Friday, 13 December 2019

Asia dan Fenomena Lajang

Oleh ADHITYA RAMADHAN
Di tengah geliat kinerja ekonomi Asia yang terus berkembang, muncul fenomena hidup melajang yang dalam perspektif demografi menghadirkan tantangan besar bagi beberapa negara.
Bonnie Lee tidak lagi peduli soal target mencari pacar. Ia bahkan memutuskan untuk tidak menikah. "Saya perempuan yang tidak tertarik lagi memiliki hubungan dengan laki-laki," tegasnya.
Lee kini berusia 40-an hidup dengan anjingnya di dekat Seoul, Korea Selatan, selalu merasa ada banyak kerugian dibandingkan keuntungan dari sebuah pernikahan. "Berpendidikan tinggi juga menjadi faktor minus seorang perempuan dalam pernikahan. Dan yang terpenting bagi perempuan apakah ia bisa mengurus suami dan mertuanya," ujar Lee bergelar dua gelar master itu. "Dalam pernikahan, hidup kita sebelum menikah dan pengalaman kerja tidak dianggap."
Seorang perempuan Korea Selatan, Yoon Ji-hye, berpose saat wawancara dengan kantor berita AFP di pusat perbelanjaan Myungdong, Seoul, Kamis (10/10/2019). Saat ini makin banyak perempuan Korsel menolak norma partriarki yang kaku dan bersumpah tidak akan menikah, tidak memiliki anak, tidak menjalin hubungan, bahkan tidak berhubungan seks.
Lee menyaksikan teman yang berpendidikan menghadapi masalah di tempat kerja dan di rumah setelah memiliki anak.
Lee tidak sendiri. Kian banyak perempuan Korsel menolak norma patriarki yang kaku dan bertekad tidak menikah, bahkan tidak berhubungan intim. Lebih jauh, sekarang, mereka mendorong gerakan feminis "4B" atau "Four Nos" untuk no dating, no sex, no marriage, dan no child-rearing. Diperkirakan 4.000 orang mengikuti gerakan ini.
Satu dekade lalu, hampir 47 persen perempuan lajang dan belum menikah di Korsel berpikir bahwa menikah penting. Namun, tahun lalu angka itu terjun menjadi 22,4 persen. Jumlah pasangan yang menikah merosot dari 434.900 tahun 1996 mejadi 257.600 pada 2018. Kanal Youtube feminis yang menampilkan boikot pernikahan dan pengasuhan anak memiliki pelanggan lebih dari 100.000.
Selain gerakan 4B, muncul juga gerakan "Escape the Corset", sebuah gerakan melawan standar cantik Korsel yang ketat. Beberapa anggotanya membagikan video yang memperlihatkan mereka menghancurkan semua koleksi kosmetika.
Menurut sosiolog dari Stanford University, Amerika Serikat, Shin Gi-wook, 4B dan Escape the Corset merupakan bentuk radikal gerakan feminis di Korsel. "Empat kategori, yaitu pernikahan, pengasuhan, kencan, dan berhubungan seks, sering kali menempatkan perempuan dalam posisi subordinat laki-laki. Apa yang ditampilkan dengan penggunaan korset juga sama, perempuan harus tampil cantik untuk menyenangkan laki-laki," kata Shin.
Fenomena itu membuat angka kesuburan (total fertility rate/TFR), jumlah anak yang dilahirkan seorang perempuan sepanjang hidupnya, turun menjadi 0,98 tahun 2018, jauh dari 2,1 yang diperlukan agar struktur usia populasi penduduk stabil.
Pemerintah Korsel memperkirakan jumlah penduduknya, sekarang 55 juta jiwa, akan turun menjadi 39 juta jiwa tahun 2067, separuhnya berusia 62 tahun ke atas. Pemerintah pun berusaha mempromosikan pernikahan dengan menawarkan tunjangan perumahan dan bunga kredit pemilikan rumah yang rendah bagi pengantin baru.
Fenomena
Ketika konstruksi sosiokultural menempatkan perempuan seolah menjadi makhluk nomor dua di Korsel, di Jepang, tekanan ekonomi yang tinggi membuat orang lebih memprioritaskan kestabilan finansial ketimbang membangun keluarga.
Mengenakan pakaian rapi, para lajang berkerumun mengelilingi meja-meja di sebuah ruangan. Mereka adalah para pencari jodoh. Dengan berbincang kecil dan bertukar kisah pribadi, mereka berusaha mencari pasangan hidup.
Salah satunya perempuan berusia 38 tahun yang menolak menyebutkan namanya. Ia mengatakan, "Tak memiliki keberanian untuk mencari pasangan hidupnya." Ibunya yang kini tinggal serumah dengannya mengantar dia ke forum pencarian jodoh itu.
"Saya tidak memiliki banyak kesempatan bagus bertemu seseorang," jelasnya. "Di tempat kerja saya banyak perempuan tetapi laki-lakinya sedikit."
Sosiolog dari Chuo University, Tokyo, Prof Masahiro Yamada, mengatakan, norma orang lajang tinggal dengan orang tuanya hingga menikah berarti dorongan untuk segera mendapatkan jodoh tidak kuat.
"Mereka pikir, memiliki hubungan dengan seseorang yang tak sesuai tipe mereka hanya akan buang-buang waktu saja." Akibatnya, mereka akan menunggu seseorang yang lebih baik lagi. Menurut Yamada, mereka inilah "parasit lajang".
Seorang laki-laki berusia 74 tahun, yang mengantar putra berusia 46 tahun untuk mencari jodoh di pesta itu, mengatakan, "Satu lagi hambatan yang harus diatasi dalam mencari pasangan adalah mengatasi rasa malu."
"Anak saya seorang tenaga pemasaran. Dia sangat hebat menghadapi konsumen, tetapi dia sangat ragu dan malu-malu kalau berhadapan dengan perempuan," kata si ayah. Ia pun harus mengantarnya ke pesta itu karena anaknya terlalu sibuk dengan pekerjaannya.
Menurut data pemerintah, 1 dari setiap 4 penduduk Jepang yang berusia 20-49 tahun berstatus lajang. Seorang sosiolog dari Chukyo University, Prof Shigeki Matsuda, menyalahkan fenomena "hipergami" sebagai penyebab menurunnya angka pernikahan di Jepang.
Hipergami adalah sebutan bagi para perempuan Jepang yang cenderung mencari laki-laki dengan pekerjaan lebih mapan serta tingkat pendidikan lebih tinggi dibandingkan dirinya sendiri.
Beberapa dekade setelah Perang Dunia II, Jepang membangung perekonomian melalui perusahaan yang menawarkan pekerjaan yang menuntut dedikasi tinggi, pekerjaan seumur hidup. Namun, pola itu kini telah berubah.
Sejak awal 1990-an, rasio pekerja tak tetap dan kontrak telah meningkat dari sekitar 15 persen menjadi hampir 40 persen menurut data Kementerian Tenaga Kerja.
"Gaji lebih rendah dan meningkatnya pekerjaan yang tidak stabil–perasaan khawatir dipecat sewaktu-waktu–tidak membuat orang berpikir soal pernikahan dan membangun keluarga," tutur Shuchiro Sekine, seorang pimpinan serikat pekerja kontrak.
Penurunan angka pernikahan juga terjadi dalam lima tahun terakhir di China. Data Pemerintah China memperlihatkan, pada 2018, hanya 7,2 persen dari 1.000 orang menikah.
Menurut sosiolog Sandy To, perempuan pekerja profesional kerap menghadapi "diskriminasi" ketika mencari pasangan hidup. Laki-laki sulit menerima status ekonomi dan pendidikan yang lebih tinggi dari perempuan yang akan menjadi pasangannya.
Di sisi lain, banyak yang menilai bahwa sulitnya mencari pasangan bukanlah halangan bagi mereka untuk menjadi seorang ibu. Donor sperma adalah jalan keluarnya.
Salah satu contohnya Xiaogunzhu (39). Satu waktu perempuan itu membolak-balik halaman berisi foto-foto anak laki-laki berdarah Perancis-Irlandia bermata biru. Itulah katalog donor sperma yang potensial baginya. Ia menginginkan seorang anak, bukan mencari suami.
Pilihan pun ia jatuhnya pada donor nomor 14471 yang ada di laman bank sperma di California, AS. Ia pun terbang ke AS untuk memulai tahapan bayi tabung di sana sebab perempuan China yang belum menikah dilarang mengakses bank sperma dan menjalani proses bayi tabung di China.
"Ada banyak perempuan yang tak akan menikah sehingga mereka mungkin tidak bisa memenuhi misi fundamental biologis mereka. Namun, saya merasa jalan lain mulai terbuka'" ujarnya. Xiaogunzhu pun kini telah memiliki bayi berusia sembilan bulan yang diberi nama Oscar.
Xiaogunzhu yakin kehadiran seorang ayah tidaklah perlu. Ayahnya sendiri merupakan sosok seorang yang mengontrol dan sering marah hingga membuat gambaran tradisional sebuah keluarga dalam benaknya meredup.
Proses bayi tabung dari bank sperma yang dijalani Xiaogunzhu tidaknya murah. Mengandung janin dari bank sperma di luar China diperkirakan bisa menghabiskan biaya mulai dari 200.000 yuan atau sekitar 28.500 dollar AS.
Menjadi tantangan
Para ahli menyebut saat ini adalah abad Asia. Raksasa ekonomi China, Jepang, dan Korsel adalah penopang besar ekonomi Asia. Kemajuan dan pertumbuhan ekonomi yang mereka capai saat ini ditopang struktur penduduk muda dengan produktivitas tinggi.
Namun, pada masanya, mereka akan menjadi tua. Itulah sebabnya, menurut Global Age Index 2015, China, Jepang, dan Korsel, bersama Thailand, termasuk empat besar negara di Asia yang menua.
Struktur penduduk lansia yang besar dan menurunnya angka pernikahan dan kelahiran pada akhirnya menjadi tantangan yang harus dipecahkan negara-negara itu. Jika tidak, populasi lansia yang besar dan sumber daya manusia muda produktif yang terbatas justru akan menjadi beban. Lebih jauh, keberlangsungan negara itu ada dalam ancaman.
Kompas, Sabtu, 14 Desember 2019, halaman 4

No comments:

Post a Comment