Oleh MOHAMMAD HILMI FAIQ
Cokek lahir dari Rahim akulturasi budaya Tionghoa dan Betawi pada masa kolonial. Seni tradisi ini bergeser dari simbol kemapanan dan kejayaan menjadi kesenian jelata yang meruntuhkan sekat-sekat strata sosial.
Tamu undangan pernikahan di Rumah Kawin 9 Saudara ikut menari Sipatmo atau cokek di Tangerang, Banten, Sabtu (14/3). Tari cokek diiringi gambang keromong sebagai perpaduan budaya Betawi dan Tionghoa. (Kompas/Lucky Pransiska)
Suara Nasri Sumiati (56) melengking menyanyikan lagu “SayurAsem” di rumah kawin di Jalan Kalibaru, Kecamatan Sukahaji, Kabupaten Tangerang, Banten, Minggu (8/3) malam. Lagu yang dipopulerkan Lilis Suryani era 1960-an itu terkesan rancak diiringi musik Gambang Keromong Warna Sari asuhan To Tjuang Ong. Satu-dua tamu yang hadir dalam pernikahan Saputra Wijaya dan Vina tersebut maju ke panggung, ngibing bersama cokek atau penari.
“Tu yang jongkok makannye sayur di kobok/Mertua sewot dilegok kagak dilongok/Sayur asem bikin abang makan gembul/Makan sepiriiing… jadi sebakul/”
Suara Nasri diikuti goyangan cokek dan pria-pria yang ikut ngibing. Nasri terus bernyanyi dan para cokek tanpa henti berjoget bersama hingga tengah malam. Warga Tionghoa-Betawi hampir selalu menanggap gambanga keromong sepaket dengan coket dalam setiap pesta pernikahan.
Bagi Purna Wijaya alias Ong Cuan Ho (44), tanpa cokek, pesta pernikahan bakal sepi sebab cokek menjadi daya tarik tamu undangan. Semakin ramai tamu yang datang, pemilik hajat semakin bangga. Makanya, pria Tionghoa-Betawi itu rela merogoh Rp 7 juta untuk menghadirkan gambang keromong beserta para cokek dalam pernikahan keponakannya tersebut.
Ang alias Anton (55) menggelar pesta pernikahan di rumah kawin 9 Saudara, Kelurahan Dadap, Kecamatan Kosambi, Kabupaten Tangerang, selama dua hari dua malam itu. Tidak kurang dari 13 cokek menari setiap malam. Malam itu, di 9 Saudara, Sunpo (68) yang sejak bujangan hobi ngibing berbincang dengan Thio Tek Liong (73). Keduanya telah berbulan-bulan tidak bertemu. Mereka berbincang tentang teman-teman yang juga lama tidak bertemu. Malam itu mereka tak ngibing meski berkali-kali mak biang atau coordinator cokek menawari selendang, kain sepanjang 30 sentimeter dan selebar penggaris anak-anak sekolah, yang dijadikan tanda bahwa mereka bersedia ngibing dengan seorang cokek. “Malam ini saya duduk saja sambil minum dan ngobrol. Sudah ga kuat ngibing,” kata Sunpo.
Sementara beberapa cokek duduk manis di kursi bersama Mak Biang Sani (53). Sani meminta para cokek untuk tidak diam saja, tetapi segera mendekati para tamu pria, mengajaknya ngobrol. “Ajak ngibing. Jangan diam saja,” tutur bekas cokek yang sejak 12 tahun lalu beralih menjadi mak biang ini.
Cokek identik dengan gambang keromong karena setiap penampilan cokek selalu diiringi gambang keromong. Cokek sudah ada sejak masa kolonial. Phoa Kian Sioe dalam artikel “Orkest Gambang, Hasil Kesenian Tionghoa Peranakan di Djakarta” yang dimuat majalah Pantja Warna edisi Nomor 9, Juni 1949, mengatakan, gambang keromong merupakan hasil akulturasi kesenian Tionghoa dan pribumi (Betawi).
Ia menceritakan, pada awalnya peranakan Tionghoa mencoba memainkan gamelan, baik selendro maupun pelog, tetapi hasilnya tak semerdu permainan peranakan Tionghoa di Jawa Timur, Jawa Tengah, atau Priangan di Jawa Barat. Mereka lebih senang memainkan yangkhim dipadu dengan alat-alat musik gesek, seperti sukong, tehyan, dan kongahyan, serta suling dan ning-nong.
Namun, karena sulit mendapat yangkhim, mereka menggantinya dengan gamelan. Inilah proses awal akulturasi budaya Tionghoa dan pribumi berlangsung.
Dalam perkembangannya, kata pemerhati kesenian Betawi, Rachmat Ruchiat (88), selain gamelan, gambang keromong, kecrek, gong, dan gendang merupakan unsur pribumi yang turut memperkuat identitas gambang keromong sebagai produk budaya akulturatif. Bahkan, lagu-lagu yang dinyanyikan pun bercorak Tionghoa-pribumi, seperti “Jali-jali”, “Balo-balo”, “Citnosa”, dan “Pepantaw”. Tionghoa dan Betawi kemudian saling memengaruhi.
Ini pula yang diyakini Pramoedya Ananta Toer sebagaimana tertuang dalam buku Hoakiau di Indonesia (1998), gambang keromong jelas merupakan kesenian pribumi yang kuat dipengaruhi oleh kesenian Tionghoa. Begitu juga dengan lenong yang merupakan cangkokan dari drama pada tradisi Kuan Hantjing.
Pada mulanya, gambang keromong banyak dimiliki oleh cukong-cukong peranakan. Untuk memeriahkan gambang keromong, mereka menampilkan tjio kek (cokek), yakni gadis-gadis setempat, untuk menyanyi sekaligus menari. Banyak cokek yang kemudian menjadi kekasih para pembesar, seperti kapitein, luitenant, atau sia-sia (anak-anak kapitein dan luitenant).
“Boeat mendapatkan ini, tida begitoe gampang, kaloe tida mempoenjai oewang banjak. Jang koeat menpunjai tjio kek (zangeres) tjoema orang-orang jang mendjabat pangkat kapitein (kaptoa), luitenant (kapja), dan sia-sia (anak-anak kapitein atawa luitenant),” tulis Phoa Kian Sioe.
Uniknya, para pembesar tersebut seperti berkewajiban untuk turut serta saat para cokek manggung di acara kawinan. Saat itulah, para pembesar berinteraksi dengan rakyak jelata yang kemudian meruntuhkan batas-batas birokrasi sehingga terbangun tatanan egaliter.
Kesenian ini tumbuh subur pada komunitas Betawi udik, yaitu mereka yang tinggal di daerah utara dan barat Jakarta, serta Tangerang yang banyak dipengaruhi budaya Tionghoa. Betawi udik juga termasuk yang tinggal di timur dan selatan Jakarta yang dipengaruhi budaya Sunda. Cokek sendiri kini tumbuh subur di Tangerang. Hampir setiap akhir pekan ada penampilan cokek dan gambang keromong, kecuali bulan puasa.
Bergeser
Hingga akhir 1970-an, cokek selalu memakai baju kurung, celana panjang, dan rambut diikat benang sutra atau wol. Ada juga yang memakai kebaya. Ruchiat mengingat, penari cokek kawakan kala itu, Meme Karawang, sering memakai baju kurung warna cerah dan sanggul wol warna merah. Tari yang dibawakan biasanya sipatmo yang sarat pesan moral. Misalnya gerak berhadap-hadapan berarti saling menghormati dan menyayangi.
Tari sipatmo ini biasanya ditampilkan dalam upacara ulang tahun atau pernikahan para pembesar peranakan Tionghoa. Sampai sekarang, di setiap upacara pernikahan selalu ada cokek, tetapi minus sipatmo. Bahkan, sulit menemukan cokek yang paham arti gerakannya. “Saya ga paham artinya. Ya asal gerak saja mengikuti lagu,” kata Atiek (39), cokek asal Bekasi, Jawa Barat.
Lepas dari itu semua, cokek masih mampu berfungsi sebagai pelebur strata sosial. Pada berbagai penampilan cokek di upacara pernikahan, tidak sedikit buruh dan majikan melantai bersama berjoget ditemani cokek. “Saya dikasih uang cepek untuk nyawer cokek sama majikan saja,” kata Bahruddin (20), sembari menunjuk majikannya.
Di situ seni cokek, tak cuma jadi penghibur, tetapi pelebur tatanan antarstrata sosial di masyarakat.
Kompas, Minggu, 29 Maret 2015