Sunday, 17 November 2019

Terusan Suez, Jalur Vital

Oleh MUSTAFA ABD RAHMAN
Nilai strategis Mesir secara geopolitik dan ekonomi serta-merta menjulang tinggi dengan memiliki Terusan Suez yang hari ini, Minggu, 17 November 2019, genap berusia 150 tahun.
Terusan Suez dibuka pada 17 November 1869 untuk menghubungkan Laut Tengah dengan Laut Merah mengantarkan Mesir. Jalur ini menjadi perlintasan vital lalu lintas laut internasional. Ini sekaligus membuatnya memiliki daya tawar politik dan ekonomi yang tinggi di mata dunia.
Ada pemeo baku selama ini. Ada dua kepentingan strategis Barat dan Amerika Serikat di Timur Tengah yang berpotensi memicu perang, yaitu Israel dan minyak. Namun, sesungguhnya harus ditambah satu lagi, yaitu keamanan jalur pasok minyak dari kawasan Teluk Persia ke Eropa dan AS, yang praktis melalui Terusan Suez.
Selama ini, hampir 40 persen suplai minyak ke Eropa dan AS lewat dari Teluk yang diangkut tanker melalui Selat Hormuz dan Bab al-Mandeb. Sisanya, 60 persen, melalui jaringan jalur pipa dari Arab Saudi Timur ke Pelabuhan Yanbu di Laut Merah, yang kemudian diangkut tanker menuju AS dan Eropa.
Baik pasokan minyak yang menggunakan jalur Selat Hormuz maupun Pelabuhan Yanbu, keduanya bermuara di Terusan Suez. Oleh karena itu, Terusan Suez memiliki nilai strategis sebagaimana Selat Hormuz dan Bab al-Mandeb.
Ketiga hal itu sejatinya adalah satu kesatuan gugusan jalur laut. Jika salah satunya terganggu, yang lain ikut terganggu atau lumpuh. Karena itu, Mesir sangat berkepentingan pada keamanan Terusan Suez karena kanal itu menjadi jalur pasok minyak ataupun komoditas lainnya dari Teluk Persia atau negara Asia menuju Eropa atau AS.
Semua Presiden Mesir sejak era Gamal Abdel Nasser hingga Abdel Fatah el-Sisi selalu menggemakan slogan, keamanan Teluk Persia adalah keamanan Mesir. Slogan itu memberi pesan bahwa keamanan Teluk Persia–notabene adalah keamanan suplai minyaknya–sangat terkait dengan Terusan Suez yang menjadi salah satu nadi pasokan menuju Barat.
Itulah yang mendorong Mesir terlibat dalam Perang Teluk tahun 1991 demi mengusir Irak dari Kuwait. Dengan menduduki Kuwait, Mesir beranggapan Irak mengancam keamanan Mesir dan akan mengganggu suplai minyak serta melumpuhkan Terusan Suez.
Dalam perspektif lain, demi Terusan Suez, Mesir harus menjalin hubungan baik dengan semua negara di lingkar Laut Merah, seperti Arab Saudi, Sudan, dan Yaman, agar Laut Merah dan Bab al-Mandeb aman, yang pada akhirnya mengamankan Terusan Suez.
Pengamat politik Mesir, Salah Jumah, mengatakan, Mesir secara permanen menempatkan dua fregat dan satu kapal selam di Bab al-Mandeb untuk mengamankan Terusan Suez.
Menurut Jumah, Mesir siap berperang dengan siapa pun yang mencoba mengganggu jalur Laut Merah karena, jika jalur laut Merah terganggu, Terusan Suez akan lumpuh. Demikian pula, demi keamanan Suez, Jumah mengatakan, Mesir pun kini bermain mata dengan al-Houthi di Yaman agar milisi itu tidak mengganggu Bab al-Mandeb.
"Tambang emas"
Pendek kata, bagi Mesir, Terusan Suez–memiliki panjang sekitar 193 kilometer dari selatan ke utara dan lebar 280-345 meter dengan kedalaman 22 meter–tak ubahnya ayam bertelur emas. Dalam laporan fiskal 2017-2018, Terusan Suez meraup pendapatan 5.585 miliar dollar AS.
Terusan Suez masuk dalam empat besar sumber devisa Mesir, selain pariwisata, minyak, dan transfer gaji warga Mesir (pekerja di luar negeri).
Demi menggenjot devisa dari Terusan Suez, Presiden Abdel Fatah el-Sisi pun meresmikan jalur baru sepanjang 72 kilometer di kanal itu pada 6 Agustus 2015. Dengan penambahan itu, jumlah kapan yang melintas pun naik dari hanya 49 kapal sehari saat ini menjadi 97 kapal sehari pada 2023. Peningkatan jumlah kapal yang melintas diproyeksikan akan menambah pendapatan devisa dari 5 miliar dollar AS menjadi 13,2 miliar dollar AS.
Adalah seorang diplomat dan sekaligus arsitek Perancis, Ferdinand de Lesseps, yang mewujudkan impian manis rakyat Mesir sejak era Mesir kuno, yaitu  memiliki terusan yang menghubungkan Laut Merah dan Laut Tengah.
Ferdinand de Lesseps tiba di Mesir pada 1854 dan berhasil meyakinkan penguasa Mesir saat itu, Said Pasha, untuk mengizinkan memulai penggalian terusan penghubung Laut Tengah dengan Laut Merah.
Pembangunan Terusan Suez berlangsung 10 tahun dari 1859 hingga 1869 dengan melibatkan satu juta pekerja. Sebanyak 120.000 di antaranya tewas karena beragam peristiwa dalam masa pembangunan.
Mimpi rakyat Mesir untuk memiliki terusan dimulai sejak era Raja Khakaure Senusret III (1878-1860 BC) dari Dinasti Mesir Kuno ke-12. Dalam catatan sejarah, Raja Senusret III disebut memerintahkan rakyatnya membangun parit dari Sungai Nil di sekitar Luxor (ibu kota Mesir Kuno) menuju Laut Merah untuk menghubungkannya dengan Laut Tengah. Mimpi itu terus berlanjut hingga era Islam pada masa Khalifah Harun al-Rashid dari Dinasti Abbasia (786-809 M).
Setelah terhenti sekian ratus tahun, ide baru muncul kembali ketika misi Perancis yang dipimpin Napoleon Bonaparte tiba di Mesir pada 1798. Namun, realisasi pembangunan Terusan Suez baru terwujud di tangan Ferdinand de Lesseps. 
Sejak dibuka pada 1869, Terusan Suez berada di bawah kontrol Perancis dan Inggris hingga Presiden Mesir Gamal Abdel Nasser menasionalisasi Terusan Suez pada 26 Juli 1956.
Langkah itu memicu perang antara Mesir melalwan trio negara yakni Inggris, Perancis, dan Israel.
Pasca perang Arab-Israel pada 1967, Terusan Suez ditutup selama 8 tahun. Terusan Suez dibuka kembali pada 1975 oleh Presiden Mesir Anwar Sadat.
Kompas, Minggu, 17 November 2019

1 comment: