Oleh RIANA A IBRAHIM
“When injustice becomes law, resistance becomes duty.” Gagasan ini muncul dari Thomas Jefferson ketika merumuskan Declaration of Independence, Juli 1776. Ungkapan ini menjadi masuk akan melihat kondisi penegakan hukum di Indonesia yang saat ini sedang karut-marut. Apalagi, ketika suatu upaya hukum dimanfaatkan untuk menyelamatkan diri sendiri dan kepentingan kelompok tertentu.
Hakim Sarpin Rizaldi hendak memimpin sidang perdana praperadilan penetapan Budi Gunawan sebagai tersangka pemilik rekening mencurigakan oleh KPK di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (2/2/2015). (Tribunnews/Dany Permana)
Kasus praperadilan contohnya. Upaya praperadilan yang diatur dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana berfungsi untuk mencari keadilan. Namun, beberapa kali, praperadilan justru disalahgunakan. Mereka yang berstatus tersangka kemudian “berteriak” soal ketidakadilan melalui permohonan praperadilan yang keputusannya di tangan hakim.
Pada 16 Januari 2015, hakim tunggal Sarpin Rizaldi memutus permohonan praperadilan Komisaris Jenderal Budi Gunawan. Putusan Sarpin memicu kontroversi karena ia mengabulkan permohonan praperadilan itu. Penetapan tersangka Budi Gunawan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi tidak sah. Penyidikannya juga tak dianggap sah.
Isi Pasal 77 pada UU No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP ibarat tak digubris hakim. Dalam pasal itu tercantum, penetapan tersangka bukan obyek praperadilan. Pengadilan negeri disebutkan hanya berwenang memeriksa dan memutus sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, atau penghentian penuntutan.
Yang menarik, belum lama ini seorang hakim mengambil keputusan yang bertentangan dengan Sarpin. Hakim Pengadilan Negeri Purwokerto, Jawa Tengah, Kristanto Sahat, tak mengabulkan permohonan gugatan praperadilan Mukti Ali, tersangka kasus korupsi dana bantuan sosial penyelamatan sapi betina. Dalam putusannya, ia mengatakan, penetapan tersangka tak masuk dalam obyek praperadilan.
Pakar hukum pidana dari Universitas Indonesia Gandjar Laksmana Bonaprapta menegaskan fakta yang dianut Sahat ini. “Dalam aturannya, penetapan tersangka memang bukan obyek praperadilan. Mereka yang menganggap penetapan tersangka juga wewenang praperadilan karena menggunakan penafsiran yang diperluas. Padahal, KUHAP itu merupakan hukum tentang tata cara dan prosedur yang tidak boleh ditafsirkan,” ujar Gandjar.
Bukannya tak bermasalah. Putusan Sarpin yang bertentangan dengan KUHAP itu membawa preseden buruk, terutama bagi KPK. Sejumlah tersangka yang pernah ditetapkan KPK satu per satu mengajukan praperadilan. Ke depan, bahkan bisa saja tersangka yang ditetapkan polisi dan jaksa bisa mengajukan permohonan praperadilan.
Namun, putusan Sarpin ini semestinya tak mengebiri KPK dalam penanganan kasus Budi Gunawan. Gandjar mengatakan, jika mengacu pada putusan Sarpin, KPK tak perlu melimpahkan ke Kejaksaan Agung. “Dalam putusan dinyatakan penyidikan KPK tidak sah. Artinya, status kasus BG turun ke penyelidikan. Sesuai UU KPK, penyelidikan tak bisa dilimpahkan,” tegas Gandjar.
Jika merunut ke belakang. Kejaksaan Agung pernah juga mengalami hal serupa. Ketika itu, Bachtiar Abdul Fatah, tersangka kasus bioremediasi PT Chevron Pacific Indonesia yang ditangani Kejagung, memohon praperadilan.
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan juga mengabulkan permohonan itu. Namun, Kejagung tetap melanjutkan perkara walau praperadilan atas penetapan tersangka Bachtiar dikabulkan.
Kejagung pun membuktikan Bachtiar bersalah. Putusan itu diperkuat putusan kasasi MA pada Oktober 2014. Bachtiar dihukum empat tahun penjara dan denda Rp 200 juta.
Lalu, untuk apa sebenarnya praperadilan? Mencari keadilan atau “menikam” proses menuju keadilan? Rasanya, hukum layak dikembalikan pada tujuannya, yakni untuk menegakkan keadilan.
Kompas, Minggu, 15 Maret 2015
No comments:
Post a Comment