Monday, 26 December 2022

Budaya di Timur Tengah, Agama di Indonesia

Oleh SUMANTO AL QURTUBY

Busana dan bahasa adalah produk budaya yang tak ada hubungannya dengan ajaran agama dan tingkat kesalehan seseorang. Kesalehan dan religiositas seseorang ditentukan moralitas, perilaku, dan komitmen sosial-kemanusiaan.

Menarik memperhatikan perbedaan sikap, pendapat, pandangan, persepsi, bahkan keyakinan antara (sebagian) umat Islam di Indonesia dan Timur Tengah mengenai berbagai hal menyangkut isu-isu sosial, kebudayaan, dan keagamaan.

Misalnya, banyak hal yang oleh umat Islam di Timur Tengah dianggap sebagai bagian dari produk kebudayaan, tetapi oleh kaum Muslim Indonesia dipandang sebagai bagian dari ajaran keagamaan (keislaman).

Salah satu isu yang menonjol dalam hal ini pandangan masyarakat mengenai busana. Sebagian umat Islam di Indonesia cenderung mengaitkan jenis busana tertentu, misal jilbab, hijab, kerudung, cadar (niqabburqa, dan lainnya), gamis (jubah), baju koko, atau sarung, dengan identitas keislaman dan bahkan ajaran keagamaan.

Karena itu, banyak dari mereka (kaum Muslim) yang tidak terima, marah, atau bahkan menganggap sebagai ”pelecehan” agama (Islam) kalau ada perempuan non-Muslim yang mengenakan pakaian jilbab/hijab. Mereka berpandangan (dan berkeyakinan) bahwa busana jilbab, hijab, dan cadar itu adalah ”busana Muslimah” dan bagian dari doktrin fundamental syariat Islam dan, oleh karena itu, hanya umat Islam-lah yang boleh atau berhak mengenakan busana tersebut.

Sementara itu, jenis pakaian selain jilbab dan hijab (misalnya kebaya, pakaian adat/daerah, atau berbagai bentuk pakaian masa kini) adalah ”busana sekuler” (baca, nonreligius).

Busana: agama atau budaya?

Di Timteng, sependek yang saya ketahui, masyarakat tidak mengaitkan busana semacam jilbab serta kain penutup kepala dan wajah dengan ajaran keagamaan tertentu. Hanya sekelumit kelompok agama yang mengklaim jenis busana tertentu sebagai bagian dari ajaran keagamaan mereka.

Misalnya, kelompok ultrakonservatif Yahudi, Haredi Burqa, memandang jilbab, hijab, dan cadar itu adalah bagian integral dari ajaran agama dan syariat Yahudi. Pandangan ini mirip dengan sekelompok Muslim di Indonesia yang mengklaim jilbab, hijab, dan cadar bagian dari tradisi, syariat, doktrin, dan ajaran normatif Islam.

Pula, umat Islam di Timteng tidak menuduh non-Muslimah yang mengenakan busana jilbab dan sejenisnya sebagai pelecehan atau penodaan agama dan syariat Islam. Di Timteng, kita dengan mudah menjumpai perempuan dari berbagai latar belakang agama, kepercayaan, dan ideologi mengenakan busana sejenis jilbab di ruang publik.

Jamak dimaklumi kalau ada banyak perempuan dari berbagai kelompok atau denominasi Kristen Timteng, seperti Koptik, Maronite, dan Ortodoks Suriah, yang mengenakan busana jilbab dan hijab (bahkan cadar).

Begitu pula kaum perempuan dari kelompok Yahudi, seperti Haredi, Yahudi Yaman, atau Beth Israel, yang memakai jilbab lengkap dengan kain penutup kepala dan muka (semua berwarna hitam seperti umumnya dipakai perempuan Salafi-Wahabi di Jazirah Arab).

Yang menarik, meskipun kelompok konservatif Salafi-Wahabi mengampanyekan pentingnya menutup aurat, baik perempuan maupun laki-laki, mereka tidak mewajibkan umat Islam menutup tubuh mereka dengan jenis busana tertentu, seperti jilbab.

Bagi mereka, bentuk busana apa pun yang dipakai oleh perempuan dipandang sudah cukup asal dianggap sudah menutup aurat mereka. Karena itu, di Timteng, banyak dijumpai perempuan yang mengenakan aneka busana dari suku atau klan mereka (semacam pakaian daerah di Indonesia).

Yang menarik, perempuan memakai kerudung juga makin marak dan banyak dijumpai di Timteng. Padahal, kerudung, oleh kelompok Islam tertentu di Indonesia, dianggap kurang islami atau kurang syar’i.

Di Indonesia, saya perhatikan agak berbeda dinamikanya. Sekelompok pengikut Salafi-Wahabi memandang Muslimah harus mengenakan busana jilbab, bukan, misalnya, kebaya atau pakaian daerah/adat karena dianggap tak islami atau tidak syar’i meski sudah menutup aurat.

Dengan kata lain, bagi mereka, menutup aurat saja tak cukup. Jenis kain/busana apa yang digunakan untuk menutup aurat juga mereka anggap penting dan jadi bagian integral dari diskursus dan praktik keagamaan yang mereka yakini, dakwahkan, dan kampanyekan.

Lebih lanjut, dalam konteks Indonesia, pandangan atau keyakinan bahwa busana jilbab, hijab, atau bahkan cadar sebagai ajaran dan syariat Islam berimplikasi pada sikap dan pergaulan mereka sehari-hari yang cenderung tertutup, eksklusif, dan membatasi diri dari hal ihwal yang dianggap bisa mengganggu atau menodai iman.

Sebaliknya, di Timteng, karena menganggap busana adalah produk budaya, umat Islam tak membatasi pergaulan mereka dengan kelompok dan umat lain. Mereka juga tidak selektif dan membatasi dalam menjalankan aktivitas sehari-hari.

Di Palestina, misalnya, banyak perempuan Muslimah yang mengenakan jilbab, hijab, dan cadar bekerja membuat kerajinan aksesori dan pernak-pernik yang berkaitan dengan agama/umat Kristen (misalnya lambang salib, topi Sinterklas, patung Yesus atau Bunda Maria, dan sebagainya) guna dijajakan kepada para turis Kristiani di Jerusalem.

Busana laki-laki

Bukan hanya busana perempuan, busana yang dikenakan laki-laki pun ada perbedaan pandangan yang signifikan. Di Indonesia, ada persepsi di sebagian umat Islam bahwa gamis (jubah) warna putih itu adalah ”pakaian nabi” (Muhammad SAW) dan karena itu mengenakannya adalah sunah rasul.

Sementara itu, masyarakat Muslim Timteng nyaris tidak ada yang menganggap gamis itu sebagai ”busana nabi” 15 abad silam, tetapi pakaian kontemporer masyarakat Arab—apa pun agama mereka—yang desain, corak, dan warnanya beraneka ragam.

Di Timteng, gamis banyak digunakan masyarakat Saudi, Yaman, Qatar, Uni Emirat Arab, Bahrain, atau Kuwait, baik Muslim maupun non-Muslim.

Banyak juga non-Muslim Arab di negara-negara ini yang mengenakan gamis saat ibadah kebaktian di gereja. Di luar negara-negara ini (misal Mesir, Lebanon, Irak, dan Suriah), pakaian kasual (jins, kaus, kemeja, dan lainnya) lebih banyak dipakai dan berkembang di masyarakat.

Sementara itu, di kalangan generasi muda Arab, di hampir semua negara di Timteng, pakaian kasual berkembang pesat. Di kawasan Arab Teluk, gamis lengkap dengan kain penutup kepala dan tali pengikat dipakai kalau ada acara resmi (atau semiresmi), seperti resepsi pernikahan, wisuda, atau bekerja di kantor.

Singkatnya, jika di Indonesia gamis dikaitkan dengan identitas keislaman, di Timteng pakaian gamis dianggap sebagai produk budaya masyarakat Arab modern yang tak beragama atau tak ada sangkut paut dengan agama tertentu.

Bahasa dan huruf Arab

Selain busana, pandangan mengenai bahasa Arab juga berbeda. Saya perhatikan umat Islam di Indonesia memandang bahasa (dan huruf) Arab adalah bagian dari identitas ”bahasa Islam” dan identitas keislaman yang suci dan sakral karena dikaitkan dengan status ke-Arab-an Al-Quran.

Ada kecenderungan masyarakat Islam di Indonesia tak bisa membedakan mana ”bahasa Arab” dan ”bahasa Al-Quran”. Bukan hanya itu, bahasa Arab juga dikaitkan dengan tingkat kesalehan, religiositas, atau keislamian individu.

Maka, jika ada umat Islam yang banyak mengekspresikan diri dengan bahasa Arab, mereka dianggap lebih saleh, religius, dan islami. Lantaran menganggap bahasa/huruf Arab bagian dari simbol dan identitas keislaman, mereka menganggap pelecehan atau penghinaan terhadap Islam jika huruf (dan bahasa) Arab digunakan sebagai tulisan di tempat-tempat yang dianggap tidak pantas atau jika ada kitab-kitab non-Muslim (misalnya Injil) yang menggunakan bahasa/huruf Arab.

Mereka juga berpandangan non-Muslim tidak boleh mengucapkan kalimat-kalimat bahasa Arab tertentu (misalnya mengucapkan salam, melafalkan kata ”Allah”, pujian-pujian, takbir, dan sebagainya) karena menganggap semua itu bagian dari identitas keislaman.

Di Timteng beda. Bahasa Arab adalah bahasa lingua franca yang dipakai sebagai medium komunikasi oleh berbagai kelompok etnis dan agama. Karena itu, gereja-gereja Arab Timteng juga memakai bahasa Arab dalam pelayanan ibadah, khotbah, konseling, dan lainnya.

Non-Muslim Arab juga biasa mengucapkan salam, takbir, tasbih, tahmid, dan lain-lain dalam bahasa Arab karena memang itu bahasa mereka. Karena Arab adalah bahasa mereka, Injil pun ditulis dengan huruf Arab. Bahkan, kitab-kitab Yahudi ada yang ditulis dengan huruf/bahasa Arab, selain bahasa Ibrani tentunya.

Menyikapi semua itu, umat Islam Arab Timteng sama sekali tidak menganggap hal itu sebagai pelecehan atau penodaan ajaran Islam karena mereka tahu bahwa bahasa Arab adalah bahasa ”lintas agama”. Pula, mereka sama sekali tidak mengaitkan bahasa Arab dengan tingkat kesalehan, religiositas, dan keislamian seorang Muslim/Muslimah.

Produk budaya

Saya sendiri berpendapat busana dan bahasa adalah produk budaya yang tak ada hubungannya dengan ajaran agama dan tingkat kesalehan seseorang. Karena itu, umat Islam, baik laki-laki maupun perempuan, bebas mengenakan jenis busana apa saja di ruang publik asal sesuai dengan norma kepantasan masyarakat setempat.

Kesalehan, religiositas, dan keislamian seseorang bukan ditentukan oleh jenis busana apa yang dipakai, penggunaan bahasa Arab, atau rutinitas ibadah, melainkan oleh moralitas, perilaku individu, serta komitmen mereka terhadap persoalan sosial-kemanusiaan.

Sumanto Al QurtubyPendiri Nusantara Institute; Pengajar King Fahd University of Petroleum & Minerals

Kompas, Senin, 5 September 2022

No comments:

Post a Comment