen mendukung penutupan tersebut.
896a26b898234db0b924b756bafc8b40.jpg
Kondisi sebagian besar wilayah Gunung Botak di Kabupaten Buru, Provinsi Maluku, hancur akibat penambangan emas liar, Minggu (8/11/2015). Seorang petambang sedang memberikan kode kepada petambang yang lain. Lebih dari 1.000 orang tewas akibat kecelakaan kerja dan dibunuh sesama petambang. Selain itu, banyak warga terpapar merkuri yang digunakan untuk mengolah hasil tambang.(Kompas/Fransiskus Pati Herin)
Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Sekretariat Daerah Kabupaten Buru Istanto ketika dihubungi Kompas dari Ambon, Jumat, mengatakan, penutupan tersebut resmi dilakukan oleh Gubernur Maluku Said Assagaff. Assagaff bersama rombongan tiba di lokasi tambang pada Kamis lalu.
Penambangan mineral emas di Gunung Botak merupakan penambangan rakyat yang mulai massif pada 2011. Areal yang ditambang seluas lebih kurang 250 hektar. Jumlah petambang tidak terdata, tetapi diperkirakan pernah mencapai lebih kurang 10.000 orang.  Hampir 90 persen petambang dari luar daerah itu.
Istanto mengatakan, areal tambang kini sudah mulai dikosongkan setelah ratusan aparat gabungan TNI dan Polri melakukan penyisiran. Tenda petambang, lubang galian, dan tempat pengolahan emas setengah jadi sudah dipasangi garis polisi. Semua peralatan tambang tradisional itu akan disita.
Berdasarkan catatan Kompas, pada awal bulan ini, empat petambang di Gunung Botak tewas. Kuat dugaan, mereka tewas akibat perebutan areal tambang.
Selain menimbulkan korban jiwa, aktivitas itu juga berdampak pada pencemaran lingkungan. Sungai Wai Apu yang berada di sekitar lokasi serta Teluk Kayeli yang menjadi muara sungai tersebut tercemar merkuri. Merkuri digunakan petambang untuk memisahkan emas dengan batuan mineral lainnya.
Sementara itu, di Kalimantan Barat, warga Dusun Belatung, Desa Tanjung Lokang, Kecamatan Putussibau Selatan, Kabupaten Kapuas Hulu, yang semula menambang emas secara liar, terancam krisis pangan karena nyaris tak berpenghasilan. Warga bahkan meminta Dinas Pendidikan Kapuas Hulu mengizinkan anak mereka tidak sekolah selama dua bulan untuk ikut berladang guna memenuhi kebutuhan pangan.
Camat Kecamatan Putussibau Selatan Serli, Jumat, mengatakan, di Dusun Belatung ada 23 keluarga atau 95 jiwa. Dalam rapat yang dipimpin Bupati M Nasir, kemarin, pemkab memutuskan memberikan bantuan bahan pangan kepada warga Dusun Belatung. Pemkab segera menyalurkan bantuan tersebut kepada masyarakat. (IRE/FRN/ESA)
Kompas, Sabtu, 22 November 2014

Melatih Kejujuran dari Kios Bensin

Saat harga premium di tingkat pengecer naik menjadi Rp 9.000 per botol, apa yang dilakukan Abdul Mukti (56), seorang penarik becak, merupakan sebuah solusi. Hanya dengan uang Rp 2.000, warga bisa mendapatkan setengah botol kecil premium di Kios Bensin Kejujuran yang didirikan di Jalan Veteran, Mojoroto, Kota Kediri, Jawa Timur.
1525385bensin-jujur780x390.jpg
Abdul Mukti (56), pemilik kios bensin kejujuran di Kota Kediri, Jawa Timur.(Kompas/M.Agus Fauzul Hakim)
Jarum jam menunjuk kepas pukul 12.00, Kamis (20/11), saat Agung (15) dan Andika (15) yang berboncengan sepeda motor merapat ke kios Bensin Kejujuran (BK). Agung yang masih duduk di bangku kelas II salah satu SMP di Kediri itu langsung memasukkan satu lembar uang Rp 10.000 usang ke dalam stoples plastik yang tertempel di salah satu sisi rak kayu tempat premium.
Agung lalu mengambil uang kembalian senilai Rp 7.000 sembari memungut salah satu botol bekas saus makanan yang berisi premium yang ditempeli tulisan Rp 3.000. Tidak lama kemudian Mukti menghampiri keduanya sembari menanyakan, apakah mereka berdua tahu alasan dia menjual premium dengan harga murah disertai embel-embel kejujuran.
Mukti pun menjelaskan bahwa ingin mengajarkan generasi muda tentang pentingnya kejujuran. “Saya selalu memberi wejangan kepada pembeli premium yang sebagian besar merupakan siswa agar mereka tahu arti kejujuran,”ujarnya.
Kedua pembeli mengaku apa yang dilakukan Mukti sangat membatu mereka. Sebagai pelajar dengan uang saku terbatas, keduanya bisa mendapatkan bahan bakar dengan harga terjangkau meski volume premium yang dapat sekitar 0,3 liter.
Di rak dagangan Mukti terdapat belasan botol premium seharga Rp 2.000, Rp 3.000, Rp 4.000, Rp 5.000, Rp 6.000, Rp 7.000, Rp 8.000 sampai Rp 9.000. Isi botol disesuaikan dengan harga.
Tak berbanding lurus
Kios Bensin Kejujuran Mukti berdiri 18 Juni 2011. Berawal dari melihat pengendara sedang menuntun sepeda motor pada malam hari lantaran kehabisan premium, membuat lelaki kelahiran 29 Oktober 1958 tergerak hatinya untuk menyediakan bahan bakar yang bisa diakses siapa saja, kapan saja, dengan harga terjangkau oleh semua kalangan. Saat itu, Mukti masih berjualan nasi goreng di tenda, persis di seberang jalan kiosnya saat ini.
Upaya Mukti berjualan bensin dengan cara yang tak lazim pun kala itu mendapat respons masyarakat yang sebagai besar merupakan siswa. Maklum, Jalan Veteran dan sekitarnya merupakan sentra pendidikan di Kota Kediri. Ada belasa sekolahan di kawasan itu, mulai dari SD sampai SMA.
Sayangnya upaya Mukti tidak berbanding lurus dengan kenyataan. Saat awal kios bensin sering merugi. Namun, perkembangannya selalu dicatat dalam buku harian. Mukti mencontohkan pada 1 Mei 2012, ia pernah merugi Rp 35.000. “Pada periode 18 Juni 2011 sampai 1 Mei 2013, saya rugi 319 botol. Pembeli yang membayar kurang dari harga yang ditentukan mencapai 793 botol,” ujar Mukti yang mengaku bisa menjual sekitar 60 liter premium dalam waktu tiga hari sampai empat hari.
Selain tak membayar, membayar tetapi kurang, serta berutang tetapi tidak melunasi, Mukti juga mengalami perlakuan kurang menyenangkan. Bahkan, ada pembeli yang membayar dengan uang kertas mainan. Hal ini terjadi karena pembeli memang tidak diawasi. Mukti hanya mengandalkan kejujuran.
Perlahan tetapi pasti kesadaran pembeli terus membaik. Kerugian mulai berkurang, bahkan hampir tidak pernah terjadi lagi. “Hanya saja minggu lalu masih ada pembeli, anak sekolah, yang mengambil dua botol bensin seharga Rp 1.000 dan Rp 2.000 tetapi hanya membayar Rp 500,” katanya.
Mendapat perlakukan kurang menyenangkan tidak membuat Mukti marah dan berkecil hati. Ia pun tidak pernah mengeluarkan sumpah serapah terhadap pembeli yang tidak jujur. “Saya tidak berpikir soal keuntungan, tetapi bagaimana masyarakat bisa terbantu. Saya tidak kecewa jika ada yang tidak jujur. Hanya saya berpikir, kok, mereka tidak takut dosa ya. Mereka generasi muda. Bahaya nanti kalau jadi pejabat tinggi, bisa korupsi,” ujarnya.
Selain bensin kejujuran, ayah tiga anak – yang salah satunya kini tengah menuntut imu di Universitas Airlangga, Surabaya, (beasiswa) dan satu lagi masih sekolah di SMA 6 Kediri (juga beasiswa) – itu juga pernah membuka warung kejujuran pada pertengahan 2013.
Di warung yang buka 24 jam dan menjual mi instan dan aneka kopi itu, pembeli diberi kebebasan untuk memasak dan membayar makanan. Warung itu sendiri hanya bertahan lima bulan sebab lokasinya dipakai untuk membangun kios permanen yang ada saat ini. Kios itu dipakai untuk menjual seragam sekolah yang kini dikeloloa oleh anak pertamanya.
Ke depan, Mukti yang pernah mendapat penghargaan atas dedikasinya melatih kejujuran dari Polres Kediri Kota dan Anugerah dari Persatuan Wartawan Indonesia Kediri itu ingin tindakannya bisa menginspirasi dan ditiru banyak orang. Penirunya diharapkan tak hanya ada di Kediri, tetapi juga daerah lain dengan jenis jualan berbeda.
“Sepertinya, kok, sejauh ini belum ada yang meniru ya? Apa mereka tidak berpikir sampai ke situ.” Kata Mukti sembari menambahkan, jika sebenarnya ada pihak-pihak yang merasa kurang sreg dengan caranya berdagang. Cara seperti ini dianggap bisa mematikan usaha orang lain yang menjual barang sejenis.
Sri Wahyuni, akademisi dari Universitas Islam Kadiri yang juga manta pemuda pelopor bidang pendidikan, mengatakan, apa yang dilakukan Mukti merupakan langkah bagus untuk menanamkan pendidikan karakter kepada generasi muda, utamanya soal kejujuran. Meski terlihat kecil, hal itu bisa diterapkan di lingkungan yang lebih luas. (WER)
Kompas, Sabtu, 22 November 2014  

Wednesday, 19 November 2014

Ezetimibe sebagai Antikholesterol Alternatif

Setelah sempat dinyatakan Ezetimibe tidak bermanfaat pada tahun 2006, penelitian terbaru yang dipresentasikan pada pertemuan American Heart Association, Senin, 15 November 2014, mengindikasikan bahwa obat ini dapat menurunkan tingkat LDL. Penelitian tersebut melibatkan 18.144 pasien risiko tinggi, dengan tingkat LDL antra 50-125 mg/dL, yang secara acak diberi statin dan kombinasi statin-ezetimibe selama enam tahun. Pada akhir masa pengujian, pasien yang diberi statin tunggal memiliki tingkat rata-rata LDL 69.9 mg/dL, sedangkan pasien yang mendapatkan kombinasi statin-ezetimibe 53.2 mg/dL. Disebutkan pula, tidak ada masalah keamanan yang ditemukan selama trial dan tidak ada perbedaan signifikan pada kejadian terkait otot atau kanker.

Tuesday, 18 November 2014

Pancasilais Gadungan

Oleh JE SAHETAPY
Great man are almost always bad man. Lord Acton
Sudah lama saya bergumul dengan hati nurani saya, melihat dan menyimak sepak terjang para pemimpin kita. Mereka, secara sadar atau tidak, bermuka dua.
Mereka itu para politikus tengik dan para birokrat munafik yang terlibat korupsi. Entah dengan sengaja atau tidak, karena desakan perut atau karena ada kesempatan, mereka tak lain adalah para pejabat negara yang licik dan licin bagaikan belut. Pada waktu upacara peringatan Proklamasi Kemerdekaan, mereka bahkan tampak begitu serius dan seperti penuh tanggung jawab.
Mereka itu semua sesungguhnya - meminjam ungkapan kolonial - bukan "beroemd" (terkenal dalam arti baik), melainkan justru "berucht" (kesohor dalam arti jelek). Ironisnya, keterkenalan dalam arti jelek itu tanpa diikuti rasa malu dan rasa bersalah.
Demikian pula secara mutatis mutandis "seorang politikus, bukan politisi", yang tanpa rasa malu muncul dengan gagasan licik bahwa Pancasila itu adalah pilar. Apa arti "pilar"? Maksud atau tujuannya apa?
Terlepas dari nafsu membusungkan dada (secara terselubung), dari mana ia dapat ilham satanis untuk gembar-gembor bahwa Pancasila itu "pilar"! Baik dalam pidato-pidato Bung Karno, tulisan-tulisan Bung Karno yang dibukukan, tulisan-tulisan Ruslan Abdulgani, seperti "spreekbuis" (juru bicara) Bung Karno, maupun komentar-komentar Bung Hatta sebagai wakil proklamator dan seorang negarawan besar tanpa cacat-cela, terlepas dari tulisan Tempo dalam edisi khusus Muhammad Yamin (18-24 Agustus 2014), apakah bisa ditemukan bahwa Pancasila itu pilar?
Pancasila adalah "staatsfundamenteelnorm" (Belanda) dan secara "eo ipso" adalah "Weltanschauung" (Jerman) bangsa dan negara Republik Indonesia yang diproklamirkan pada 17 Agustus 1945. Titik! Itulah sebabnya, kalau ada gagasan amandemen UUD 1945, haram untuk menyentuh Preambul atau Mukadimah UUD 1945.
Dye dan Zeigler dalam The Irony of Democracy (1970) menulis antara lain bahwa "The underlying value of democracy is... Individual dignity... Another vital aspect of classic democracy is a belief in the equality of all men". Jadi jelas, nilai yang mendasari demokrasi tak lain adalah martabat individu. Dan, aspek penting lain dari demokrasi (klasik) adalah keyakinan dalam kesetaraan untuk semua orang.
Suatu undang-undang yang dipersiapkan dengan cara-cara yang buruk, dengan motivasi patgulipat secara terselubung dengan tujuan bombastis yang tak etis, pasti akan hancur atau gagal dalam waktu dekat atau kurang dari satu dekade. Dalam bahasa kolonial disebut legislatieve mikbaksel, keburukan legislatif.
Hal itu terjadi di republik ini beberapa kali karena orang-orang yang terlibat menganggap diri mereka orang-orang santun dan beragama. Suatu pretensi yang memalukan, terutama pada era reformasi dengan sebutan gagah: "politik pencitraan". Di belakang itu semua ada power struggle, perebutan kekuasaan, terselubung bermuka dua atau lebih: semacam dokter Jekyll and Mr Hyde. Dengan berbagai dalih, demi kekuasaan dan uang, yang tidak perlu disebut, bagaimana mungkin mau disebut bahwa politik itu "suci". Amboi!
Tanpa basa-basi (rencana) UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) adalah salah satu contoh yang transparan tentang legilatieve mikbaksel. Apalagi kalau disimak tentang ”naweeËn”-nya (akibat yang meresahkan) yang bertalian dengan pemilu, pilpres, dan proses rebutan kursi, baik intern maupun antarpartai.
Menurut Kompas (27 Agustus 2014), ada sejumlah pihak yang tentu berkepentingan secara politis, terlepas dari legal standing-nya, kini sedang mengajukan pengujian terhadap UU No 17/2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Jadi, ada beberapa pihak yang berkepentingan.
Selanjutnya, Kompas, memberitakan bahwa Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) dibubarkan, yang membuat Siswono Yudo Husodo sebagai Wakil Ketua Badan Kehormatan DPR terkejut. Untuk itu,Anda jangan tanyakan mengapa yang bersangkutan sampai terkejut. Demikian pula secara mutatis mutandis mengapa seolah-olah UU MD3 sebagai suatu "entitas siluman". Ini yang dalam bahasa Latin disebut sebagai "sic vos non vobis", yang dalam bahasa kolonial berarti "zoo (werkt) gij, maar het is niet voor u". Arti bebasnya: "begitulah Anda (bekerja), tetapi itu bukan untuk  Anda". Tra-la-la-la!
Dalam pada itu dinamakan dinamika sosial-politik, sosial-ekonomi, dan campur tangan terselubung dari luar, permainan yang menyangkut hajat hidup orang kecil dan masyarakat lapisan bawah, korupsi yang masih harus dibasmi oleh KPK sampai ke akar-akarnya masih terus berfermentasi. Sementara itu, proses pembusukan terus berlangsung dan kunci peti pandora tampa seperti sudah ditemukan. Kita berharap agar apa yang semula tidak bisa dibawa ke pengadilan semoga dapat dibongkar sampai bersih dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Namun, yang membuat saya heran, masih ada para akademisi dan beberapa gelintir pada cendekiawan yang masih memiliki animositas (kebencian) terhadap KPK. Lalu, kapan negara dan bangsa ini akan sejahtera?
JE SAHETAPY
Guru Besar Emeritus
Kompas, Sabtu, 15 November 2014

Monday, 17 November 2014

Agama dan Warga Negara

Oleh TEUKU KEMAL FASYA
Berapa agama yang ada di Indonesia? Jika Anda menjawab enam, berarti masih harus dipertanyakan pengetahuan Anda terhadap bangsa ini.
Indonesia tidak semata negara berbenteng maritim dengan belasan ribu pulau dan ratusan etnis, tetapi juga juntaian mutiara agama dan keyakinan yang begitu banyak, beragam, dan berwarna. dalam perjalanan sejarah, agama dan keyakinan yang banyak itu tumbuh bersamaan dengan etnis dan kebudayaan tempatan menjadi oase peradaban Nusantara yang harmonis.
Gambaran kerukunan dan saling menghormati bukan sekadar legenda untuk membagus-baguskan lembar sejarah. Hubungan antara "agama arus utama" - yang biasanya menjadi agama kerajaan lokal - dan agama minoritas tidak tersekat oleh hubungan resmi-nonresmi, tetapi hubungan saling memerlukan dan menjaga.
Politisasi agama resmi
Sejarah mencatat, eksistensi umat Hindu dan Khonghucu di dalam naungan Kerajaan Aceh atau komunitas Muslin di Bali berlangsung mesra. Hampir tidak ada nila sejarah terkait aksi pasifikasi, diskriminasi, dan terminasi. Kampoeng Tjina dan Kampoeng Keling telah dikenal sejak era Kerajaan Aceh abad XVII serta menjadi pusat perdagangan dan kebudayaan.
Di Bali, komunitas Muslim Sasak Lombok menggelari penggawa atau bangsawan Karangasem Bali, Ratu Made Bengkel, dengan Baginda Ali. Mereka pun menggelari anak Made Bengkel, I Goesti Bagoes Oka, yang pernah menjadi  Gubernur Sunda Kecil pada era Republik Indonesia Serikat (RIS), dengan Baginda Usman. Itu terjadi karena jejak kebajikan mereka di Pulau Lombok. Usman dan Ali adalah dua nama khalifah empat (Khilafat al-Rasyidah) dalam sejarah Islam yang terkenal karena ide-ide reformisnya.
Ironisnya, ketegangan malah terjadi ketika negara Indonesia modern dan birokrasi pemerintahan menguat. Negara gagal memahami kemajemukan agama-agama historis-endemis itu. Pada era Orde Baru, agama resmi negara hanya lima. Di luar itu, dipaksa masuk ke dalam gugus "induk" atau menjadi gugus "kepercayaan" di bawah pembinaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Pada era pemerintahan Abdurrahman Wahid (20 Oktober 1999-23 Juli 2001), Khonghucu menjadi agama resmi keenam dan dibina oleh Kementerian Agama. Namun, masih saja terjadi ketegangan karena reformasi status kewarganegaraan (citizenship status) tidak bergerak secepat perubahan sosial-politik nasional. Masih terlihat kekerasan legal, kultural, dan sosial yang menimpa agama-agama non-enam. Padahal, posisi mereka otonom, bukan sub-sekte atau mazhab yang boleh diindukkan ke dalam agama enam.
Contoh yang paling nyata ialah masih kuatnya gerakan penolakan terhadap Ahmadiyah dan Syiah untuk beribadah. Mereka juga tidak diakui sebagai bagian dari keluarga besar Islam. Penolakan itu wujud dari ketidakpahaman atas dua "mazhab" itu dalam sejarah Islam, termasuk kehadirannya di Indonesia. Sejarah organisasi Ahmadiyah sesungguhnya lebih tua dibandingkan dengan Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah di Indonesia. Dalam catatan disebutkan, Ahmadiyah Qadian masuk melalui Tapaktuan, Aceh, 2 Oktober 1925, dan kemudian menyebar ke Sumatera Barat serta seluruh Indonesia,
Demikian pula ketakpahaman atas agama minoritas lainnya. Agama Kaharingan pada masa Orde Baru dimasukkan sebagai agama Hindu. Diskusi saya dengan Pak Ayal, tokoh Kaharingan Dayak Meratus, saat konferensi nasional Jaringan Antariman Indonesia, di Sentani, Papua, Mei lalu, menunjukkan pengelompokan Kaharingan ke dalam Hindu sangat ceroboh. Menurut Pak Ayal, agamanya mengenal sosok Adam sebagai "manusia suci", seperti dalam kitab agama-agama Ibrahim.
Komunikasi saya dengan Pak Ongko Wijaya, pimpinan Majelis Tinggi Agama Khonghucu Indonesia (Matakin), membuka pikiran tentang sejarah Khonghucu yang lebih tua daripada sejarah Buddha Tiongkok. Ia terentang tali sejarah lebih dari 5.000 tahun. Ini tentu saja menakjubkan, bagaimana agama historis setua itu baru dipahami dan diakui sebaru ini di Indonesia. Ketidakpahaman publik nasional atas keberadaan agama-agama minoritas itu berpadu dengan tindakan komunikasi banal publik di sosial media sehingga muncul distorsi atas agama-agama yang kebetulan mendiami tubuh etnis minoritas menjadi agama ilegal. Komunikas kebencian itu menjadi jalan pembenaran kemaran dan pameran brutalisasi dan penyesatan, baik verbal maupun fisikal (Thomas W Simon, Ethnic Identity and Minority Protection, 2012:269).
Pintu darurat
Masalah kini, ketegangan masih berlanjut terutama wacana agama resmi versus agama tak resmi. Jika memakai nalar kewarganegaraan, penganut agama resmi secara normatif akan mendapatkan haknya sebagai warna negara.Sebaliknya, penganut agama tidak resmi memperoleh derita akibat terputusnya kewajiban negara kepadanya. Sebagai warga negara penganut agama resmi, saya tidak pernah merasakah dilema itu. Namun, bayangkan, jika Anda adalah penganut agama yang tidak resmi itu. Berapa ton derita yang akan menimpan pundak dan pikirian?
Hasrat untuk menikah, beribadah, membeli properti, dan hubungan sosial kerap menjadi aksi kriminal dibandingkan dengan urusan domestik-ekonomika biasa. Status agama tidak resmi otomatis tidak teregistrasi ke dalam status kependudukan, seperti kartu tanda penduduk (KTP), akan menjadi problem hukum, sosial, dan budaya yang harus ditanggung seumur hidup. Problem-problem inilah yang sebenarnya ingin diurai melalui kebijakan pemerintah untuk tidak memaksakan status agama pada kolom KTP.
Sikap pemerintah cq Kementerian Dalam Negeri dalam mewujudkan kebijakan itu pun bukan serta-merta. Kebijakan itu adalah konklusi imperatif undang-undang yang seharusnya dieksekusi sejak lama. Keputusan boleh mengosongkan kolom status agama dalam KTP sudah termaktub dalam UU No 23/2006 Pasal 64 tentang Administrasi Kependudukan. Ketika UU itu diamandemen jadi UU No 24/2013, pasal itu masih dipertahankan dengan sedikit perubahan redaksional yang tak mengubah substansi (Pasal 64 Ayat (5)). Keliru ketika pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono tak menjalankannya.
Pilihan itu harus dilihat sebagai langkah taktis menangani hilirisasi dampak pengabaian negara atas agama-agama tidak resmi itu. Terobosan sudah dilakukan Menteri Agama Lukman Hakin Saifuddin pada akhir masa pemerintahan SBY dengan mengakui agama Bahai sehingga bisa jadi pintu darurat untuk mengakui agama-agama lainnya sebagai agama resmi negara. Untungnya, Lukman kembali terpilih pada Kabinet Kerja Jokowi-JK sehingga bisa meneruskan pekerjaan perlindungan dan pemenuhan hak-hak agama-agama yang "diminoritaskan" itu.
Piihannya sebenarnya sederhana, bagaimana semua keyakinan dan agama-agama historis yang lahir dari degup teologis dan kultural bangsa ini bisa hidup nyaman di Indonesia: rumah bagi kita semua.
TEUKU KEMAL FASYA
Antropolog Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe; Pegiat Jaringan Antariman Indonesia
Kompas, Sabtu, 15 November 2014