Oleh M ZAID WAHYUDI
Mendung tebal di langit timur Maba, Halmahera Timur, Maluku Utara, sejak Rabu (9/3) pagi. Beranjak siang, awan gelap itu justru berarak naik dan menutupi Matahari. Kontak pertama antara piringan Bulan dan piringan Matahari, tanda mulainya tahapan gerhana matahari di Maba, pun akhirnya terlewat. Bahkan, hujan turun 1 jam menjelang puncak gerhana.
Peneliti dari Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat memeriksa alat sembari menunggu awan yang masih menutupi Matahari di Maba, Halmahera Timur, Maluku Utara, Rabu (9/3). Pengamatan dan penelitian proses gerhana matahari total di Maba terganggu awan yang menutupi Matahari. (Kompas/Heru Sri Kumoro)
Natchimuthuk Gopalswamy, ketua tim peneliti Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA) untuk pengamatan gerhana matahari total (GMT) di Maba, sesekali berdiri dari kursinya dan menatap langit. Raut wajahnya tegang, cemas, dengan cuaca yang tak kunjung membaik. Meski bergerak perlahan, awan-awan penggantinya tak kalah tebal.
NASA berada di Maba untuk Ekspedisi Bersama GMT 9 Maret 2016 dengan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan).
Tim peneliti fisika Matahari NASA yang berbasis di Pusat Penerbangan Antariksa Goddard, Greenbelt, Maryland, AS, itu rela jauh-jauh menuju Maba, kota kecil dengan infrastruktur serba terbatas, untuk mengejar fase totalitas gerhana terlama yang bisa disaksikan dari daratan: 3 menit 20 detik.
”Ini 3 menit yang sangat penting bagi kami, yang menyiapkan penelitian setahun sebelumnya,” kata Gopalswamy.
Fase total terlama gerhana kali ini 4 menit 9 detik yang terjadi di satu titik di Samudra Pasifik di kawasan Federasi Mikronesia atau 560 kilometer tenggara Guam. Penelitian memang bisa di atas laut menggunakan kapal, tetapi itu tidak memberikan dudukan stabil pada teleskop sehingga sulit diperoleh data yang bermakna secara saintifik.
Selain itu, berdasarkan data meteorologi, potensi tutupan awan di Maba lebih rendah dibandingkan daerah lain yang dilintasi jalur totalitas gerhana. Namun, kenyataannya berbeda. ”Kita memang tidak bisa memprediksi keberadaan awan setiap saat,” ujar Gopalswamy.
Misi NASA kali ini mengukur temperatur elektron di korona dan kecepatan geraknya menjauhi Matahari yang akan dipimpin ahli fisika Matahari NASA, Nelson L Reginald. Korona adalah bagian Matahari yang masih diselimuti misteri. Meski korona adalah bagian terluar Matahari, suhunya bisa mencapai 1 juta derajat celsius. Padahal, suhu di permukaan Matahari hanya 5.500 derajat celsius.
Korona hanya bisa disaksikan saat GMT. Meski kini ada koronagraf yang bisa mengeblok sinar Matahari sehingga bisa membuat semacam ”gerhana” tiruan, alat itu punya keterbatasan. Koronagraf tak bisa digunakan mengamati korona bagian dalam yang terletak di dekat permukaan Matahari. Padahal, di sanalah tempat terbentuknya lontaran massa korona (CME). Karena itu, penelitian korona saat GMT tetap penting.
Penelitian tim Lapan juga terkait korona. Satu tim dipimpin Emanuel Sungging Mumpuni akan mengamati spektrum korona bagian bawah untuk mengetahui garis-garis emisi korona sehingga bisa memprediksi tingkat aktivitas Matahari pada siklus aktivitasnya saat ini. Satu tim lain yang dipimpin Rhorom Priyatikanto juga ingin mengetahui aktivitas Matahari, tetapi dilakukan mengambil citra korona dan menganalisis model korona yang diperoleh.
Harapan
Kemarin, 1 jam sebelum totalitas gerhana, hujan deras mengguyur lokasi penelitian di Pendopo, Alun-alun Maba. Sontak, peneliti NASA dan Lapan melindungi teleskop dan alat-alat. Namun, hujan kurang dari 10 menit itu ternyata mampu mengusir awan-awan yang menutupi Matahari hingga sesudahnya. Matahari pun menampakkan diri walau masih berselimut awan tipis.
Harapan Matahari akan terlihat penuh saat fase totalitas itu kembali muncul. Kondisi itu membuat para peneliti NASA dan Lapan bersemangat lagi. Meski Matahari tidak terus-terusan terlihat, peluang terlihatnya GMT masih tetap ada.
Meski demikian, hingga fase total gerhana berlangsung, langit tidak pernah benar-benar bersih. Ketegangan tim kian bertambah karena saat kegelapan menyelimuti Bumi dan menimbulkan decak kagum masyarakat yang turut menyaksikan gerhana, korona hanya terlihat putih tipis berbalut awan tebal di sekelilingnya. Ketegangan itu berubah kekecewaan saat terang lagi.
Kekecewaan terlihat jelas di wajah Reginald. Meski secara kasatmata korona terlihat, itu tidak cukup digunakan untuk penelitian ilmiah. ”Tak ada sama sekali data yang bisa diperoleh. Kami butuh korona yang benar-benar bebas dari awan. Tak mungkin mengambil data korona di belakang awan,” kata Reginald.
Terlebih lagi, itu untuk pertama kalinya tim NASA menggunakan kamera polarisasi yang bisa memisahkan elektron di korona dengan partikel lainnya. Namun, Gopalswamy senang kamera bisa bekerja dengan baik. Untuk itu, kamera akan diuji lagi pada GMT 21 Agustus 2017 yang akan melintasi seluruh daratan AS.
Demikian pula tim Lapan. Meski data saintifik gerhana kali ini tidak banyak didapat, pengolahan data yang akan dilakukan masih bisa menghasilkan sesuatu yang bermakna bagi ilmu pengetahuan. ”Lapan pun ingin bisa mengamati GMT di AS tahun depan. Apalagi, kerja sama Lapan dengan NASA sudah terjalin baik,” kata Sungging.
Meski demikian, ada satu hal yang berhasil dibuktikan tim Lapan dan NASA dari gerhana kali ini. Korona yang sempat diambil citranya menunjukkan bentuk simetrik. Korona di bagian utara dan selatan Matahari memang lebih pendek dibandingkan di bagian timur dan barat.
”Itu menunjukkan aktivitas Matahari sedang menuju penurunan dari maksimum menuju minimum,” kata Rhorom.
GMT 9 Maret 2016 memang sudah berlalu. Namun, pencarian para peneliti dan pemburu gerhana di mana pun tak pernah berujung. Matahari, sang bintang induk Tata Surya, masih menyimpan banyak misteri. Kegagalan satu kali gerhana bukan penghalang. Banyak gerhana lain yang bisa diteliti dan didatangi demi ilmu pengetahuan meski harus berjuang ekstra keras.
Kompas, Kamis, 10 Maret 2016
No comments:
Post a Comment