Monday, 26 December 2022

Jejak Yahudi di Arabia

Oleh SUMANTO AL QURTUBY

Dari aspek sejarah, Yahudi merupakan bagian integral dari Arabia serta turut membentuk peradaban dan kebudayaan masyarakat Arab masa lampau. Bukan tak mungkin Saudi dan Israel kelak akan menjalin hubungan diplomatik.

Belum lama ini seorang warga Israel-Yahudi kelahiran Arab Saudi bernama David Shunker menulis sebuah surat yang cukup mengharukan. Surat yang ditulis di Wall Street Journal itu ditujukan kepada Raja Salman dan Putra Mahkota Mohammed bin Salman. Shunker yang usianya mendekati 80 tahun memohon diizinkan mengunjungi desa kelahirannya di Najran (dulu masuk wilayah Yaman, tetapi sejak 1934 jadi teritori Arab Saudi).

Beda dengan Uni Emirat Arab, Bahrain, Sudan, Maroko, dan Jordania, Saudi tak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel sehingga warga negara di kedua negara itu tak bisa leluasa saling mengunjungi.

Shunker bersama ratusan warga Yahudi Najran berbondong-bondong meninggalkan Saudi menuju Israel—sebagian berjalan kaki, yang lain naik unta—sesaat setelah pendirian negara Israel tahun 1948.

Yahudi di Arabia Kuno

Penuturan Shunker ini salah satu bukti bahwa komunitas Yahudi pernah eksis di Semenanjung Arabia (Jazirah Arab).

Memang jika membaca literatur sejarah, baik yang ditulis para sejarawan Muslim (seperti Ibnu Hisyam, Tabari, atau Muqaddasi/al-Maqdisi) maupun bukan (Moshe Gil, Marshal Hodgson, Norman Stillman, dan sebagainya) dan aneka peninggalan arkeologis masa lampau, bangsa Yahudi pernah mendiami Arabia jauh sebelum Islam hadir di abad ketujuh Masehi.

Mereka umumnya tinggal di Arabia selatan (termasuk Najran) ataupun Arabia utara (misalnya Khaibar dan Yatsrib/Madinah) dan barat (seperti Jeddah). Di Arabia selatan, bangsa Yahudi pernah eksis terutama sejak Kerajaan Himyar mengadopsi Yudaisme (agama Yahudi) sebagai ”agama resmi negara” di abad ke-4 Masehi dan meninggalkan tradisi politeisme.

Salah satu Raja Himyar beragama Yahudi yang paling populer adalah Abu Karib (Abu Karib As’ad al-Kamil, memimpin 378-430 M) yang kemudian agresif melakukan ”yahudisasi” di kawasan Arabia selatan. Puncaknya di zaman Dhu Nuwas (Yusuf bin Syarhabil) yang memerintah antara 515 dan 525 M yang gencar ”meyahudikan” bangsa Arab dan lainnya.

Kelak, Kerajaan Himyar ditaklukkan oleh Kerajaan Aksum (berpusat di Afrika) yang berafiliasi ke Kristen dalam sebuah perang besar antara Byzantium (di mana Aksum jadi salah satu sekutunya) dan Persia (di mana Himyar jadi salah satu sekutu- nya). Sangat mungkin, Shunker ialah sisa-sisa komunitas Arab- Yahudi di Kerajaan Himyar.

Tak hanya di Arabia selatan, komunitas Yahudi juga eksis di Arabia utara, seperti Madinah (dulu bernama Yatsrib) dan Khaibar. Tak jelas apakah mereka suku-suku Yahudi yang bermigrasi dari Palestina, bangsa Arab yang ”diyahudikan” (Arab yang mengadopsi Yudaisme), atau komunitas Yahudi-Arab hasil perkawinan silang.

Para sejarawan bersilang pendapat soal ini. Moshe Gil dalam The Origins of the Jews of Yathrib berpendapat, komunitas Yahudi yang tinggal di Arabia utara ini ada yang suku Yahudi Israel Kuno (Israelites), tetapi ada pula yang suku-suku Arab pemeluk agama Yahudi. Sementara itu, sejarawan Muslim, seperti Tabari, Ibnu Hisyam, dan Maqdisi, menyebut mereka sebagai keturunan dari suku-suku Yahudi Israelites.

Dari mana pun asal-usul mereka, yang jelas cukup banyak suku atau klan yang berafiliasi atau diidentifikasi sebagai ”suku Yahudi” (atau suku ”Arab- Yahudi”) di Arabia utara. Sebut saja suku Auw, Bani Jusyam, Bani Aus, Bani Harits, Bani Sa’idah, Bani Quda’a, Bani Najjar, Bani Ghiffar, Bani Kinanah, Bani Nadir, Bani Qunaiqa, Bani Quraidha, dan banyak lagi.

Di antara sekian banyak suku Yahudi itu, Bani Nadir, Qunaiqa, dan Quraidha yang paling populer di kalangan umat Islam. Hal itu terkait dengan kesejarahan mereka sebagai penentang, pembangkang, atau pelanggar perjanjian damai (Perjanjian Madinah) dengan Nabi Muhammad dan para sahabat sehingga mengakibatkan peperangan di antara mereka.

Yahudi pro-Islam

Ketika Nabi Muhammad hijrah ke Madinah tahun 622 M, sebagian dari suku-suku itu secara sukarela konversi ke Islam, sebagian lagi tetap memeluk Yudaisme. Nabi tak memaksakan keyakinan keagamaan seseorang. Ia bahkan bersahabat baik dengan para tokoh dan rabi Yahudi. Salah satunya yang fenomenal bernama Mukhairiq dari Bani Tsa’labah.

Dikisahkan, ia ikut berjuang dan berperang bersama Muhammad (misalnya di Perang Uhud) dan meninggal sebagai martir. Sebelum wafat, Mukhairiq yang dikenal kaya raya berwasiat untuk mendonasikan atau mewakafkan semua harta kekayaan kepada Nabi Muhammad dan umat Islam. Nah, gagasan tentang wakaf dalam Islam itu bermula dari kisah ini.

Kisah Rabi Mukhairiq ini menunjukkan bahwa tak semua kelompok Yahudi kala itu memusuhi Nabi Muhammad dan rombongannya. Memang dalam sejarah awal formasi Islam, kelompok Yahudi dari Bani Qunaiqa, Quraidha, dan Nadir dikenal agresif kontra Muhammad. Selebihnya tidak. Bahkan sebagian kelompok Yahudi mendukung Nabi. Dalam konteks inilah, ayat Al Quran atau sejumlah hadis yang bernada ”anti-Yahudi” itu muncul.

Karen Armstrong (dalam Muhammad) atau Norman Stillman (dalam The Jews of Arab Lands) menegaskan ”perang Muslim-Yahudi” waktu itu harus dipahami dalam konteks spesifik sejarah sosial-politik kala itu. Artinya, ”konflik Muslim-Yahudi” pada waktu itu lebih karena dorongan aliansi politik-ekonomi-kesukuan.

Di zaman para sahabat setelah wafatnya Nabi Muhammad tahun 632, khususnya di era Umar bin Khattab, umat Yahudi di Madinah dan sekitarnya kemudian direlokasi atau dipindah ke Jeddah di Arabia barat. Karena itu, Jeddah dulu juga jadi tempat populasi Yahudi.

Saudi-Israel

Jejak, legacy, dan peninggalan bangsa Yahudi di Arabia ini masih bisa disaksikan hingga kini. Industri turisme arkeologis (heritage tourism) yang dikembangkan Pemerintah Saudi sejak beberapa tahun silam, antara lain, bertujuan merekonstruksi dan mengonservasi jejak historis-arkeologis bangsa Yahudi masa lampau di Arabia selatan, utara, dan barat.

Fenomena ini sangat kontras dengan yang terjadi di Indonesia, di mana peninggalan Yahudi masa lalu di Surabaya, yakni sinagog, justru dimusnahkan.

Diharapkan upaya ini bisa menarik turis mancanegara, khususnya Yahudi, dari beberapa negara, selain Israel karena masih terhalang kendala politik. Meski begitu, belakangan dikabarkan terjadi sejumlah ”pertemuan rahasia” antara petinggi Saudi dan petinggi Israel, termasuk kalangan pebisnis dari kedua negara. Saudi, konon, bahkan sudah menjalin kerja sama bisnis/dagang dengan Israel, khususnya di bidang teknologi pertanian, perairan, dan militer.

Kerja sama teknologi di bidang ekonomi/bisnis dan militer/pertahanan itu, antara lain, dilatari oleh kepentingan yang sama, yakni kebutuhan akan air, keinginan mentransformasi gurun pasir menjadi lahan pertanian/perkebunan agar tak tergantung pada produk pertanian/perkebunan dari negara-negara lain, serta menghadapi ancaman Iran.

Jadi, baik secara geografi maupun geopolitik, Saudi dan Israel memiliki kebutuhan dan kepentingan yang sama. Sementara, dari aspek sejarah, Yahudi merupakan bagian integral dari Arabia serta turut membentuk peradaban dan kebudayaan masyarakat Arab masa lampau.

Saya kira dengan sejumlah latar belakang, kepentingan nasional, dan kesamaan kebutuhan ini, bukan tak mungkin Saudi dan Israel akan menjalin hubungan diplomatik di kemudian hari. Dengan begitu, mimpi Shunker untuk mengunjungi tanah kelahirannya di Najran bisa terwujud dalam dunia nyata, bukan hanya mimpi belaka.

Sumanto Al QurtubyPendiri Nusantara Institute; Pengajar King Fahd University of Petroleum & Minerals

Kompas, Sabtu, 19 November 2022

No comments:

Post a Comment