Oleh IWAN SANTOSA
TNI Angkatan Udara memiliki sejarah panjang pengabdian dari era Perang Kemerdekaan (1945-1949), masa keemasan pada tahun 1960-an hingga modernisasi selepas Perang Dingin berakhir tahun 1989-1990. Semasa Perang Kemerdekaan, Angkatan Udara Republik Indonesia dengan sisa-sisa pesawat penguasa militer Jepang.
Upacara pelantikan KSAU Marsekal Soeryadharma di Istana Negara tahun 1959
Bapak AURI, R Soeryadharma, adalah waarnemer, navigator, yang berpengalaman sebagai awal pesawat Angkatan Udara Kerajaan Belanda di Hindia Belanda semasa pecah Perang Pasifik. NJ Nortier dalam buku Japan Aanval Te Nederlands Indie, deel Twee mencatat Soeryadharma berperang melawan satuan pesawat tempur AL Jepang dengan gagah berani dan terluka dalam salah satu pertempuran di udara Kalimantan Timur yang mengakibatkan pesawat bomber Glen Martin-nya mendarat darurat.
Pengorbanan AURI semasa Perang Kemerdekaan antara lain serangan udara ke Ambarawa dan Salatiga pada pagi hari buta, tanggal 29 Juli 1947 oleh kadet penerbang TNI AU, yakni Kadet Mulyono, Kadet Suharnoko Harbani dan Kadet Sutarjo Sigit. Mereka menggunakan dua pesawat Cureng dan satu Guntei peninggalan Jepang, berhasil mengebom wilayah pendudukan Belanda di Kota Semarang, Salatiga, dan Ambarawa.
Belanda membalas pada sore hari dengan menembak jatuh pesawat Dakota C-47 dengan registrasi VT-CLA yang dipiloti Alexander Constantine Noel warga Australia dengan kopilot Roy Hazlehurst warga Selandia Baru, mekanik Bhida Ram asal India, dan navigator Adi Sumarmo. Pesawat itu membawa Komodor Adi Sucipto, Komodor Abdurahman Saleh, dan sejumlah penumpang sipil berikut obat-obatan sumbangan Palang Merah Malaya. Peristiwa itu diperingati sebagai Hari Bakti TNI AU. Perjuangan Indonesia kala itu memang mendapat dukungan bangsa-bangsa lain secara fisik dan material.
Dari kiri ke kanan: Alexander Noel Constantine, Adi Sucipto, Adi Sumarmo, dan Abdurachman Saleh
Sejarawan Universitas Paramadina, Hendri F Isnaeni, menambahkan, dalam keterbatasan, AURI juga menggelar operasi para pertama dengan menerjunkan putra Dayak, Tjilik Riwut, memimpin penerjunan pasukan para ke hutan Kalimantan Tengah 17 Oktober 1947. “Itu menjadi cikal bakal Pasukan Gerak Tjepat atau PGT yang sekarang menjadi Pasukan Khas TNI-AU, kata Hendri.
Selanjutnya, AURI menata kekuatan selepas Pengakuan Kedaulatan 27 Desember 1949 dengan menerima pesawat-pesawat tempur dan bomber hibah dari AU Kerajaan Belanda.
Tjilik Riwut, putra Dayak yang menjadi salah satu pahlawan nasional
Pada tahun 1950-an terjadi pemberontakan di sejumlah daerah, seperti Republik Maluku Selatan (RMS), PRRI-Permesta di Sumatera dan Sulawesi hingga DI-TII. Kekuatan udara menjadi faktor penentu dalam menghadapi PRRI-Permesta yang diam-diam mendapat dukungan Amerika Serikat. Hendri mengingatkan tentang penerbang bomber B-26 AUREV Permesta Allen Pope yang menenggelamkan korvet ALRI RI Hang Tuah di Teluk Balikpapan.
“Disebutkan penerbang P-51 Mustang AURI, Ignatius Dewanto, menembak jatuh pesawat Allen Pope di Ambon. Namun, juga ada klaim bahwa pesawat Pope ditembak dari darat. Meski demikian secara keseluruhan, peran AURI menumpas PRRI-Permesta sangat penting mengingat lawannya memiliki kekuatan udara yang didukung diam-diam oleh Amerika Serikat,” kata Hendri.
Ignatius Dewanto
Kejayaan
Masa kejayaan AURI hadir di tahun 1960-an dengan pesawat-pesawat modern pada masa itu, baik dari Blok Barat maupun Timur. Saat militer Indonesia mengumpulkan persenjataan menghadapi Belanda dalam perebutan Irian Barat, mendapatkan dukungan Presiden John F Kennedy berupa armada pesawat angkut C-130 Hercules.
Hendri menambahkan, Indonesia juga membeli pesawat intai maritim Gannet dari Inggris dan dari Uni Soviet armada jet tempur Mig 15 hingga Mig 21 hingga bomber modern TU-16 dengan peluru kendalinya yang dapat menghancurkan kapal induk Belanda Hr.Ms. Karel Doorman yang disiagakan di sekitar Hollandia–kini Jayapura– dan Biak. “Indonesia memiliki kekuatan dirgantara paling disegani di belahan dunia selatan ketika itu,” kata Hendri.
Semasa 1963-1965, berulang-ulang penerbang AURI menjalankan misi berani mati. Sejarawan Universitas Nasional Hendi Jo mengatakan, sebuah pesawat C-130 Hercules jatuh berikut para peterjun yang dibawa di Selat Malaka yang hingga kini tidak ditemukan.
Pelaku sejarah, Letnan Dua Lulu Lugiyati–satu dari dua penerbang perempuan pertama Indonesia–mengaku berkali-kali ikut dalam misi penyusupan ke ruang udara Malaysia untuk menyebar propaganda. Dalam kesempatan lain, seorang penerbang Mig 21 AURI, Rudy Taran berhadap-hadapan dengan sepasang jet tempur Hawker Hunter RAAF di perairan Selat Malaka.
Sesudah pemerintahan Soekarno berganti dengan pemerintahan Soeharto, kekuatan udara AURI merosot drastis. Pada tahun 1970-an sisa-sisa kekuatan mulai dibangun dengan pesawat bantuan Australia, F-86 Sabre buatan AS pada 1973. Selanjutnya hadir pesawat OV-10 Bronco buatan Amerika Serikat.
Namun, dalam Operasi Seroja di Timor Timur 1976, Indonesia mendapat tekanan internasional dan ada embargo persenjataan, termasuk perlengkapan pesawat tempur. Secara diam-diam kemudian dilangsungkan operasi intelijen bersandi Operasi Alpha pada akhir 1979 untuk mendatangkan jet tempur A4-Skyhawk eks Angkatan Udara Israel.
Hendri menerangkan, tak lama setelah menjabat Menhankam/Pangab, Jenderal M Jusuf menerima laporan mengenai tawaran membeli pesawat tempur jenis A-4E dan A-4F Skyhawk milik AU Israel dengan harga yang cukup murah. Israel mau melepas 32 pesawat itu karena akan menggantinya dengan pesawat tempur yang lebih canggih jenis F-16 Fighting Falcon.
Pemerintahan Soeharto mulai membangun kekuatan TNI AU dengan membeli jet tempur F-16A dan F-16B Fighting Falcon serta pesawat jet tempur Hawk 100 dan Hawk 200.
Kekuatan udara dicoba dibangkitkan pada masa Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono dengan pengadaan pesawat baru dan bekas seperti jet tempur Sukhoi SU-27 dan SU-30 yang menggantikan A4-Skyhawk di Skuadron 11 Lanud Hasanudin, Makassar.
Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono mendatangkan pesawat latih KT-1 Wong Bee dan T50 Golden Eagle dari Korea Selatan, jet tempur F-16C dan D hibah bekas Amerika Serikat hingga pesawat tempur anti gerilya Super Tucano buatan Brasil pengganti OV-10 Bronco.
Meski demikian, dalam kurun 15 tahun terakhir, sejumlah insiden pesawat jatuh dan kecelakaan menimpa.
Kompas, Minggu, 15 Januari 2017
super sekali
ReplyDelete