Saturday 2 September 2017

Saracen

Oleh TRIAS KUNCAHYONO
Banyak cerita tentang Saracen. Kisahnya begitu panjang, menembus zaman dan waktu. Ia adalah sebuah kisah tua. Cerita tentang Saracen ini bisa dilacak hingga abad ke-4.
Bahkan, ada sumber yang mengisahkan bahwa kata saracen sudah ditemukan dalam karya Claudius Ptolemaeus/Ptolemy (85-165), ahli geografi, astronom, dan matematikawan Hellenistik di Aleksandria. Kata saracen muncul dalam karya geografinya.
Ptolemy menjelaskan sebuah wilayah yang disebut Sarakene, terletak di Sinai bagian utara. Di wilayah itu, ada kota bernama Saraka, terletak di antara Mesir dan Palestina. Di wilayah tersebut, hidup orang-orang Saracen, Taeni, dan Arab.

MV5BMTgxMzEzNTAxNF5BMl5BanBnXkFtZTcwOTc0ODUyMw@@._V1_SX1777_CR0,0,1777,758_AL_.jpg
Pasukan Perang Salib dari Eropa menggunakan istilah saracen untuk menyebut musuh mereka di Tanah Suci dan orang-orang Muslim yang mereka temui sepanjang jalan menuju Jerusalem. (Twentieth Century Fox/IMDb)
Dalam Notitia Dignitatum, yakni dokumen tentang Kekaisaran Romawi yang menjelaskan secara rinci organisasi pemerintahan Kekaisaran Timur dan Barat, juga disebut-sebut nama Saracen. Dokumen pada zaman Kaisar Diocletianus, abad ketiga, ini membedakan antara orang-orang Arab, Iiluturaen, dan Saracen, yang tergabung dalam tentara Romawi.
Kisah lain mengaitkan Saracen dengan cerita tentang Piala Suci (Holy Grail, yakni piala yang diyakini digunakan Yesus dalam Perjamuan Terakhir) dalam Legenda Raja Arthur dari Inggris. Legenda tentang Piala Suci bermula dari kisah Yusuf Arimathea, orang kaya yang menyerahkan tanahnya untuk menjadi tempat pemakaman Yesus. Dalam legenda Raja Athur dan Holy Grail ini, muncul kata saracen yang berkaitan dengan sebuah tempat mistis bernama Sarras, ke tempat itulah Piala Suci dibawa. Sarras terletak di jalan antara Jerusalem ke Eruphrat dan Babilon.
Akan tetapi, dalam Vulgate Quest, yang juga mengisahkan cerita tentang Yusuf Arimathea, disebutkan Sarras adalah sebuah kota yang terletak dekat Mesir (ada yang menduga bahwa yang disebut Babilon pada masa itu sebenarnya adalah Kairo). Dalam kisah ini, Sarras disebut sebagai kota pantai yang disinggahi perahu, Salomon, yang membawa Piala Suci.
Dalam L’Estoire del Saint Graal (Cerita tentang Piala Suci), roman pada abad ke-13 yang diterjemahkan Carol J Chase, tertulis ”...dalam perjalanan mereka sampai sebuah kota yang disebut Sarras, antara Babilon dan Salamandre.” Ada penjelasan seperti dalam Vulgata Quest bahwa yang disebut Babilon barangkali Kairo, sedangkan Salamandre tidak jelas.
***
Ada yang menduga, dari kata sarras inilah asal mula kata saracen. Akan tetapi, sejak era Kristen awal hingga Abad Pertengahan, nama Saracen dianggap memiliki hubungan dengan nama Sarah, istri Abraham (Ibrahim). Ada tertulis Peple þat cleped hem self Saracenys, as þogh þey were i-come of Sarra—yang diterjemahkan John of Trevisa menjadi ”Orang yang menyebut diri mereka Saracen, seperti yang mereka yakini berasal dari Sarah (Higdon’s Polychronicon, 1387).
Pada Abad Pertengahan, istilah saracen dimaksudkan untuk menunjuk pada suku-suku nomaden atau Beduin di Timur Tengah, termasuk orang-orang Kurdi dan Suriah. Namun, satu melenium sebelumnya, ketika Ammianus Marcellinus, seorang jenderal Romawi, menulis laporan—dalam Sejarah Roma—tentang suku-suku nomaden Arab (sekitar abad ke-4), istilah saracen hanya digunakan untuk menyebut suku-suku Beduin dari Arab. Di antara mereka adalah keturunan orang-orang Tamudi (yang dikenal sebagai suku penunggang kuda) dari Duma’at al Jandal di Jordania, Hagarenes, atau Agarenioi (nama anak perempuan Hagar), Naba’aiti (orang-orang Nabatea dari Petra), Kedrai (Kedar), semua orang Jordania dan Palmyrenes, Ghassanitae atau Kassan di Wadi Madyan, Maddenioi atau Madani.
Waktu itu, semua daerah tersebut berada di wilayah antara Suriah bagian selatan dan Arab Utara. Selain itu, masih ada lagi yang termasuk disebut Saracen, yakni suku-suku yang tinggal di Oman dan juga di wilayah yang sekarang di Yaman, Hadramaut, Aden, Oman.
Nama Bedouin Saracen juga sudah disebut lebih dari seribu tahun sebelum Marcellinus menulisnya, yakni dalam teks raja-raja Assyria. Dalam kisah itu diceritakan, para raja Assyria sering bertempur dengan orang-orang Bedouin Saracen. Para raja Assyria menyebut mereka dengan nama Qidar, Tamudi, Naba’aiti Ma’asei, dan Kushi. Orang-orang Naba’aiti (Nabatea) tinggal di Petra dan Jordania, di antara mereka disebut sebagai ”Amurru” atau Amorit.
Orang-orang Amorit adalah bangsa Semit yang berada di Mesopotamia bagian barat—sekarang Suriah—sekitar milenium ketiga SM. Di Sumeria, mereka dikenal dengan nama Martu atau Tidnum, di Akkadia mereka disebut Amurru, dan di Mesir disebut bangsa Amar, yang semuanya berarti ”orang barat” atau ”orang dari barat”. Raja Amorit yang terkenal adalah Hammurabi. Dari mana asal muasal mereka, tidak dikenal, sampai kemudian mereka tinggal di sejumlah kota, seperti Mari, Ebla, dan Babilon (Joshua J Mark: 2011).
***
Banyak cerita dan kisah tentang Saracen, sampai pada akhirnya tidak ada definisi yang jelas siapa Saracen itu? Ada yang mengartikan Saracen sama dengan kaum ”pagan”. Yang lain mengartikan Saracen adalah penjarah atau pedagang: mereka menyerang permukiman penduduk untuk menawan atau menjarah harta benda; mereka berperang melawan pasukan Romawi serta Persia, dan di lain waktu mereka menjadi tentara bayaran bagi pasukan Romawi atau Persia. Namun, di lain waktu, mereka menjadi kurir, sebagai penunjuk jalan, sebagai pedagang binatang, sebagai pemasok barang-barang kebutuhan para pelancong, dan pemukim di daerah terpencil, serta menyediakan transportasi bagi orang ataupun barang (Philip Mayerson: 1989).
Pada suatu masa, Saracen terutama dihubungkan dengan Perang Salib (1095-1291). Para kesatria Perang Salib dari Eropa menggunakan istilah saracen untuk menunjuk pada musuh mereka di Tanah Suci dan orang-orang Muslim yang mereka temui sepanjang jalan menuju Jerusalem. Kata saracen masuk ke dalam kosakata Inggris lewat kata dalam bahasa Perancis kuno sarrazin, dari bahasa Latin saracenus, yang berasal dari bahasa Yunani sarakenos. Asal muasalnya dari Yunani, tetapi secara teori linguistik, kata itu mungkin dari bahas Arab sharq yang berarti ’timur’ atau ’matahari terbit’ (Kallie Szczpanski: 2017).
Tentu sangat berbeda dengan Saracen di negeri kita, yang akhir-akhir ini menjadi perhatian khalayak ramai, juga bahkan Presiden, karena disangka sebagai produsen dan penyebar hoaks.

Kompas, Minggu 3 September 2017

No comments:

Post a Comment