Saturday 7 January 2017

Pasang Surut Indonesia-Australia

Oleh IWAN SANTOSA
Sejarah panjang hubungan militer Indonesia-Australia diawali dalam Perang Dunia II di Pasifik. Tahap awalnya, Perang Pasifik, Desember 1941, saat Australia menempatkan satuan udara RAAF dan pasukan darat di Maluku. Mereka bertempur dengan berani melawan pendaratan Jepang. Kini, makam serdadu Australia yang gugur di kawasan Kudamati, Ambon, menjadi saksi relasi panjang kedua bangsa.
044676.JPG
Duta besar Australia saat itu, Dick Woolcott saat mengunjungi makam tentara Australia di Ambon, Oktober 1977.
Di Jawa, dalam catatan PC Boer dalam The Loss of Java, terdapat ribuan dari satuan gabungan militer Australia di bawah Brigjen Blackburn yang dikenal dengan “Blackforce”. Para serdadu itu bertempur di sebelah barat Leuwiliang hingga Bogor dan Bandung. Sebagian prajurit yang lolos dari pertempuran di Semenanjung Malaya kemudian juga ikut bergabung di satuan tersebut.
Angkatan Udara Australia (RAAF), yang tergabung dalam Java Air Command, bertanggung jawab atas wilayah barat Jawa dari Yogyakarta hingga selatan Sumatera. Dengan semboyan “Per Ardua Astra”, RAAF bertugas bersama RAF Inggris dan Militaire Luchtvaart atau Angkatan Udara Hindia-Belanda.
Terdapat pula satuan laut yang menjadi bagian Strike Force ABDA Command di bawah Laksamana Karel Doorman. HMAS Vampire yang lolos dari Pertempuran Malaya dan membuat kapal kebanggaan Inggris HMS Prince of Wales dab HMS Repulse tenggelam, Desember 1941, juga turut dalam pertempuran mempertahankan Jawa. Namun, kapal penjelajah kebanggaan Australia, HMAS Perth, tenggelam di Teluk Banten, pada 1 Maret 1942 bersama USS Houston. HMAS Perth tenggelam saat babak akhir Pertempuran Laut Jawa yang dikenal sebagai salah satu pertempuran laut terlama di Perang Pasifik.
Pahlawan Perang Dunia II asal Australia, Sir Edward Dunlop, juga pernah berkiprah sebagai Kepala Rumah Sakit Militer Sekutu di Bandung, Januari-Maret 1942. Dalam memoir-nya, The War Diaries of Weary Dunlop-Java and the Burma Thailand Railway, Dunlop menceritakan perjuangannya di Jawa ketika berada di Bandung memimpin rumah sakit yang lokasinya kini menjadi SMAK Dago, Bandung. Dunlop juga pernah menjadi tawanan perang Jepang di Kompleks Batalyon X KNIL, yang kini Hotel Borobudur Jakarta. Bahkan, Edward Dunlop juga pernah ditawan di Cililitan, yang lokasinya kini menjadi Kompleks Kodim di Cililitan, serta tempat lainnya di Jakarta Utara yang menjadi Pelabuhan Tanjung Priok.
Sejarawan Bonnie Triyana mencatat, Kolonial Hindia-Belanda tercatat pernah mengungsikan puluhan ribu serdadu, pelaut, dan tahanan politik Indonesia ke Australia. Selanjutnya di Australia dibentuk dinas intelijen Hindia Belanda NEFIS dan beberapa Batalyon KNIL. Salah satu tokoh yang muncul di antaranya Julius Tahija yang kemudian bergabung dengan pemerintahan RI yang baru merdeka.
Semasa pendudukan Jepang, Australia juga menggelar operasi militer di Pulau Timor, selain serangan terhadap Pelabuhan Keppel Singapura oleh pasukan Komando yang diselundupkan dari Kepulauan Riau, di sekitar Pulau Batam dan Bintan. Operasi yang disebut Operasi Jaywick pada September 1943 itu dilanjutkan Operasi Rimau pada Oktober 1944. Pasukan Australia yang berlayar dari Australia kemudian memasuki  perairan Jawa dan Selat Karimat serta menyiapkan serangan di pulau-pulau dekat kawasan Batam-Rempang-Galang. Keberhasilan operasi Jaywick membuat penguasa fasis Jepang kalang kabut untuk menghalau dengan operasi pembersihan di Singapura. Namun, tanpa hasil.
Peter Thompson dan Robert Macklin dalam Kill the Tiger secara rinci juga menggambarkan betapa strategisnya posisi Australia-Kepulauan Nusantara dan Singapura di kawasan Asia Tenggara. Waktu itu, penyusupan di perairan Nusantara dengan perahu nelayan tradisional menjadi kunci keberhasilan operasi komando Australia.
Menjelang akhir Perang Pasifik, Mei-Agustus, tentara Australia dari Divisi 9 dan Divisi 7 Australia Imperial Force mendarat di Tarakan, Kalimantan Utara, dan Balikpapan, Kalimantan Timur. Tujuannya, merebut wilayah strategis dari tangan Jepang. Dalam Tarakan Pearl Harbor Indonesia 1942-1945, terbitan Gramedia Asri, diceritakan pertempuran berdarah untuk merebut Pulau Minyak Tarakan dari tangan Jepang.
Dukung Kemerdekaan
Setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945, simpati rakyat kecil di Australia juga muncul untuk mendukung kemerdekaan Indonesia.Bonnie menceritakan, para aktivis buruh, mahasiswa, serta pelaut India, Pakistan, dan Tionghoa bersama-sama mendukung Indonesia. Demikian pula aktivis Indonesia yang masih di Australia.
120834.JPG
Serdadu Australia (Australia Imperial Forces) bercengkerama dengan masyarakat Makassar tahun 1945. Rakyat menjalin hubungan baik dengan Australia karena dukungan mereka terhadap kemerdekaan Indonesia.
Rupert Lockwood dalam The Black Armada kemudian menggambarkan gerakan “Black Armada” atau boikot terhadap pengapalan sipil dan militer Belanda di Australia yang akan menguasai kembali Indonesia.
Pendiri Museum Peranakan Tionghoa Tangerang, Udaya Halim, juga bercerita. Aktivis dan diaspora Indonesia tengah menyiapkan plakat Black Armada di Museum Maritim, Sydney, Australia, sebagai bentuk peringatan atas dukungan masyarakat Australia dan komunitas Asia terhadap kemerdekaan Indonesia di masa Revolusi Fisik 1945-1949.
Menurut Bonnie Triyana, Australia juga aktif dalam Komisi Tiga Negara bersama AS dan Belgia menjadi penengah RI dan Kerajaan Belanda dalam revolusi fisik. “Bahkan, serdadu NICA memakai topi infanteri Australia agar tak dimusuhi rakyat Indonesia. Ketika itu, masyarakat Indonesia tahu ada dukungan publik Australia atas kemerdekaan Indonesia,” kata Bonnie.
Pada masa itu, 1945-1946, Australia membantu British Military Administration di Asia Tenggara untuk mengambil alih pendudukan Jepang, Inggris mendapat tanggung jawab pengawasan atas Jawa dan Sumatera. Adapun Australia mendapat tugas pengawasan terhadap wilayah Kalimantan, Sulawesi, Maluku, Papua, dan Kepulauan Sunda Kecil. Markas besarnya waktu itu ada di Makassar.
Dalam perkembangannnya, hubungan RI-Australia memburuk saat Konfrontasi Papua, Konfrontasi Ganyang Malaysia dan Operasi Seroja, Timor-Timur 1976 dan jajak pendapat 1999-2000. Namun, setelah reformasi 1998 dan Darurat Militer Aceh 2003, ketika embargo senjata terhadap Indonesia dicabut, kerja sama militer Ausindo, Jakarta dan Canberra, termasuk yang pertama dipulihkan.
Selanjutnya, Komando Pasukan Khusus (Kopassus) TNI AD dan pasukan elite SAS-Regiment Australia kembali berlatih bersama dengan sandi “Dawn Kookabura” di Australia, dan “Dawn Komodo” di Indonesia. Sepanjang 2013-2016, Indonesia kemudian mendapat hibah pesawat angkut C-130 Hercules tipe H dari RAAF. berbagai latihan bersama dan pertukaran siswa juga dilakukan.
Kalau kini terjadi lagi insiden di antara TNI dan Australian Defence Force tentu wajar saja. Bonnie Triyana kembali mengingatkan, “Pasang surut hubungan pasti terjadi. Yang jelas, hubungan people to people RI-Australia seperti 1945-1949 terus berjalan, terutama di kalangan rakyat kecil”
Kompas, Minggu, 8 Januari 2017

No comments:

Post a Comment