Oleh IWAN SANTOSA
Hubungan baik Republik Indonesia-Burma (kini Myanmar) sudah berakar panjang, terutama di masa-masa awal kemerdekaan kedua negara tahun 1949 dengan keberadaan maskapai Indonesian Airways di Burma. Cikal bakal maskapai Garuda Indonesia, yang di antaranya pernah membantu Pemerintah Union of Burma saat mengatasi berbagai pemberontakan waktu itu, menandai sejarah kedua negara tersebut.
15 Juni 1948, perjalanan udara Yogyakarta-Banda Aceh. Presiden Soekarno dan rombongan di pesawat sewaan RI-002, untuk menggalang dana dari pemuka dan saudagar setempat. Dana dipakai untuk membeli pesawat Dakota RI-001 Seulawah yang jadi cikal bakal Garuda Indonesia. (Arsip IPPHOS)
Situasi Burma yang baru saja merdeka 1948, setelah 1947 terjadi pemisahan India dan Pakistan, berdampak pada kekacauan politik di bekas koloni British India: India, Pakistan, dan Burma.
Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Udara Marsekal Pertama (TNI) Jemi Trisonjaya baru-baru ini mengatakan, pesawat Dakota C-47 sumbangan rakyat Aceh, RI–001 Seulawah, jadi pesawat pertama Indonesian Airways yang beroperasi perdana dari Rangoon (Burma) ke Kalkuta, India.
”Pesawat hasil sumbangan rakyat Aceh pada tahun 1948 itu sedang dirawat di Kalkuta, India, sejak 1 Desember 1948-20 Januari 1949 sehingga terhindar dari serangan Belanda saat Agresi II, 19 Desember 1948. Ketika itu, berbagai pesawat AURI diserang Belanda. Adapun pesawat RI-001 berada di luar negeri karena menjalani perawatan rutin,” ujar Jemi.
Menurut data Dinas Sejarah TNI AU, Pesawat RI–001 digunakan untuk kunjungan Wakil Presiden Mohammad Hatta ke Sumatera, pemotretan gunung berapi, dan mengangkut kadet Angkatan Laut Republik Indonesia dari Bukit Tinggi ke Aceh. Semula RI-001 akan digunakan untuk sarana angkut kepresidenan dan pejabat pemerintah.
Pesawat itu digunakan untuk menerbangi rute Jawa-Sumatera-Burma-India sebelum Belanda melancarkan Agresi ke II. Sebagai sesama negara Asia-Afrika yang berjuang membebaskan diri, Indonesia-Burma dan India saling membantu, termasuk pelatihan personel militer Indonesia di India dan Burma.
Ketika Yogyakarta diduduki Belanda pasca-Agresi II, awak RI–001 dan siswa AURI di India dan Burma terputus dari Pemerintah RI. Mereka harus mandiri dan tak mungkin kembali ke Indonesia yang dikuasai Belanda. Ketika itu awak RI-001 adalah gabungan dari penerbang, siswa penerbang AURI, dan penerbang serta teknisi berbagai kebangsaan, terutama Amerika Serikat eks kesatuan udara The Flying Tigers yang bertempur di Mandala Udara China-Burma-India (CBI) saat melawan Jepang dalam Perang Dunia II.
Terbang di Burma
Dalam biografi Wiweko Soepono dari Blitar ke Kelas Dunia, karya Dudi Sudibyo dan JM Suparno 1994, diambil keputusan menggelar layanan penerbangan bagi Pemerintah Burma yang tengah kesulitan menjangkau wilayah negaranya karena berbagai pemberontakan. Wiweko mengaku berkoordinasi dan mendapat dukungan Dr Soedarsono, Kepala Perwakilan RI di India, dan KSAU R Suryadarma.
Awal Januari 1949 diperoleh informasi dari Maryunani, Kepala Perwakilan RI di Burma, tentang kebutuhan jasa angkutan udara untuk menghadapi pemberontakan di Burma. Ali Algadri, pejabat perwakilan RI di Rangoon, sangat membantu pengurusan izin Indonesian Airways bersama aktivis mahasiswa dan wartawan Rangoon Post , U Maung Maung. Izin terbang segera diurus dan keluar pada 20 Januari 1949.
Data Sejarah TNI AU juga mencatat, 26 Januari 1949 pesawat RI-001 melayani penerbangan carter Angkatan Darat Burma dan disebut sebagai Indonesian Airways. Suparno dan Dudi menuliskan, Pemerintah Burma saat itu menghadapi pemberontakan suku Karen dan The White Flag People Volunteer Organization. Saat itu sebenarnya sudah ada sejumlah maskapai, seperti Burma Airways, Philippine Airways, dan Siamese Airways. Namun, mereka tak berani terbang di daerah yang dikuasai pemberontak. Hanya Indonesian Airways yang bondo nekad berani terbang membantu Burma.
Ketika itu susunan personalia Indonesian Airways di Bandara Mingladon, Rangoon, adalah J H Maupin—sebelumnya pemilik RI-001—sebagai kapten pilot, Soetardjo Sigit dan Soedaryono sebagai co-pilot, Soemarno sebagai radio operator, Ceasselberry sebagai engineer, dan Wiweko sebagai general manager. Soetardjo Sigit juga merangkap administration manager, dan Soemarno sebagai chief communication. Indonesian Airways berkantor di 30 Thamwe Road, yang juga jadi mes awak, termasuk bagi calon penerbang AURI di Burma yang ikut kelas dasar.
Berbagai misi penerbangan dijalankan Indonesian Airways dan mendapat dukungan Jenderal Bo Ne Win, SAD Burma. Maskapai Indonesia itu terbang di Burma menjalankan sortie mengangkut pasukan Burma, senjata, amunisi, dan logistik ke beberapa daerah konflik yang dikepung pasukan pemberontak. Terkadang Indonesian Airways juga mengangkut pejabat Burma.
Salah satu pengalaman menegangkan yang dikisahkan Wiweko saat 15 Februari 1949 ketika RI-001 diterbangkan Captain Pilot Ladmore, Co Pilot Soedaryono, dan Radio Operator Soemarno. Mereka mendrop logistik ke pasukan pemerintah dekat kota Rangoon. Saat terbang di ketinggian permukaan pohon (tree top level) dan kecepatan rendah, Soemarno yang di pintu belakang mengawasi penyaluran barang terkena tembakan pemberontak. Pesawat pun segera menambah kecepatan terbang. Syukurlah, Soemarno hanya luka ringan di tangannya.
Kesempatan lain, pesawat RI-001 yang membawa Menteri Burma dalam penerbangan Leikow ke Mingladon Airport terkena tembakan di badan pesawat. Setelah pesawat mendarat, didapati lubang tembakan hanya 10 sentimeter dari posisi duduk Menteri Burma.
Ketika itu bahan bakar mengalami kebocoran dan sistem hidrolis pesawat rusak karena tertembus peluru. Alhasil, roda pendarat dapat diturunkan dengan pompa manual tangan.
Peristiwa lain yang menegangkan saat Indonesian Airways mendarat di Pangkalan Udara Meiktila. Pangkalan udara sudah dikuasai pemberontak suku Karen. Para pemberontak minta diterbangkan ke Pangkalan Udara Anisakan di wilayah Mandalay, ibu kota Lama Burma. Setelah bernegosiasi, RI-001 diizinkan terbang kembali ke Bandara Mingladon di Rangoon.
Selama beroperasi di Burma, Indonesian Airways berhasil membiayai Perwakilan RI di New Delhi, Burma, Singapura, 20 kadet Penerbang AURI di India, pendidikan teknisi pesawat di Filipina, juga mengirim berita-berita Radio Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatera Barat untuk menunjukkan RI masih ada.
Pilot ”bayi” Garuda Indonesia juga menyelundupkan amunisi dan perlengkapan radio ke Aceh dari militer Burma dua kali pada 1949. Pengiriman bantuan amunisi dan senjata dari AD terjadi pada 8 Juni 1949. Penerbangan dari Rangoon, Mergui, diteruskan ke Holy Satu—kode untuk Blang Bintang–Aceh. RI-001 lolos dari sergapan Belanda dan esok harinya terbang ke Rangoon.
Salah satu serpihan sejarah Indonesia-Burma masa perang kemerdekaan adalah metode operasi gerilya Wingate yang diterapkan dalam Serangan Umum di Yogyakarta. Metode gerilya Pasukan Chindit bentukan Jenderal Charles Order Wingate melawan Jepang saat perang 1942-1945 menjadi acuan Jenderal Soedirman, Urip Soemohardjo, Nasution, dan kawan-kawan merancang operasi ala Wingate terhadap Belanda di Jawa dan Sumatera.
Selama Indonesian Airways beroperasi, mereka menambah dua pesawat, RI-007 dan RI-009. Sebagai tanda terima kasih atas kerja sama dengan Burma, Pemerintah RI kelak menghadiahkan pesawat RI-009 kepada Pemerintah Union of Burma. Dari hubungan diplomasi militer itu jadi salah satu sebab Indonesia hingga kini punya akses baik dalam berdiplomasi dengan Myanmar.
Kompas, Minggu, 10 September 2017
No comments:
Post a Comment