Tiga sosok wayang potehi itu mengerek bendera Merah Putih. Seiring dengan itu, mengalunlah lagu kebangsaan “Indonesia Raya” dari seluruh penonton. Itulah pembuka pentas Wayang Potehi Gagrak Baru di Gedung Cak Durasim, Surabaya, Jawa Timur, Jumat (20/2).
Pengibaran bendera Merah Putih sebelum pementasan Wayang Potehi Gagrak Baru yang mengangkat cerita Angkara Siluman Ketabang di Gedung Cak Durasim, Taman Budaya Jawa Timur, Surabaya, Jumat (20/2). (Kompas/Bahana Patria Gupta)
Wayang potehi menjadi medium pergaulan antarwarga dengan berbagai latar belakang. Potehi merekatkan elemen-elemen budaya, membentuk sosok barunya di negeri yang dihuni rakyat beragam etnis.
Wayang Potehi Gagrak Baru atau gaya baru dengan sutradara Hirman Kuardhani atau Dhani mengangkat cerita Angkara Siluman Kelabang. Pentas itu dibawakan oleh Komunitas Senjoyo Budhoyo dengan dukungan dari Yensen Project. Potehi diiringi gamelan Jawa dan instrumen musik Tiongkok. Lagu-lagu pengiring pertunjukan kebanyakan merupakan tembang Jawa, misalnya “Walang Kekek” dan “Jangkring Genggong” yang dipopulerkan oleh penyanyi Waldjinah.
Disebut Gagrak Baru karena ada elemen pertunjukan yang berbeda dengan wayang potehi yang ada sebelumnya. “Dalam pertunjukan ini saya coba mengakulturasikan wayang potehi dengan budaya Jawa,” kata Dhani.
Selain menjadi media pembelajaran tentang keberagaman budaya Indonesia, wayang potehi tersebut juga berupaya mencari bentuk baru dari wayang potehi agar bisa menjadi seni pertunjukan yang bisa diterima masyarakat luas, khususnya generasi muda.
Wayang potehi merupakan pentas teater boneka asal Tiongkok yang dulu dimainkan oleh orang-orang Tionghoa di Jawa. Wayang berwujud boneka tangan. Dalang menggerakkan karakter wayang dengan memasukkan jari-jari tangan ke dalam boneka. Pertunjukan biasanya mengambil cerita rakyat atau legenda yang berasal dari Tiongkok dengan iringan alat musik dari Tiongkok, seperti erhu, simbal, dan tambur.
Sebagian besar pendukung pentas tersebut, termasuk Dhani, bukan keturunan Tionghoa. “Kebanyakan yang terlibat dalam pentas ini adalah mahasiswa atau lulusan ISI (Institut Seni Indonesia) Yogyakarta,” kata Dhani yang mengajar di Jurusan Teater ISI Yogyakarta.
Sejak lama, tutur Dhani, wayang potehi sudah mengandung unsur-unsur akulturasi budaya Jawa dan Tionghoa. Hal itu, antara lain, ditandai dengan munculnya parikan atau peribahasa Jawa dalam sejumlah pentas wayang potehi. Beberapa sehu atau dalang wayang potehi, termasuk almarhum Thio Tiong Gie, kadang juga menyanyikan lagu-lagu Jawa yang diterjemahkan ke bahasa Hokkian saat pentas.
Menyadari adanya bibit-bibit akulturasi tersebut, Dhani lalu mengembangkan ide untuk mempertegas pembauran budaya Jawa dalam wayang potehi. Selain menyisipkan kultur Jawa dalam pentas Angkara Siluman Kelabang, Dhani juga menggunakan tiga dalang agar jumlah wayang yang ditampilkan dalam satu adegan bisa lebih banyak. Para dalang dalam pentas tersebut juga hanya bertugas menjalankan wayang, sementara suara para tokoh diisi orang lain.
Potehi Indonesia
Jauh sebelum wayang potehi Gagrak Baru muncul, warga di Gudo, Jombang, Jawa Timur, telah akrab dengan kesenian wayang potehi. Kita tengok Kelenteng Hong San Kiong di Gudo, Jombang. Jumat malam, halaman depan kelenteng memerah oleh cahaya lampion dan tiang-tiang kelenteng. Gerbangnya yang tidak berpintu membuat siapa saja bebas keluar-masuk.
Warga Kecamatan Gudo, Jombang, Jawa Timur, yang tumbuh dan besar dalam kebudayaan santri, menjadi dalang, cantrik dalang, dan perajin wayang potehi di Kelenteng Hong San Kiong. Wayang potehi tidak hanya menjadi pertunjukan, tetapi juga tempat hidup dan ruang persapaan jemaat kelenteng dan warga sekitar. (Kompas/Aryo Wisanggeni Genthong)
Di belakang bangunan utama, sebuah bangunan tak berdinding menjadi pusat keramaian malam itu. Orang-orang bersenda gurau, bertukar cakapan, menggarap puluhan karakter wayang potehi yang masih setengah jadi.
“Setiap malam, ya, begini. Kami, warga Gudo yang bukan jemaat kelenteng, berkumpul sambil menggarap wayang-wayang potehi ini,” kata Widodo Santoso (43), dalang potehi yang tengah menggosok halus kepala wayang potehi berbahan kayu.
Sebuah meja sepanjang 5 meteran yang dikepung para perajin penuh denga kepala-kepala karakter wayang potehi berbahan kayu, aneka cat, kertas ampelas, dan camilan. Di sana, Agustinus Leo (25), seorang ji jiu alias cantrik dalang wayang potehi, asal Semarang, sibuk mengecat kepala tokoh wayang potehi dengan cat merah dan putih.
Di Kelenteng Hong San Kiong, wayang potehi memang tak sekadar menjadi pertunjukan. Di sana, sejak 14 tahun silam, wayang potehi menjadi pengikat para jemaat kelenteng dengan para warga Gudo yang tumbuh dalam budaya santri. Wayang potehi menjadi ruang persapaan yang cair dan menyatukan.
“Bagaimana tidak membaur, semua perajin wayang potehi ini Muslim, setiap malam menggarap wayang di kelenteng. Semua orang, entah warga atau jemaat, keluar-masuk kelenteng dengan bebas. Kalau Ramadhan tiba, kami malah biasa bersantap sahur bersama di kelenteng,” ujar Widodo.
Toni Harsoni (45) ada di balik segala urusan wayang potehi di Kelenteng Hong San Kiong itu. Ia cucu Tok Su Kwie, dalang potehi kelenteng itu, dan anak Tok Hong Kie yang juga dalang potehi Kelenteng Hong San Kiong.
“Mendiang ayah saya guru dalang wayang potehi, tetapi menolak mengajari saya. Kata ayah saya, ‘Jadi dalang itu seperti wayang. Kalau pentas, gagah gemerlapan. Begitu selesai pentas, masuk kotak dan ditaruh begitu saja. Namun, saya mencintai potehi, mencoba melestarikan potehi dengan membuat sebanyak mungkin wayang potehi, saya pinjamkan ke mana-mana, gratis,” kata Toni.
Hasrat itulah asal-usul “pabrik” wayang potehi di Kelenteng Hong San Kiong yang nyaris tanpa henti memproduksi wayang potehi sejak 2001. Para penggarapnya adalah warga sekitar kelenteng dibantu para dalang dan cantrik dalang seperti Widodo dan Leo.
Namun, cerita membuminya Kelenteng Hong San Kiong di kalangan para santri di Gudo, Jombang, punya sejarah lebih panjang lagi. “Tidak ada yang tahu kapan kelenteng ini didirikan. Catatan rapat tertua di kelenteng ini bertahun 1926, menyebutkan rapat-rapat pengurus kelentang yang melibatkan warga dan pemerintah setempat,” kata Toni.
“Di masa represi Orde Baru – ketika perayaan tahun baru penanggalan Imlek, barongsai, dan wayang potehi dilarang penguasa – Kelenteng Hong San Kiong selalu bisa merayakan Imlek dan menggelar pertunjukan wayang potehi. Semua karena kelenteng kami bukan cuma dimiliki jemaat, melainkan juga warga Gudo,” kata Toni.
Sejak 2001, Toni mengenalkan istilah wayang potehi Indonesia yang dipentaskan terlepas dari segala bentuk ritual Khonghucu. Wayang potehi Kelenteng Hong San Kiong pun berkeliling ke mana-mana, termasuk Pondok Pesantren Tebu Ireng pada 2013 dan 2014. Kelenteng Hong San Kiong juga menjadi tuan rumah perayaan hari lahir KH Abdurrahman Wahid yang dihadiri Shinta Nuriyah Wahid dan KL Salahuddin Wahid.
Pada Desember 2014, mereka membuat festival 1.000 rebana bersama para santri di Gudo di depan kelenteng. Sekolah pertama yang mengundang pentas wayang potehi justru Lembaga Pendidikan Islam Al Iman. Kaum santri banyak yang menjadi dalang di kelenteng.
“Kami hadir dalam keseharian kehidupan kaum santri dan mereka pun hadir dalam keseharian hidup Kelenteng Hong San Kiong,” kata Toni.
Potehi hadir di rumah besar budaya negeri bernama Indonesia. (BAH/HRS/ROW)
Selintas sejarah
Pada masa Orde Baru, semua jenis seni Tiongkok sulit tampil di depan publik. Pada 6 Desember 1967, pejabat Presiden RI Soeharto menetapkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 14 Tahun 1967 tentang Agama, Kepercayaan, dan Adat Istiadat Cina. Agama, kepercayaan, dan adat-istiadat warga keturunan Tionghoa dilarang tampil di depan umum.
Gwon Se (24), mahasiswa asal Korea Selatan, bersama dua mahasiswi Program Studi Sastra Jawa pada Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, Rahma Setyawati (20) dan Meilia Afkarina (20), menjadi dalang wayang potehi dengan lakon "Sie Jin Kwie Lahir" di pinggir Danau Kenanga di area Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia pada Hari Kesaktian Pancasila, Kamis (1/10/2015). (Kompas/Nawa Tunggal)
Wayang potehi pun seperti masuk kotak karena hanya dimainkan di kalangan terbatas. Padahal, sebenarnya seni ini adalah hasil akulturasi dalam Tionghoa peranakan di Jawa.
Seni ini berasal dari Tiongkok bagian selatan. Dalam lafal Hokkian, kata “potehi” hasil gabungan dari “poo” (kain), “tay” (kantong), dan “hie” (boneka). Pentasnya berupa boneka yang dimainkan dengan tangan yang ditutupi kantong.
Pada mulanya, wayang ini dimainkan lima narapidana mati pada masa Dinasti Tang (618-907 Masehi). Mereka memainkan potehi untuk mengisi waktu dengan diiringi musik dari alat makan dan masak. Anehnya, seni ini menarik raja sehingga kelima narapidana itu dibebaskan.
Kesenian itu lantas berkembang hingga masuk Jawa sejak abad ke-17. Dwi Woro, dalam bukunya Wayang Potehi Gudo (2014), menyebutkan, potehi merupakan bentuk mini Opera Peking dengan ciri yang sama pada tata rias wajahnya. Wayang ini mirip wayang golek di Nusantara. Di Jawa, Potehi berkembang sebagai bagian dari ritual di klenteng untuk ibadah.
Keadaan baru berubah pada tahun 2000 saat Presiden KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur mencabut Inpres No 14/1967. Kegiatan keagamaan, kepercayaan, dan adat istiadat warga keturunan Tionghoa tidak memerlukan izin khusus seperti waktu sebelumnya.
Kompas, Minggu, 22 Februari 2015
Dengan tambahan:
Tunggal N. Kesenian Marjinal: Wayang Potehi dan Pancasila. Kompas, Sabtu, 3 Oktober 2015