Monday 3 August 2015

Daan Mogot dan Peristiwa Lengkong

Selama ini sering dengar nama jalan Daan Mogot. Nama ini pasti terasa asing untuk penduduk di Jawa. Setelah ditelusuri, ternyata Daan Mogot adalah nama seorang perwira yang gugur dalam usia belia. Nama aslinya adalah Elias Daniel Mogot. Lahir di Manado, pada 28 Desember 1927 (tanggal ini berdasarkan yang tertulis di batu nisan. Referensi yang ada umumnya menyebutkan 28 Desember 1928). Daan merupakan anak kelima dari tujuh bersaudara, dari pasangan Nicolaas Mogot dan Emilia Inkiriwang. Saudara sepupu Daan Mogot antara lain Alex Kawilarang (pernah menjabat Panglima Siliwangi, Panglima Besar Permesta), dan Gordon Mogot (mantan Kapolda Sulut) (Sandy, 2014).
Orang tua Daan pindah ke Jakarta pada 1939, dengan membawa serta anaknya. Pada 1942, saat berusia 15 tahun, Daan masuk PETA, organisasi militer pribumi bentukan Jepang. Batas usia untuk bisa masuk PETA sebenarnya adalah 18 tahun, tetapi karena badannya yang tinggi besar, tim seleksi percaya saat Daan Mogot menyatakan usianya sudah memenuhi persyaratan batas umur tersebut (MetroTV, 2015). Daan Mogot dapat lulus sebagai salah satu yang terbaik dan menjadi anggota angkatan pertama, bersama Zulkifli Lubis dan Kemal Idris. Mereka dilatih oleh Kapten Yanagawa, mulai dari perang gerilya hingga pemakaian senjata terbaru saat itu (Fadillah, 2014).
Karena prestasinya, Daan diangkat menjadi Shodanco, yang melatih para calon Daidan atau komandan battalion berpangkat mayor di Tabanan, Bali (1943-1944) (Fadillah, 2014). Selanjutnya, Daan Mogot dipindahkan ke Batavia, menjadi staf urusan pembinaan Tentara PETA (Bo-ei Giyugun Shidobu) di Markas Besar Tentara Keenambelas, Jakarta, bersama Kemal Idris, Daan Jahja, Oetarjo, Jopie Bolang dan Islam Salim (Saleh, 2009).
Daan Mogot (kanan) bersama Kemal Idris
Setelah proklamasi kemerdekaan, Daan Mogot dan rekan-rekannya dari Shidobu mendesak Mohammad Haata melalui Haji Agus Salim (ayak Islam Salim) dan Joesoef Jahja (kakak Daan Jahja), agar pemerintah yang baru ini segera membentuk tentara kebangsaannya dengan mengambil Daidan PETA sebagai intinya (Saleh, 2009).
23 Agustus 1945: Pembentukan BKR (Barisan Keamanan Rakyat). Namun, organisasi ini dinilai bukan merupakan organisasi tentara yang biasa.
5 Oktober 1945: Pembentukan TKR (Tentara Keamanan Rakyat), yang merupakan organisasi tentara kebangsaan Indonesia untuk pertama kalinya. Daan Mogot menjadi salah satu pemimpin TKR, dengan pangkat Mayor. Saat itu, usia Daan masih belum genap 18 tahun. Bersama Kemal Idris, Daan Jahja, Jopie Bolang, dan Islam Salim, Daan bergabung dengan Resimen TKR di Tangerang.
Dasar gagasan pembentukan MAT (Militaire Academie Tangerang) adalah kurangnya tenaga kader yang dapat memimpin pasukan di lapangan, sehingga diperlukan pencetakan perwira TKR baru, yang dalam waktu tidak lama sudah siap pakai di lapangan dan siap untuk diterjunkan langsung dalam pertempuran, mengingat Tanah Air sudah terancam keselamatannya dengan kehadiran tentara Belanda yang didukung Sekutu di Indonesia. Karena kebutuhan cepat ini, sistem pendidikan yang telah diterapkan Jepang dalam membentuk Shodanco pun diadopsi. Sistem pendidikan ini cukup singkat, hanya 4-6 bulan, sarana pendidikan sederhana, tapi hasilnya cukup memadai. Selain itu, untuk lebih menghemat waktu, untuk angkatan pertama dipilih calon-calon dari pelajar/mahasiswa, karena setidak-tidaknya mereka sudah pernah mendapat latihan kemiliteran di sekolah pada masa pendudukan Jepang (Saleh, 2009).
Tangerang dipilih menjadi lokasi MAT karena terdapat bekas tempat penggemblengan kader pemuda pilihan, yang dinamakan Seinendojo. Daan Mogot sebelumnya juga pernah dilatih di tempat tersebut. Jakarta saat itu tidak bisa dijadikan lokasi pendidikan tentara karena saat itu ibukota sudah dipenuhi dan dikuasai pasukan Belanda dan Sekutu. Selain itu, Tangerang juga merupakan tempat kedudukan Markas Resimen IV, yang menjadi tempat bernaung Daan Mogot.
Dalam persiapan pendirian MAT, Daan Mogot berhasil mendapatkan sejumlah pakaian seragam militer yang semula akan digunakan PETA dari rumah penjara Cipinang, yang dikepalai oleh ayahnya.
18 November 1945: Mayor Daan Mogot dilantik menjadi Direktur MAT. Daan Mogot terpilih menjadi direktur ini didasarkan pertimbangan sebagai salah satu Shodanco senior (PETA angkatan pertama), dianggap enerjik dan cakap, baik inteligensi maupun pribadinya. Daan Mogot dibantu mantan Shodanco lainnya, yakni Jopie Bolang, Endjon, dan Islam Salim, serta dua orang mantan pelatih Yugekitai di Lembang, yakni Tommy dan Otje Mochtar. Yugekitai adalah pasukan gerilya yang dipersiapkan Jepang untuk menghadapi tentara Sekutu. (Saleh, 2009)
Peristiwa Lengkong
Sebelum kejadian, dalam rangka untuk memiliki senjata yang masih ada di tangan pasukan Jepang di Lengkong, Resimen IV beberapa kali mencoba mengadakan pendekatan secara damai dengan komandan pasukan Jepang di daerah itu. Usaha terakhir dilakukan sekitar satu bulan sebelum peristiwa Lengkong, yang dilakukan oleh Letkol Singgih, Mayor Daan Mogot, dan Kapten Endjon, dengan cara menemui langsung Kapten Abe. Namun, usaha tersebut sia-sia karena pihak Jepang menolak, dengan alasan pihak Sekutu telah melarang penyerahan senjata ke pihak Indonesia, dan semua senjata yang ada sudah tercatat oleh pihak Sekutu. Kapten Abe bersikeras mengikuti instruksi dari Sekutu.
Rabu, 23 Januari 1946: Mayor Daan Jahja menghubungi Mayor Oetarjo di Kantor Penghubung Tentara di Jakarta untuk menginformasikan kesulitasn resimennya untuk mendapatkan senjata dari pasukan Jepang di Lengkong. Pada akhir November 1945 telah dilakukan persetujuan antara pihak Indonesia dan Sekutu bahwa tentara Jepang yang ada di daerah kekuasaan RI akan dilucuti dulu sebelum dipulangkan ke negaranya. Jadi, seharusnya Kapten Abe menyerahkan senjata pasukannya kepada TKR. Mayor Oetarjo dan Mayor Wibowo ada dalam pertemuan dengan pihak Sekutu tersebut, mendampingi Haji Agus Salim.
Sebagai tindak lanjut, Oetarjo berusaha menemui Letkol Miyamoto Shizuo, Perwira Staf Tentara XVI, yang bertanggung jawab atas pemulangan tentara Jepang di Jawa. Sayangnya, Miyamoto sedang berada di Bandung dan kemungkinan baru kembali ke Jakarta 2-3 hari kemudian.
Kamis, 24 Januari 1946: Daan Jahja mendapatkan informasi bahwa pasukan NICA menduduki Parung dan bersiap untuk merebut depot senjata tentara Jepang di Lengkong. Berita ini tidak bisa segera dikonfirmasi kebenarannya  karena sulitnya komunikasi dan koordinasi pada saat itu. Belakangan baru diketahui bahwa berita tersebut ternyata tidak benar. NICA baru dapat menduduki Parung Maret 1946. Daan Jahja, selaku Kepala Staf Resimen IV Tangerang memanggil Mayor Daan Mogot dan Mayor Wibowo, seorang perwira penghubung yang diperbantukan di resimen tersebut, untuk membahas langkah antisipasi. Mengingat sikap Abe yang keras, akhirnya tidak ada pilihan lain kecuali merebut senjata dengan paksa atau dengan tipu muslihat. Cara mengelabui adalah dengan memanfaatkan empat orang mantan tentara Gurkha (tentara Inggris berkebangsaan India), yang kabur dari pasukannya dan menggabungkan diri dengan TKR. Keempat orang tersebut akan mengenakan seragam dan senjata tentara Inggris di depan pasukan Jepang, untuk memberikan kesan bahwa tentara TKR datang atas persetujuan Sekutu. Taruna MAT dipilih karena dianggap cukup terampil dan lebih mengesankan untuk berhadapan dengan pasukan Jepang. Daan Mogot ditunjuk sebagai komandan operasi, karena membawahi anak didiknya sendiri, sudah mengenal baik dengan Abe, dan fasih berbicara dalam bahasa Jepang.
Jumat, 25 Januari 1946: sekitar pukul 14, setelah melapor kepada Letkol Singgih, Komandan Resimen IV Tangerang, Mayor Daan Mogot bersama dengan 60 taruna MAT, 4 mantan tentara Gurkha (versi lain menyebutkan 8), dan beberapa perwira, seperti Mayor Wibowo, Lettu Soebianto Djojohadikoesoemo, dan Lettu Soetopo, berangkat menuju Lengkong. Mereka mengendarai tiga truk dan satu jip militer rampasan Inggris. Senjata yang dibawa hanya karaben Terni, dengan jumlah peluru yang terbatas, karena itu saja yang tersedia.
Setelah melewati jalan yang rusak berat dan penuh rintangan, yang sebenarnya ditujukan untuk menghambat pergerakan tentara Sekutu, pasukan Daan Mogot baru tiba di Lengkong sekitar jam 16. Area markas tentara Jepang itu tepatnya di Kelurahan Lengkong Wetan, Kecamatan Serpong, Kota Tangerang Selatan.
Tidak seberapa jauh dari gerbang, truk dihentikan oleh penjaga, dan pasukan turun untuk selanjutnya memasuki markas tentara Jepang tersebut. Keempat tentara Gurkha berjalan di depan, diikuti Daan Mogot, Wibowo, dan Alex Sajoeti, seorang taruna yang fasih berbahasa Jepang. Kehadiran tentara Gurkha tersebut memberikan efek positif, karena beberapa tentara Jepang yang sedang bertugas jaga dapat dilucuti senjatanya tanpa kesulitan. Daan Mogot, Wibowo, Alex Sajoeti, dan beberapa tentara Gurkha masuk ke markas pasukan Jepang untuk menemui Kapten Abe. Tentara lainnya menunggu di luar dan dipercayakan pada Soebianto dan Soetopo. Di hadapan Kapten Abe, Daan Mogot menyampaikan tujuan kedatangannya sebagai operasi gabungan dengan tentara Sekutu untuk mengambil persenjataan yang ada dalam markas tersebut.  Kapten Abe ternyata tidak serta merta menyetujuinya dan meminta waktu untuk mendapatkan konfirmasi dari Jakarta karena belum pernah mendengar perintah terkait perlucutan senjata.
Sementara itu, di luar, atas perintah Soebianto dan Soetopo, pasukan tentara sudah bergerak untuk memasuki sejumlah barak dan melucuti senjata. Sekitar 40 tentara Jepang diminta berkumpul di lapangan. Sebelum truk tiba untuk mengambil senjata yang terkumpul, tiba-tiba, terdengar letusan tembakan yang tidak diketahui sumbernya. Kemudian, seorang Jepang keluar dari markas yang dipakai untuk perundingan dan meneriakkan sesuatu kepada rekan-rekannya yang sedang berdiri di lapangan.  Selanjutnya, mulai terjadi tembakan-tembakan dari tiga pos penjagaan ke arah pasukan Indonesia, yang segera berpencar mencari tempat perlindungan. Tentara Jepang yang ada di lapangan berusaha merebut  kembali senjata mereka yang belum sempat diangkut ke dalam truk dan melakukan perlawanan.
Daan Mogot segera berlari keluar meninggalkan meja perundingan untuk menghentikan bentrokan. Tetapi usahanya tidak berhasil. Pertempuran tidak seimbang pun terjadi. Tentara Jepang lebih memiliki pengalaman tempur dibandingkan dengan para taruna MAT. Selama 2 bulan masa latihan, taruna MAT tidak pernah dilatih menembak karena keterbatasan amunisi. Senjata yang digunakan Jepang juga lebih baik dan lengkap. Senjata karaben Terni yang dibawa tidak dilengkapi klip peluru sehingga peluru harus dimasukkan satu per satu ke kamar senjata dengan tangan. Sering pelurunya tidak pas masuk karena berbeda ukuran, sering macet, atau sering tidak meletus saat ditembakkan.
Karaben Mannlicher Carcano Model 38 kaliber 6,5 mm buatan Terni, Italia
Pasukan Jepang semakin merapatkan kepungan ke arah pasukan Indonesia yang bersembunyi di balik pepohonan. Daan Mogot sempat meminta seorang anak buahnya melarikan diri ke Markas Resimen di Tangerang. Setelah taruna itu meninggalkan Daan Mogot, ia sempat melihat beberapa tentara Jepang menyergap ke tempat pemimpinnya tadi berada dan kemudian mendengar beberapa tembakan pistol (Saleh, 2009).
Versi yang lain menyebutkan bahwa Daan Mogot, yang mengalami luka tembak di paha kanan dan dada, melihat salah satu tarunanya tewas tertembak saat mengoperasikan senapan mesin. Dia kemudian mengambil senjata tersebut dan mulai menembaki ke arah pasukan Jepang. Namun, akhirnya Daan Mogot tersungkur akibat dihujani peluru dari berbagai arah (Sandy, 2014a).
Tentara Jepang akhirnya mengadakan serangan dengan sangkur terhunus. Tentara Indonesia yang ditemui dan mencoba melawan, mereka tembaki atau tusuk dengan sangkur. Bahkan, yang sudah tidak berdaya karena terluka atau kehabisan peluru pun ikut dibunuh. Pertempuran berakhir saat hari mulai gelap. Terdengar teriakan dalam bahasa Indonesia beraksen Jepang untuk menghentikan tembakan dan perintah untuk berkumpul. Perintah ini ditujukkan kepada sisa pasukan Indonesia yang masih hidup dan bersembunyi.
Sebanyak 33 taruna dan 3 perwira, yakni Mayor Daan Mogot, Lettu Soebianto Djojohadikoesoemo, dan Lettu Soetopo, gugur dalam pertempuran tersebut. Hanya tiga taruna, yakni Soedarno, Menod Sjam, dan Oesman Sjarief, berhasil kembali ke Markas Komando Resimen pada esok paginya (Sembiring, 2010). Taruna Slamet dan seorang rekannya yang sedang mengambil truk di luar kamp juga selamat. Sisanya, termasuk Mayor Wibowo, ditawan.
Lokasi desa Lengkong (Saleh, 2009)
Situasi di kamp pasukan Jepang sebelum dan sesudah pertempuran (Saleh, 2009)  
Gudang yang digunakan untuk menampung tawanan yang masih hidup di malam hari setelah pertempuran (Foto: Gapey Sandy)
Monumen Palagan Lengkong (Foto: Gapey Sandy)
Sabtu, 26 Januari 1946: Para tawanan yang masih kuat dipisahkan dari yang luka dan dipindahkan ke gudang kosong. Sore harinya, mereka diberi sekop untuk menggali makam. Segera terbayang dalam benak para tawanan itu bahwa mereka akan dibunuh dan dipaksa menggali kubur mereka sendiri. Dengan dikawal, mereka digiring ke lokasi pertempuran dan disuruh menggali kubur untuk teman-teman mereka yang gugur.
Minggu, 27 Januari 1946: Terjadi pertemuan antara pihak Indonesia dan pihak Jepang, di suatu tempat di luar kamp. Dari pihak Indonesia hadir Mayor MT Haryono, Mayor Oetarjo, Letnan Wirogo (adik Mayor Wibowo, yang tertawan), Pembantu Letnan Djoko Winarto, Mayor Daan Jahja, Kapten Taswin, dan lainnya. Sedangkan dari pihak Jepang hadir Letkol Miyamoto Shizuo dan Kapten Abe. Dari pertemuan tersebut diperoleh tiga kesepakatan, yakni: (1) semua anggota TRI yang ditawan maupun yang gugur dan sudah dikubur akan dikembalikan kepada pihak Indonesia; (2) semua senjata milik TRI akan dikembalikan; (3) beberapa orang anggota TRI yang ditawan masih perlu dikirim ke Bogor untuk diperiksa dan didengar keterangannya oleh Staf Brigade Inggris, sebelum dapat dibebaskan.
Selasa, 29 Januari 1946: Pemindahan makam ke lokasi yang baru, termasuk pemakaman seorang taruna, Soekardi, yang sebelumnya terluka berat dan akhirnya meninggal di RS Tangerang. Lokasi makam saat ini menjadi Taman Makam Pahlawan Taruna, yang terletak di Jalan Daan Mogot No. 1, Tangerang.
Taman Makam Pahlawan Taruna (Foto: Gapey Sandy)
Makam Daan Mogot dalam Taman Makam Pahlawan Taruna (Foto: Gapey Sandy)
10 November 1966: Presiden Soekarno menganugerahkan Tanda Kehormatan Bintang Mahaputra Kelas III untuk Daan Mogot.



Referensi
Fadillah R (17 Februari 2014) Daan Mogot, ABG 17 Tahun Sudah Jadi Komandan Akademi Militer. http://www.merdeka.com/peristiwa/daan-mogot-abg-17-tahun-sudah-jadi-komandan-akademi-militer.html Diakses 30 Juli 2015
Metro TV (4 Maret 2015) Melawan Lupa: Riwayat Mayor Daan Mogot. https://www.youtube.com/watch?v=3Ci9LXKTc1A
Saleh RHA (2009) Akademi Militer Tangerang dan Peristiwa Lengkong. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Nusatama. E-Book online: http://lms.aau.ac.id/aau/index.php/elibrary/home/detil/1215
Sandy G (25 Januari 2014a) 25 Januari 1946, Gugurnya Mayor Daan Mogot di Serpong.  http://www.kompasiana.com/gapey-sandy/25-januari-1946-gugurnya-mayor-daan-mogot-di-serpong_552947666ea83402298b45b7 Diakses 30 Juli 2015
Sandy G (29 Januari 2014b) Pemakaman Ulang Pahlawan Lengkong, 29 Januari 1946. http://www.kompasiana.com/gapey-sandy/pemakaman-ulang-pahlawan-lengkong-29-januari-1946_55283ca06ea8346d098b462a Diakses 3 Agustus 2015
Sembiring E (29 November 2010) Daan Mogot, Pahlawan Berumur 17 Tahun. http://www.kompasiana.com/edisembiring/daan-mogot-pahlawan-berumur-17-tahun_55004ad8813311275efa76b6 Diakses 30 Juli 2015
Tristiawati P (25 Februari 2013) Selama 67 Tahun Tak Pernah Absen Berdoa di Makam Daan Mogot. http://satelitnews.co.id/?p=9225 Diakses 30 Juli 2015



Tambahan: Foto di bawah ini sebenarnya foto siapa? Di bawahnya tertulis Daan E. Mogot, tetapi jika diperhatikan, wajahnya berbeda dengan tiga foto yang ada di atas. Selain itu, disebutkan pula 'sewaktu berumur 20 tahun', padahal Daan Mogot gugur pada usia 18 tahun!

No comments:

Post a Comment