Monday, 26 December 2022

Wallacea Zona Pembauran

Zona Wallacea berperan penting sebagai lokasi pertemuan populasi Papua dengan Denivosan dan Austronesia. Gen Denivosan memberikan kekebalan kepada populasi Papua dari penyakit.

JAKARTA, KOMPAS-Kepulauan Wallacea, yang meliputi Sulawesi, Kepulauan Maluku dan Maluku Utara, serta Nusa Tenggara memiliki peran penting mempertemukan populasi Papua dan Austronesia, dan sebelumnya dengan manusia arkaik Denivosan. Adanya gen Denivosan ini memberikan kekebalan terhadap penyakit infeksi.

Tingginya komposisi gen Denivosan pada populasi Papua dibandingkan populasi manusia modern di dunia juga memberikan hipotesis baru bahwa Kepulauan Wallacea memiliki kantong-kantong hunian populasi arkaik ini pada masa lalu.

Peran penting Kepulauan Wallacea dalam jalur migrasi dan pembauran manusia modern di Indonesia hingga Australia ini diungkap dalam paper terbaru jurnal Genes yang diterbitkan pada Jumat (06/12/2022).

Leonard Taufik, eks peneliti Lembaga Biologi Molekuler Eijkman yang saat ini studi doktoral di Australian Centre for Ancient DNA, University of Adelaide, Australia, menjadi penulis pertama paper ini. Selain sejumlah peneliti lain dari University of Adelaide, termasuk Gludhug A Purnomo, paper juga ditulis Herawati Supolo Sudoyo dari Mochtar Riady Institute for Nanotechnology.

"Ini adalah paper dari analisis review, yang mengontruksi temuan-temuan terbaru yang ada untuk menyusun penghunian manusia di Kepulauan Wallacea," kata Gludhug.

Paper ini menyimpulkan, data genetik menunjukkan, populasi manusia modern (Homo sapiens) paling awal tiba di Kepulauan Wallacea sekitar 50.000-60.000 tahun lalu dan kemudian menyeberang hingga Papua. Pemisahan populasi menuju Aborigin Australia dan Niugini terjadi sekitar waktu yang sama. 

Migrasi selanjutnya terkait dengan kedatangan pelaut Austronesia ke Wallacea. Mereka kemudian bertemu dengan kelompok populasi Papua yang melakukan migrasi balik ke arah Kepulauan Wallacea sekitar 3.000 tahun lalu. Pembauran ini menyebabkan masyarakat di Kepulauan Wallacea saat ini memiliki komposisi genetika Papua dan Austronesia.

Kajian sebelumnya oleh Tumonggor (2013) dengan menganalisis DNA pada 2.740 individu dari 12 pulau, enam dari Indonesia barat dan selebihnya dari NTT (Sumba, Flores, Lembata, Alor, Pantar, dan Timor), menemukan pembauran intensif antara penutur Austronesia dan penutur Papua itu di Kepulauan Wallacea.

Sementara itu, kajian Stephen Lansing dkk (2007) di Pulau Sumba menemukan, hanya 35 persen bahasa orang Sumba yang berakar pada proto-Austronesia. Sisanya berasal dari penutur Papua.

Salah satu temuan penting dalam paper ini , menurut Gludhug, adalah adanya pola pembauran di Filipina dan Papua yang sama-sama memiliki dua sumber genetika Denivosan. Selain pembauran dengan Denivosan yang terjadi selama perjalanan leluhur mereka saat masih di daratan Asia, pembauran berikutnya diperkirakan terjadi di Kepulauan Wallacea. "Dari bukti genetiknya kami menduga Denivosan punya kantong-kantong tempat tinggal di Kepulauan Wallacea, yang hingga saat ini belum bisa diketahui dengan pasti karena belum ada temuan arkeologinya," katanya.

Studi sebelumnya yang mengurutkan DNA hominin di dalam genom manusia kontemporer telah mengungkapkan bahwa semua manusia non-Afrika masa kini membawa setidaknya 2 persen keturunan genetik Neanderthal. Sementara DNA Denivosan pada umumnya ditemukan pada populasi di Asia Selatan dan Asia Timur, akan tetapi populasi yang tinggal di sebelah timur Garis Wallacea memiliki komposisi Denivosan paling tinggi, yaitu 2-6 persen.

Leonard, dalam papernya, menyebutkan, keturunan Denivosan di dalam gen populasi manusia di Papua saat ini kemungkinan berasal dari kelompok hominin yang bukti fosilnya belum ditemukan saat ini." Ini menunjukkan Sulawesi sebagai lokasi yang masuk akal untuk penyelidikan lebih lanjut," katanya.

Kekebalan

Sementara itu, kajian terpisah yang ditulis Davide M Vespasiani dari Melbourne Integrative Genomics, University of Melbourne, dan tim di jurnal Plose Genetics pada 8 Desember 2022 menunjukkan, pembauran genetik dengan Denivosan menjadi bekal penting populasi Papua untuk beradaptasi dengan lingkungan di Paparan Sahul.

Ketika manusia modern pertama kali bermigrasi dari Afrika ke pulau tropis di Pasific barat daya ini, mereka bertemu dengan Denivosan dan juga patogen baru. Beberapa varian ini masih bertahan dalam genom orang yang tinggal di Papua saat ini, menurut sebuah studi baru.

Dalam studi ini, Vespasiani dan tim menyelidiki fungsi alel Denivosan dan Neanderthal yang dicirikan dalam satu set 56 genom dari individu Papua dan diambil dari Proyek Keanekaragaman Genom Indonesia. Para peneliti, sebagian besar dari Australia dan Niugini, membandingkan genom tersebut dengan genom Denivosan dari Gua Denivosan di Siberia, serta Neanderthal.

Mereka menemukan bahwa orang Papua telah mewarisi frekuensi yang luar biasa tinggi dari 82.000 varian genetik yang dikenal sebagai polimorfisme nukleotida tunggal, yang muncul dari perbedaan satu basa atau huruf dalam kode genetik yang asalnya dari Denivosan.

Dua varian genetik Denivosan yang ditemukan dalam garis sel Papua menurunkan transkripsi atau produksi protein yang mengatur sitokin, bagian dari pertahanan sistem kekebalan terhadap infeksi, mengurangi peradangan. Respons inflamasi ini bisa membantu orang Papua mengatasi banyak infeksi baru yang akan mereka temui di wilayah itu.

Kompas, Sabtu, 17 Desember 2022

No comments:

Post a Comment