Sebanyak 11.573 gempa bumi terekam di Indonesia sepanjang tahun 2019. Meski demikian, tak terjadi bencana geologi sebesar tahun-tahun sebelumnya. Korban jiwa, kehancuran, dan kerugian ekonomi lebih banyak diakibatkan oleh bencana hidrometeorologi.
Data Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menunjukkan, dari belasan ribu gempa bumi yang terjadi di Indonesia tahun ini, hanya 1.107 yang dirasakan. Sebanyak 344 gempa berkekuatan di atas M 5, dan 17 di antaranya menimbulkan kerusakan.
Berdasarkan tren 10 tahun terakhir, jumlah gempa bumi yang terdeteksi di Indonesia cenderung meningkat. Misalnya, pada 2009 jumlah gempa di Indonesia 4.390 kali dengan yang berkekuatan di atas M 5 sebanyak 645 kali. Sementara pada 2012 terjadi 6.730 kali gempa, 504 di antaranya berkekuatan di atas M 5.
Dari aspek frekuensi, jumlah gempa bumi tahun ini kalah banyak dibandingkan dengan 2018 yang mencapai 11.920 kali, dan 297 di antaranya berkekuatan di atas M 5.
Namun, tahun 2019 relatif sepi dari bencana geologi besar, baik yang dipicu gempa bumi besar maupun letusan gunung api. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, korban jiwa akibat gempa bumi sepanjang 2019 sejumlah 69 jiwa. Tahun ini tidak ada korban akibat letusan gunung api ataupun tsunami.
Jika ditotal, jumlah korban akibat bencana geologi dan hidrometeorologi di Indonesia tahun 2019 sebanyak 478 orang meninggal dan 109 orang hilang. Jumlah korban ini terkecil dalam lima tahun terakhir.
Jumlah korban jiwa ini bahkan tak ada sepersepuluhnya dibandingkan dengan 2018, dan di Indonesia saat itu menjadi negara dengan jumlah korban jiwa akibat bencana alam tertinggi di dunia. Dari total 10.373 korban jiwa di seluruh dunia, 4.535 orang di antaranya dari Indonesia dan mayoritas disumbangkan bencana geologi.
Laporan itu diterbitkan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengurangan Risiko Bencana (UNDRR) berdasarkan data Centre for Research on the Epidemiology of Disasters (CRED), EM-DAT (International Disaster Database). Laporan itu menyebutkan bencana geologi, yakni gempa, tsunami, dan gunung meletus, menewaskan 4.417 orang di Indonesia tahun 2018.
Bencana hidrometeorologi
Meski bencana hidrometeorologi seperti banjir, longsor, kekeringan dan kebakaran lahan, serta puting beliung mendominasi dari segi frekuensi kejadian, bencana geologi kerap memakan korban jiwa lebih banyak. Tahun ini, jumlah korban akibat bencana hidrometeorologi mendominasi.
Data BNPB menyebutkan, longsor menewaskan 117 orang dan 7 orang hilang, banjir menewaskan 260 orang dan 102 orang hilang. Sementara air pasang menewaskan satu orang, puting beliung menewaskan 21 orang, dan kebakaran hutan serta lahan menewaskan 10 orang.
Dari aspek ekonomi, bencana hidrometeorologi pada tahun ini juga menjadi penyebab utama kerugian, utamanya akibat kekeringan dan kebakaran hutan dan lahan yang merupakan terparah kedua dalam 10 tahun terakhir, setelah tahun 2015.
Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), jumlah lahan terbakar sepanjang 2019 mencapai 942.485 hektar (ha); sejumlah 269.777 ha berupa lahan gambut dan sisanya lahan mineral. Sebagaimana disampaikan Kepala BNPB Doni Monardo, kebakaran hutan dan lahan di Indonesia mayoritas sengaja dibakar secara sistematis (Kompas, 22 September 2019).
Akan tetapi, kekeringan panjang memperparah skala dan kemudahan kebakaran. Musim kemarau tahun 2019 lebih kering dibandngkan dengan rata-rata klimatologis 1981-2010. Kekeringan tahun ini hanya kalah dari kejadian ekstrem tahun 1997/1998 dan 2015 saat terjadi fenomena El Nino kuat.
Tingkat kekeringan meteorologis parah ditunjukkan periode tanpa hujan lebih dari tiga bulan merata di Nusa Tenggara, Bali, dan sebagian besar Jawa. Area Rumbangaru, Sumba Timur, mencatat rekor hari tanpa hujan terpanjang, yaitu 259 hari atau lebih dari 8 bulan.
Durasi musim kemarau 2019 di Indonesia secara umum lebih panjang dari normalnya. Ada 46 persen dari 342 Zona Musim di Indonesia mengalami musim kemarau lebih panjang 2 bulan dari normalnya. Hingga 20 Desember 2019, musim kemarau terjadi di Jawa Timur bagian timur, sebagian Sulawesi, sebagian Kepulauan Maluku, Papua Barat, dan Papua bagian selatan.
Tahun ini juga diwarnai dengan suhu tinggi di sejumlah wilayah. Rekor suhu terpanas 39,6 derajat celsius dicatat Stasiun Geofisika Kotabumi Lampung, pada 7 November 2019.
Suhu permukaan laut
Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menyatakan, salah satu faktor penyebab kekeringan tahun 2019 menjadi parah ialah suhu permukaan laut di Indonesia, terutama bagian selatan, lebih dingin 0,5 derajat celsius dibandingkan kondisi normal, Juni-November 2019.
Suhu permukaan laut yang lebih dingin itu bisa dikaitkan dengan aktifnya El Nino dan Indian Ocean Dipole (IOD) positif yang menguat sejak April sampai Desember tahun ini. Suhu permukaan laut lebih dingin memicu sulit tumbuhnya awan berpotensi hujan akibat kurangnya kadar uap air di atmosfer sebagai dampak rendahnya penguapan dari lautan.
Selain dinamika lokal dan regional, gejolak meteorologi yang terjadi di Indonesia tahun 2019 juga dipengaruhi fenomena global. Organisasi Meteorologi Dunia (WMO) menyebut suhu rata-rata tahun 2019 kemungkinan terpanas kedua atau ketiga dalam sejarah.
Tren pemanasan jangka panjang juga menunjukkan, suhu rata-rata periode lima tahun (2015-2019) dan 10 tahun (2010-2019) menjadi rekor tertinggi. Sejak 1980-an tiap dekade lebih hangat dari sebelumnya. Tren itu diperkirakan berlanjut karena gas rumah kaca yang terperangkap di atmosfer mencapai rekor tertinggi.
Tren data meteorologi ini menunjukkan iklim berubah. Gejolak cuaca yang bisa memicu bencana hidrometeorologi akan kian sering dan menguat. Belum lagi, perubahan perlahan seperti kenaikan muka air laut berdampak serius bagi Indonesia sebagai negara kepulauan.
Selain bencana hidrometeorologi diprediksi menguat, bencana geologi yang tak bisa diprediksi kapan terjadi menjadi ancaman terbesar negeri ini. Dinamika geologi relatif tenang tahun ini bisa bergejolak di tahun mendatang, apalagi banyak zona tektonik menyimpan energi gempa besar.
Kompas, Sabtu, 28 Desember, halaman 10
No comments:
Post a Comment