Sunday 16 August 2015

Mereka yang Melampaui Bangsanya

Namanya Josaphat Tetuko Sri Sumantyo (45). Ia lahir di Bandung dan menjadi ahli penginderaan jarak jauh menggunakan gelombang mikro.
Namanya dipakai untuk sebuah laboratorium di Universitas Chiba, kota Chiba, Jepang, yakni Josaphat Microwave Remote Sensing Laboratory (JMRSL). Jaraknya sekitar 5.000 kilometer dari kampung halamannya.
Prestasi Josaphat bukan tentang penyematan namanya di laboratorium itu. Kemampuannya membuat JMRSL sebagai laboratorium terbesar di dunia untuk penginderaan jarak jauh berbasis gelombang mikro melejitkan namanya.
12733426_10154483046623238_6214730212220491743_n.jpg
Josaphat Tetuko Sri Sumantyo (Sumber: Facebook)
Ditemui saat sedang berada di Kalibata, Jakarta, Kamis (13/8), Josaphat menjelaskan, JMRSL mendunia karena gigih dan gencarnya penelitian dan promosi ke sejumlah negara. Produk risetnya memperbaiki produk serupa di dunia. Salah satunya, sensor pemantau muka bumi bernama Circularly Polarized-Synthetic Aperture Radar (CP-SAR).
CP-SAR bisa memetakan penurunan muka tanah. Radarnya bisa mendeteksi setiap millimeter penurunan dan mendeteksi kandungan air bawah tanah, termasuk di gurun. Dengan hasil penelitiannya itu, penduduk daerah kering di Afrika, misalnya, bisa mengetahui lokasi potensial sumber air. Paten CP-SAR baru saja diperoleh atas nama Rektor Universitas Chiba, Oktober 2014.
CP-SAR rancangan Josaphat lebih unggul pada bobot dan harga yang jauh lebih murah. “Harga satelit SAR biasa Rp 4 triliun, sedangkan satelit mikro (rancangan Josaphat juga) yang dipasangi CP-SAR sekitar Rp 150 miliar,” ujarnya.
Tidak berhenti, professor penuh dan pegawai negeri di Jepang ini sedang membuat rancangan CP-SAR untuk lembaga keantariksaan, yaitu Badan Keantariksaan Eropa (ESA), Institut Riset Keantariksaan Korea Selatan (KARI), Organisasi Keantariksaan Nasional Taiwan (NSPO), dan tentunya Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) milik kita. Paten atas hasil-hasil risetnya telah dibuat di 118 negara.
Bagi pemilik gelar sarjana dan magister bidang rekayasa komputer dan kelistrikan di Universitas Kanazawa serta doktor bidang sistem gelombang radio terapan dan radar dari Universitas Chiba ini, tidak masalah untuk berkarya di mana saja. “Saya ingin menunjukkan bahwa orang-orang Indonesia itu bisa,” katanya.
Namun, ia tak pernah melupakan tanah air yang dicintainya. Sebulan sekali, ia pulang untuk menemui keluarga di Bandung dan memperluas jejaring dengan peneliti Indonesia untuk memajukan ilmu pengetahuan. Hasil risetnya pun diarahkan untuk Indonesia. CP-SAR, misalnya, bisa membantu pencarian korban bencana alam. Bagi aparat keamanan dan pertahanan, radar tersebut mendukung mengintip ancaman karena “penglihatannya” yang begitu tajam.
82fa49005f0443c8877098040208f3e8.jpg
Pesawat nirawak JX-1 dalam uji coba penerbangan dengan membawa serta radar CP-SAR, 29 Agustus 2013, di Fujikawa Airfield, Shizuoka, Jepang. JX-1 dan CP-SAR yang dirancang untuk kegiatan penginderaan jarak jauh merupakan karya Josaphat Tetuko Sri Sumantyo, warga negara Indonesia pengelola Josaphat Microwave Remote Sensing Laboratory di Universitas Chiba, Jepang (Sumber: Kompas/Arsip JMRSL)
Untuk Indonesia
Berkiprah di luar negeri juga dilakoni Caecilia Hapsari Ceriapuri Sukowati (35). Peneliti biomedis molekuler ini bekerja di Italia pada dua instansi, yaitu Departemen Ilmu Kedokteran, Bedah, dan Kesehatan Universitas Trieste serta di Italian Liver Foundation.
Caecilia Hapsari Ceriapuri Sukowati
Ia menyelesaikan studi strata 1 di Jurusan Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Institut Teknologi Bandung (ITB). Tanpa studi magister, Caecilia melanjutkan jenjang doktor di School of Molecular Biomedicine Universitas Trieste (2008-2010), dengan beasiswa Kementerian Luar Negeri Italia. Sejak saat itu, Caecilia melakukan riset di Italia. Ia fokus meneliti kanker hati. “Di dunia, kanker hati merupakan penyebab terbesar kedua kematian terkait kanker,” ujarnya saat terhubungi lewat Skype.
Meski berada di Italia, apa yang dikerjakan Caecilia ditujukan sekaligus untuk Indonesia yang dicintainya. Prevalensi kanker hati di Indonesia tinggi, terutama akibat virus hepatitis B. Ia juga menjembatani kerja sama Italia-Indonesia terkait kanker hati dan hepatitis.
Tri L Astraatmadja (Sumber: tri.astraatmadja.org)
Di Belanda, ilmuwan Indonesia memilih menjadi peneliti dasar yang masih belum diketahui manfaat praktisnya bagi masyarakat dunia, apalagi Indonesia. Tri L Astraatmadja astronom peraih gelar doktor bidang astrofisika dari Leiden Institute of Physics Universitas Leiden.
“Astronomi tidak bisa dijadikan ilmu yang bisa menyelesaikan permasalahan aktual, seperti meningkatkan nilai tambah produk ekspor atau menghapus utang negara dunia ketiga,” ucap Tri lewat Skype dari sebuah desa di Skotlandia.
Lulusan Jurusan Astronomi ITB ini menambahkan, astronomi semata didasari rasa ingin tahu yang besar. Keingintahuan itu terkait pertanyaan tentang bagaimana alam semesta terbentuk. Pertanyaan itu berhubungan dengan pertanyaan besar sepanjang sejarah, bagaimana manusia tercipta.
Ketekunan Tri mengantarnya menerima penghargaan Global Neutrino Network karena disertasinya menjadi salah satu yang terbaik. Disertasi itu berjudul Starlight between the waves: In search of TeV photon emission from Gamma-Ray Bursts with the ANTARES Neutrino Telescope.
Saat ini ia melakukan studi pascadoktoral di Max-Planck-Institut für Astronomie, Heidelberg, Jerman. Ia terlibat dalam proyek Satelit Gaia, sebuah satelit yang berusaha mendata jumlah bintang secara lebih tepat. “Perkiraan sekarang, terdapat 100 milyar-400 milyar bintang di galaksi kita,” ujar Tri.
Kontribusi anak bangsa di sejumlah negara juga nyata saat Kongres Ke-3 Diaspora Indonesia, 12-14 Agustus 2015. Dari ratusan diaspora yang hadir secara mandiri, terungkap keunggulan Indonesia yang bisa jadi sumbangan bagi kebaikan dunia.
Syamsi Ali
Syamsi Ali (47), misalnya, yang menjadi imam di Islamic Center of New York, Amerika Serikat, dan pegiat dialog antariman yang intensif sejak peristiwa 11 September 2001. Dengan semangat gotong royong yang melekat pada dirinya, Syamsi menampilkan wajah damai Islam Indonesia untuk berdialog dan bekerja sama dengan pemuka agama Kristen dan Yahudi, dan diterima serta berkelanjutan. Lebih dari 29 tahun hidup di luar negeri, pria kelahiran Bulukumba, Sulawesi Selatan, ini mendedikasikan hidupnya untuk upaya damai ini.
Dunia mengakui kontribusi nyata mereka lewat kerja-kerja penuh dedikasi yang melampaui bangsanya sendiri. (JOG/INU)
Kompas, Sabtu, 15 Agustus 2015

No comments:

Post a Comment