Friday 6 November 2020

Geger Pacinan, Perang Terbesar VOC Melawan Pasukan Cina-Jawa

 Oleh IWAN SANTOSA

Sejak menguasai Batavia pada tahun 1619 hingga akhirnya bangkrut pada tahun 1799, VOC telah mengalami berbagai peperangan, yang terbesar adalah Geger Pacinan. Belanda menyebutnya Chinese Oorlog. Ketika itu, puluhan ribu serdadu Tionghoa dan serdadu Jawa dari Kerajaan Mataram bersatu melawan VOC, persekutuan dagang Belanda di Nusantara atau kompeni. Perang pecah di seantero Jawa, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur, sejak Oktober 1740.

Gambar karya seniman anonim yang melukiskan peristiwa tahun 1740. Panel kiri bergambar orang-orang Tionghoa menyerang pasukan VOC di Ommelanden. Panel kanan, orang-orang Tionghoa dibantai di Batavia.

Para panglima perang dari pasukan koalisi Tionghoa-Jawa adalah Kapitan Cina Sepanjang, Pangeran Mangkubumi, dan Raden Mas Said. Pangeran Mangkubumi kelak menjadi Sultan Hamengkubuwono I dan Raden Mas Said atau Pangeran Sambernyawa kemudian menjadi KGPAA Mangkunegara I. Mereka berperang di bawah komando Raden Mas Garendi atau Sunan Kuning yang sempat menguasai Keraton Kartasura, sebelum pasukan VOC menyerang balik dengan bala bantuan dari sebagian pasukan Mataram dan Pasukan Panembahan Cakraningrat IV dari Sumenep, Madura.

Sejarawan Daradjadi Gondodiprojo, penulis buku Geger Pacinan 1740-1743: Persekutuan Tionghoa-Jawa Melawan VOC  yang diterbitkan Penerbit Buku Kompas (PBK) menuliskan, kekalahan pihak Tionghoa-Jawa dalam perang tersebut berdampak pada kebijakan rasial kompeni Belanda yang kemudian memisahkan hunian dan membatasi interaksi sosial antara orang Tionghoa, orang Jawa, dan Bumiputera secara umum agar tidak terjadi kohesi sosial dan perlawanan di kemudian hari.

Selepas peristiwa Geger Pacinan, lokasi baru pecinan di Batavia dibangun di luar benteng Batavia yang kini dikenal sebagai Glodok Pancoran pada tahun 1750-an. Warga Tionghoa bermukim di sana dalam jangkauan tembakan meriam kompeni. Kondisi ini seperti halnya pembangunan benteng di dekat Keraton Surakarta dan Keraton Yogyakarta yang dimaksudkan sebagai penanda pengaruh politik dan militer kompeni Belanda.

Kota Batavia menjadi titik awal terjadinya Geger Pacinan. Sejarawan Adolf Heuken SJ dalam buku Tempat-Tempat Bersejarah di Jakarta menceritakan tentang migrasi warga Tionghoa Banten ke Batavia, menyusul penguasaan Kota Jayakarta oleh VOC tahun 1619 setelah berperang melawan penguasa Banten dan Kompeni Inggris di Jayakarta. Kapitan Cina pertama di Batavia, Souw Beng Kong, sebelumnya tinggal di Banten.

Jejak pemukim Tionghoa yang beranak pinak di pesisir Jawa termuat dalam catatan Slamet Muljono dalam buku Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara. Buku itu menceritakan betapa erat hubungan komunitas Tionghoa Muslim dengan orang setempat pada awal perkembangan Islam di Jawa. Mereka menganut mazhab Hanafi sebagai hasil pengaruh dari aliran Islam yang banyak dianut di Tiongkok.

Tionghoa Banten dan Industri Gula

Sepeninggal era Cheng Ho atau Zheng He (Laksamana Muslim dari Tiongkok) yang membuka pos-pos perdagangan di Asia Tenggara termasuk di utara Jawa, para pemukim Tionghoa, termasuk yang beragama Islam, mendapat tempat penting seperti di Kesultanan Banten. Pada tahun 1500-an, tercatat Muslim Tionghoa bernama Encek Ban Cut membangun menara Masjid Agung Banten di Banten Lama.

Demikian pula setelah banyak warga Tionghoa pindah dari Banten ke Batavia, peran warga Tionghoa tetap menonjol pada tahun 1600-an semasa Sultan Agung Tirtayasa. Claudine Salmon dari Universitas Sorbonne, Perancis, dalam buku Loyalis Dinasti Ming di Asia Tenggara: Menurut Berbagai Sumber Asia dan Eropa mencatat keberadaan syahbandar Tionghoa bernama Kaytsu dan Kiyai Ngabehi Cakradana atau Tan Se Ko.

Para pemukim Tionghoa tersebut kemudian mengembangkan industri gula di kawasan luar Intramuros atau Benteng Batavia, di wilayah yang disebut Batavia Ommelanden. Pengetahuan dan keterampilan membangun industri gula dibawa dari selatan Tiongkok, yakni Fujian dan Guangdong.

Industri gula atau suiker mollen berupa kilang penggilingan tebu dan pemasakan air tebu menjadi gula pasir dan produk olahan seperti arak. Cara kerjanya, sepasang atau tiga roda giling yang dipasang di atas landasan batu, lalu digerakkan oleh tuas kayu yang ditarik kerbau mengelilingi kilangan tersebut untuk memeras air tebu seharian. Itulah industri mekanis pertama di Batavia yang menghasilkan komoditas ekspor. Gula pasir dan arak kemudian menjadi komoditas utama VOC dari Batavia yang dijual ke mancanegara.

Sejarawan Universitas Indonesia (UI), Bondan Kanumuyoso, menerangkan, terjadinya krisis ekonomi mengakibatkan turunnya ekspor gula dari Batavia. Kondisi ini mendorong terjadinya krisis politik yang berujung pada kekerasan berupa pembantaian terhadap pemukim Tionghoa di kota Batavia dan kemudian memicu Perang Geger Pacinan. Bondan Kanumuyoso yang meraih doktor ilmu sejarah dari Universitas Leiden, Belanda, melakukan riset mendalam tentang industri gula di Batavia pada akhir 1600-an.

Bondan menerangkan, industri gula tersebut membutuhkan modal dan tenaga kerja manusia yang padat karya dan umumnya dikerjakan oleh pengusaha Eropa dan Tionghoa. Di kilang gula tersebut, ada kelompok pekerja yang bertugas mengurus sawah atau kebun tebu, ada yang mengurus tanaman semusim untuk memasok kebutuhan pangan pekerja di pabrik, ada pula yang mengumpulkan kayu untuk memasak air tebu, serta ada yang bertugas memasak gula dan mengawasi kilang penggiling tebu. Umumnya mereka adalah pekerja Tionghoa karena kerasnya situasi kerja di kilang gula.

Pembukaan lahan perkebunan tebu tumbuh pesat dalam kurun waktu 1680-1720, seperti disebutkan dalam buku Geger Pacinan 1740-1743. Kuli Tionghoa terus berdatangan ke Batavia dan Ommelanden untuk mengadu nasib. Orang-orang Tionghoa tersebut yang sebagian adalah Muslim  lambat laun melebur dengan masyarakat setempat. Ketika akhirnya masuk dalam kehidupan masyarakat Bumiputera, kompeni Belanda kehilangan kendali atas mereka, termasuk dalam hal pajak kepala yang diterapkan kepada orang Tionghoa.

Semula kompeni Belanda sangat mendukung tumbuhnya industri gula karena membuat hidup kota Batavia tidak hanya mengandalkan kegiatan ekspor rempah Maluku ke Eropa.  Namun, dalam perkembangannya, pasokan gula di pasaran melimpah karena mendapat saingan dari industri gula di Hindia Barat atau Kepulauan Karibia yang dikerjakan oleh budak-budak tanpa bayaran. Tentu saja industri gula di Batavia menjadi kalah bersaing karena harga produknya lebih mahal karena dikerjakan oleh pekerja yang harus dibayar oleh pengusaha.

Walhasil, kompeni Belanda kemudian memerintahkan penurunan produksi, penetapan kuota, dan penurunan harga beli. Belum lagi, industri gula di Ommelanden mengakibatkan kerusakan lingkungan karena hutan digunduli untuk diambil kayunya yang digunakan sebagai kayu bakar di kilang gula.

Terjadilah ketegangan. Bukan saja antara kompeni dan para pemukim Tionghoa di Batavia dan Ommelanden, melainkan juga dengan para penguasa Nusantara. Kondisi ini menyebabkan Raja Sakti dari Minangkabau berkorespondensi dengan Sunan Amangkurat II dari Kasunanan Kartasura pada tahun 1686 membahas rencana serangan terhadap pos-pos VOC di Sumatera dan Banten.

Sunan Amangkurat II lalu berkirim surat kepada para penguasa Nusantara di Kesultanan Cirebon, Johor, Palembang, Kerajaan Siam, dan Kompeni Inggris, untuk meminta dukungan jika jadi menyerang kompeni Belanda.

Jauh sebelum itu, pada awal 1628 dan 1629, Sultan Agung dari Kerajaan Mataram yang merupakan leluhur Amangkurat II dua kali mengepung dan menyerang Batavia. Ketegangan dengan kompeni Belanda pun mengakar.

Pembantaian Tionghoa 1740

Krisis ekonomi di Batavia dan Ommelanden memburuk dan bergulir menjadi krisis politik. Pada saat yang sama, sejak tahun 1699, orang Tionghoa dibebani pajak kepala sebesar 15 Gulden. Pada tahun 1719 tercatat ada 7.550 pemukim Tionghoa di Kota Batavia.

Seiring krisis ekonomi, kompeni Belanda mulai merazia permukim Tionghoa dan melakukan deportasi pada tahun 1736. Lalu, Gubernur VOC Adriaan Valckenier menetapkan surat izin atau permissie brief seharga dua Gulden untuk setiap orang Tionghoa.

Uang yang diperoleh untuk mengisi kas VOC yang surut akibat jatuhnya harga rempah-rempah dan adanya persaingan perdagangan kopi dengan kompeni Inggris atau EIC. Pada tahun 1739 atau setahun sebelum pembantaian Tionghoa Batavia, tercatat secara resmi ada 10.574 permukim Tionghoa di Batavia. Namun, diyakini jumlah imigran gelapnya lebih banyak lagi, terutama di wilayah Ommelanden.

Pada Februari 1740, bersamaan dengan perayaan Tahun Baru Imlek, kompeni Belanda merazia orang Tionghoa. Sebanyak 100 orang Tionghoa di Tanjung Priok dan Bekasi ditangkap. Waktu itu, wabah penyakit juga sedang melanda. Warga Tionghoa yang mulai resah atas berbagai razia VOC mulai mempersenjatai diri.

Selanjutnya, pada Juli 1740, Dewan Hindia atau Raad van India memerintahkan razia orang Tionghoa yang mencurigakan. Meski memiliki izin tinggal, orang Tionghoa yang menganggur ditangkapi lalu akan dibuang ke Sri Lanka yang ketika itu menjadi koloni VOC. Beredar desas-desus, orang Tionghoa yang diangkut kapal ke Sri Lanka akan dibuang di tengah laut. Setelah itu, terjadilah rangkaian kekerasan di pinggiran Kota Batavia.

Pada September 1740 terlihat gerombolan lebih dari 1.000 orang Tionghoa di bawah pimpinan Sepanjang di kilang gula di Gandaria di selatan Batavia. Sepanjang disebut Kompeni sebagai Khe Panjang alias Tay Wan Soey. Tanggal 5 Oktober 1740, situasi keamanan memburuk. Gustaaf Baron van Imhoff dan Van Aarden pergi ke Tanah Abang mengajak Sepanjang untuk berunding. Tawaran pun ditolak.

Pada 7 Oktober 1740, laskar Tionghoa mulai menyerang pos-pos VOC di Meester Cornelis dan De Qual. Pasukan VOC dalam perjalanan ke Kaduwang yang diduga daerah Kedawung di Tangerang diserang laskar Tionghoa. Tercatat 16 serdadu Kompeni Belanda tewas. Pasukan Tionghoa mulai mendekati gerbang Kota Batavia.

Sehari setelahnya, pihak kompeni melarang warga Tionghoa mengungsikan perempuan keluar Batavia dan menerapkan jam malam. Orang Tionghoa yang melawan VOC atau kedapatan membawa senjata akan ditembak mati. Pagi-pagi tanggal 9 Oktober 1740, pasukan Tionghoa yang mendekati Batavia meninggalkan gerbang benteng Batavia. Suasana mulai kacau. VOC memerintahkan penangkapan orang Tionghoa.

Muncul desas-desus, orang yang ditangkap akan dibuang ke laut. Situasi menjadi kacau, para serdadu VOC mulai melepaskan tembakan di dalam Benteng Batavia untuk mengendalikan situasi. Permukiman Tionghoa di kawasan barat benteng, kini Roa Malaka, digeledah oleh kompeni.

Menjelang siang terjadi kebakaran di permukiman Tionghoa. Gubernur Jenderal VOC Adriaan Valckenier memerintahkan pembunuhan warga Tionghoa tanpa pandang bulu. Perempuan, anak-anak, dan orang tua tak terkecuali. Semua harus dibunuh!

Orang Eropa dan para budak dilibatkan dalam pembunuhan massal tersebut. Kaum Moor atau pendatang Muslim dipaksa terlibat oleh kompeni, jika tidak, keselamatan mereka tidak dijamin.

Puncak pembantaian kejam terjadi pada 10 Oktober 1740. Sebanyak 500 orang Tionghoa yang tersisa, baik lelaki, perempuan, tua maupun muda, diseret ke depan Stadt Huis, kini Museum Sejarah Jakarta.

Mereka disembelih di halaman gedung tersebut. Para pasien Rumah Sakit Tionghoa dekat Roa Malaka juga dibunuh. Jenazah mereka dibuang ke Kali Besar. Diperkirakan 7.000 sampai 10.000 orang Tionghoa dibunuh dalam pembantaian kejam selama tiga hari tersebut.

Laskar Tionghoa melawan

Sehari setelah pembantaian tersebut, pasukan Tionghoa di Tangerang mulai melawan balik. Dorodjadi mencatat, sebanyak 3.000-an laskar Tionghoa menyerbu Benteng VOC di Tangerang, sebanyak 5.000-an orang Tionghoa lainnya menyerbu pertahanan VOC di Meester Cornelis. Korban berjatuhan di kedua belah pihak dalam pertempuran yang berlangsung hingga petang hari.

Kapitan Sepanjang memindahkan laskar Tionghoa dari Gandaria ke Gading Melati. Mendengar kabar terjadinya pembantaian di Benteng Batavia, dia bermaksud menyerbu kota Batavia, tetapi kalah perlengkapan dan senjata.

Sepanjang sempat bergerak ke barat melintasi Sungai Cisadane. Namun, Sultan Banten melarang pasukan Tionghoa masuk ke wilayahnya karena tidak mau terlibat dalam konflik dengan VOC.

Akhirnya, Kapitan Sepanjang dan pasukan bergerak ke Bekasi menuju arah timur meninggalkan Kota Batavia untuk konsolidasi. Pada November 1740, sisa-sisa orang Tionghoa yang lolos dari pembantaian, berdatangan dari Tanjung Priok, Kampung Melayu, Pulogadung, dan Sukapura, ke Bekasi.

Pada akhir Oktober 1740, penguasa VOC di Semarang, yakni Bartholomeus Visscher, meminta Bupati Semarang Astrawijaya yang berdarah Tionghoa untuk menumpas perlawanan orang Tionghoa setempat jika mereka memberontak.

Dari kota Batavia, VOC mengirim Kapten Abraham Roos dan pasukannya untuk memburu Kapitan Sepanjang dan laskar Tionghoa yang berada di sekitar Bekasi dan Karawang. Pasukan Tionghoa mundur ke wilayah Mataram dengan melintasi wilayah Cirebon, Losari, dan Tegal.

Pada akhir tahun, pasukan Tionghoa dan para pengungsi dari Batavia diterima putra mantan Bupati Lasem Raden Panji Margana dan Bupati Lasem yang baru, yakni Tumenggung Widyaningrat alias Oey Ing Kiat.

Hubungan sosial yang cair antara warga Tionghoa dan Jawa di Mataram menyebabkan VOC kewalahan menghadapi perlawanan yang akan berlanjut hingga tahun 1743. Berbagai kota dan pos VOC diserang.

Sebelum itu, kedekatan hubungan antara penguasa Mataram dan para pemukim Tionghoa muncul dalam bentuk ditunjuknya orang-orang Tionghoa peranakan menjadi bupati, seperti keluarga Jayaningrat yang menjadi Bupati Pesisir Barat, Puspanegara sebagai Bupati Batang, Astrawijaya sebagai Bupati Semarang, dan Martaguno alias Cik Go Ing sebagai Bupati Lasem pada masa Sultan Agung.

Pada Mei 1741, Sunan Pakubuwono II membaca situasi yang ada dan meminta para bupati bersumpah setia dan siap mengusir VOC dari Tanah Jawa. Lalu pada Agustus 1741, Sunan Pakubuwono II secara terbuka menyatakan dukungannya terhadap perlawanan laskar Tionghoa dan bersama-sama melawan Kompeni Belanda. Ia juga memerintahkan Pangeran Mangkubumi untuk memimpin pasukan gabungan Jawa dan Tionghoa melawan bala bantuan VOC yang dipimpin Cakraningrat di medan tempur antara Tuban dan Lamongan.

Namun, berubahnya situasi politik yang memberi keunggulan pada VOC dan pasukan-pasukan bantuan yang didatangkan membuat Sunan Pakubuwono II mengalihkan dukungannya pada awal tahun 1742. Meski demikian, Patih Notokusumo, Bupati Martopuro, Bupati Mangunoneng, dan sejumlah bangsawan Mataram tetap ingin berperang bersama pasukan koalisi Jawa-Tionghoa tersebut.

Akhirnya, pada Februari hingga Maret 1942, tiga brigade Jawa dan tiga brigade Tionghoa di bawah pimpinan Raden Mas Garendi bertempur melawan Sunan Pakubuwono II dan VOC. Garendi kelak dinobatkan sebagai Amangkurat V. Raden Mas Garendi kemudian mengangkat Kapitan Sepanjang menjadi kepala staf bersama Pangeran Mangkubumi dan Raden Mas Said.

Perang tersebut ternyata berkepanjangan menjadi berbagai pertempuran di Semarang, Pati, Juwana, Kartasura, Grobogan, Purwodadi, hingga ke kota-kota di Jawa Timur yang melibatkan keturunan Untung Surapati di Pasuruan.

Persenjataan modern, seperti meriam, senapan, dan berbagai benteng pertahanan, dibangun oleh pihak koalisi Tionghoa-Jawa dan juga VOC yang disokong pasukan bantuan dari berbagai wilayah Nusantara.

Meski sempat menguasai Kartasura, Raden Mas Garendi alias Sunan Kuning dan pasukan Jawa-Tionghoa akhirnya dapat dikalahkan oleh VOC dan pasukan bantuannya pada tahun 1743. Ia menyerah kepada VOC di Surabaya dan dibuang ke Sri Lanka.

Sementara Pangeran Mangkubumi, sesudah perjanjian damai tahun 1755, mendapat kedudukan sebagai Sultan Hamengkubuwono I di Yogyakarta. Raden Mas Said alias Pangeran Sambernyawa sesudah perjanjian damai di Kalicacing tahun 1757 menjadi penguasa Mangkunegara dengan gelar KGPAA Mangkunegara I. Adapun Kapitan Sepanjang yang tetap tidak menyerah kemudian pindah ke Bali pada tahun 1750-an dan mengabdi kepada seorang raja di sana.

Sayangnya, peperangan terbesar yang pernah dihadapi kompeni Belanda alias VOC tersebut hilang dari ingatan sejarah bangsa. Padahal, ribuan nyawa serdadu Tionghoa dan Jawa dikorbankan dalam perang berkepanjangan yang nyaris mengusir Belanda dari Pulau Jawa yang menjadi pusat kekuasaannya di Nusantara.

Dampak dari kekalahan tersebut adalah jurang pemisah yang diterapkan penguasa kolonial dengan memisahkan antargolongan penduduk, termasuk golongan Tionghoa dan Jawa. Penjajah pun gencar menjalankan politik devide et impera atau memecah belah yang kini banyak diterapkan oleh kepentingan politik tertentu dengan memecah belah masyarakat melalui isu suku, agama, dan ras.

Belajar dari perang yang terjadi 280 tahun silam, kebersamaan antargolongan penduduk adalah modal untuk maju bersama, terutama dalam era kebangsaan modern Indonesia!

No comments:

Post a Comment