Oleh ALI MUSTAFA YAQUB
Berita hilangnya 16 warga negara Indonesia di Turki, yang diduga bergabung dengan Negara Islam di Irak dan Suriah, kembali mengentakkan perhatian dunia.
Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), yang konon dibentuk pada 2013, ternyata tidak padam kendati dunia mengutuk mereka. Hal ini memperkuat dugaan bahwa NIIS memang tidak berdiri sendiri, tetapi ada pihak yang sengaja mendirikan dan memeliharanya untuk kepentingan tertentu.
Dalam sejarah Islam, paham-paham radikal telah muncul sepeninggal Nabi Muhammad SAW. Sekurang-kurangnya pada dekade ke-4 Hijriah, dalam pemerintahan Amirulmukminin Ali bin Abi Thalib RA, telah muncul paham Khawarij.
Secara kebahasaan, Khawarij adalah bentuk plural dari kharijah, yang berarti kelompok yang keluar. Pada masa pemerintahan Ali bin Abi Thalib, Khawarij adalah kelompok yang tidak lagi loyal terhadap pemerintahan Ali bin Abi Thalib.
Dalam konteks masa kini, Khawarij adalah kelompok yang berpaham anti pemerintah yang sah. Mereka berpendapat, ketika kepala negara sudah melakukan sesuatu yang dilarang oleh Allah, maka ia dinilai telah melakukan dosa besar dan karena itu ia tidak wajib ditaati lantaran telah keluar dari agama Islam. Ronde berikutnya, kelompok ini berpendapat bahwa kepala negara yang telah melakukan perbuatan seperti itu wajib diperangi dan halal dibunuh. Inilah paham kelompok Khawarij.
Pada akhir abad pertama aau paling tidak awal abad ke-4 Hijriah, muncul juga kelompok radikal yang lain dalam sejarah Islam, yaitu kelompok Muktazilah. Berbeda dari kelompok Khawarij yang berawal dari pemikiran politik kemudian merambah ke wilayah teologis, kelompok Muktazilah justru sebaliknya: ia muncul dari pemikiran teologis, kemudian merambah ke wilayah politik.
Paham Muktazilah yang dimotori Washil bin Atha ini pendapatnya berseberangan dengan gurunya, Imam al-Hasan al-Bashri (ulama generasi Tabi’in atau murid sahabat Nabi SAW), yang pada masa-masa berikutnya merambah ke pemikiran politik yang radikal. Menurut Muktazilah, yang dimaksud dengan amar makruf nahi mungkar (menegakkan kebenaran dan mencegah kemungkaran) adalah memerangi pada pemimpin bangsa. Maka, dua kelompok ini – Khawarij dan Muktazilah – menyatu dalam pemikiran dan perilaku radikalisme.
Tak terkait agama
Sekurang-kurangnya awal abad ke-3 Hijriah kedua paham ini telah hilang ditelan sejarah. Hanya sempat disebut-sebut saja dalam buku bahwa ada kelompok Ibadhiah yang konon masih eksis, meskipun kecil, di bagian selatan Aljazair dan Kesultanan Oman. Kelompok ini disebut-sebut berafiliasi kepada paham Khawarij. Namun, tiba-tiba – setelah Perang Teluk 1991 – dua paham tadi, khususnya Khawarij, muncul kembali ke permukaan dan menyebar di berbagai belahan dunia.
Kelompok-kelompok yang mengusung radikalisme dan terorisme itu banyak mengacu pada paham Khawarij. Mereka tidak lagi loyal terhadap pemerintah yang sah, bahkan justru memeranginya dengan berbagai cara.
Tersebutlah kelompok-kelompok itu baik skala nasional maupun internasional, seperti (untuk sekadar menyebut beberapa contoh) Al Qaeda, Jemaah Islamiyah, dan NIIS. Kendati kelompok-kelompok itu mengibarkan bendera agama, sejatinya terorisme tak ada kaitannya dengan agama mana pun karena terorisme memang tidak memiliki agama dan kebangsaan. Sebab, terorisme dapat datang dari pemeluk agama mana saja dan dari bangsa apa saja.
Ketika kami menerima empat senator Amerika Serikat di Masjid Istiqlal, Jakarta, dan merekan menanyakan pendapat tentang NIIS, kami menjawab bahwa NIIS bukanlah gerakan Islam dan tidak pernah terlahir dari rahim umat Islam. Hal itu karena karakter dan perilaku NIIS sangat jauh bertentangan dengan ajaran Islam.
Oleh karena itu, mengaitkan NIIS dengan agama Islam akan melahirkan kesimpulan yang salah karena Islam adalah ajaran yang tertulis dalam Al Quran dan Hadis Nabi Muhammad SAW, bukan yang dilakukan oleh oknum-oknum Muslim yang justru sangat menyimpang dari ajaran Islam.
Setiap perbuatan terorisme dan radikalisme haruslah dipahami sebagai sebuah kriminalitas yang dilakukan oleh seseorang yang boleh jadi menganut agama tertentu. Kendati demikian, terorisme dan radikalisme bukanlah ajaran agama yang dianut karena ajaran agama yang dianut sangat mengutuk dan tidak membenarkan perilaku yang dilakukan.
Oleh karena itu, tentu sangat disayangkan ketika terjadi penyerangan kantor majalah Charlie Hebdo di Perancis, Januari 2015, ada yang mengaitkan dengan agama para penyerang. Yang bagus adalah seperti yang terjadi di AS pada Februari 2015, ketika tiga mahasiswa Muslim ditembak mati seseorang. Peristiwa penembakan tersebut tidak dikait-kaitkan dengan agama pelakunya.
Terorisme dapat lahir dari ketidakadilan, didesain, dan dipelihara oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingan tertentu. Terorisme juga dapat lahir karena kebodohan dalam memahami agama. Kendati demikian, terorisme tidak ada kaitannya dengan agama tertentu.
ALI MUSTAFA YAQUB
Imam Besar Masjid Istiqlal dan Advisor Darul Uloom, New York, Amerika Serikat
Kompas, Sabtu, 14 Maret 2015
No comments:
Post a Comment