Oleh: ANDREAS MARYOTO
Pekan ini, berbagai media di Tanah Air memberitakan soal beras sintetis. Beras ini telah dipastikan mengandung polivinil klorida1. Meski sudah banyak penjelasan, isu beras ini tetap membawa kita pada sejumlah pertanyaan. Apa motivasi orang menjual beras ini?
Sebelum terlalu jauh, persoalan penamaan perlu diangkat lebih dulu. Penamaan beras sintetis sebenarnya tidak tepat. Pengertian beras sintetis adalah beras yang terbuat dari bahan karbohidrat nonberas. Bentuk dan rasanya mendekati beras. Apabila ada kandungan racun, beras itu lebih tepat disebut beras palsu atau di dalam dunia perberasan dikenal fake rice.
Dalam kasus beras palsu ini kita hanya mendengar kasus ini terjadi di Bekasi, Jawa Barat. Hal ini menarik apabila dikaitkan dengan informasi kemungkinan beras paslu itu diselundupkan dari Tiongkok. Beras palsu ini memang pernah muncul di negara itu2. Akan tetapi, kalau kemudian ada orang yang berpikiran menyelundupkan beras dan menjual beras itu dengan menarget pasar Bekasi ataupun pasar Pulau Jawa, dia salah sasaran. Keuntungannya sangat minim karena berhadapan langsung dengan lumbung beras.
Luar Jawa
Pedagang pasti akan memilih pasar luar Jawa seperti Kalimantan Barat, Bangka, dan Kepulauan Riau untuk menjual beras palsu ataupun beras asli yang diselundupkan apabila ingin mendapatkan keuntungan besar. Tempat-tempat itu mendapat pasokan beras, salah satunya dari Jakarta melalui Pelabuhan Sunda Kelapa. Akan tetapi, sampai kemarin, pengiriman beras ke luar Jawa melalui pelabuhan itu masih lancar. Hal ini berarti pasar luar Jawa tidak menjadi target mereka.
Apalagi bila dikaitkan dengan ongkos, biaya pengiriman ke Jawa akan lebih besar ketimbang pengiriman beras di luar Jawa. Insentifnya sangat kecil untuk mengirim beras ke Pulau Jawa. Belum lagi dengan aparat Bea dan Cukai yang ketas mengawasi keluar-masuk barang, upaya memasukkan beras palsu itu merupakan upaya yang tidak mudah.
Keanehan lainnya, apabila memang mempunyai niat bisnis (dengan cara kotor), mengapai beras ini hanya ditemukan di Bekasi? Apabila ada margin besar, pelaku akan menjual beras palsu ini di beberapa tempat sehingga keuntungan makin banyak didapat. Sejauh ini kasus ini hanya ditemukan di Bekasi.
Penyelundupan beras beberapa tahun lalu dilakukan dalam jumlah besar dari mulai 1.000 ton hingga 5.000 ton. Apakah penyelundupan beras palsu kali ini mencapai angka itu? Apabila kali ini penyelundupan dilakukan dalam jumlah kecil, diperkirakan tidak menguntungkan.
Belum lagi, dalam hitungan yang tidak rumit, apabila beras itu memiliki kandungan polivinil klorida ataupun plastik seperti yang dihebohkan beberapa kalangan, pedagang malah merugi. Ada biaya yang tidak sedikit yang harus dikeluarkan untuk membeli senyawa itu.
Karena itu kemungkinan motivasi bisnis murni di balik penjualan beras palsu itu sangatlah kecil. Sejumlah fakta di atas sudah memperlihatkan kasus beras palsu ini mempunyai sejumlah keanehan.
Banyak analisis mengenai motif orang menjual beras palsu, dari mulai persaingan bisnis, politik, hingga kemungkinan beras itu tercampur tidak sengaja atau tidak ada motivasi tertentu. Meski demikian, pemerintah harus turun tangan karena isu beras ini telah menjadi isu liar tanpa kendali. Kasus ini memperlihatkan betapa mudahnya menggoyang kebutuhan pokok. Apabila tidak ada tindakan yang berarti, isu ini bisa menjadi bulan-bulanan dan berkepanjangan hingga mencemaskan masyarakat. Apalagi bila ditemukan tindakan kriminal, pemerintah perlu menindak secara tegas para pelakunya.
Untuk itu, kita hanya menunggu pemerintah mengumumkan hasil penyelidikan kasus ini agar semua menjadi terang. Akan tetapi, harapan itu sepertinya hanya tinggal harapan, banyak kasus serupa yang akan menghilang seiring dengan waktu yang berlalu. Semuanya tetap tidak terang.
Kompas, Sabtu, 23 Mei 2015
1) Hasil laboratorium PT Sucofindo yang dirilis pada Jumat pagi, 22 Mei 2015, menyebutkan beras itu mengandung senyawa polyvinyl chloride (PVC) yang biasa terdapat di pipa, kabel, dan lantai. Selain itu, beras tersebut juga mengandung tiga senyawa lain, yakni benzyl butyl phthalate (BPP), bis 2-ethylhexyl phthalate (DEHP), dan diisononyl phthalate (DINP). Ketiga zat ini biasa dipakai sebagai pelentur pada pipa dan kabel. (Kompas, 23 Mei 2015). Tetapi Kapolri Badrodin Haiti dalam jumpa pers Selasa, 26 Mei 2015, mengumumkan bahwa pemeriksaan sampel di laboratorium forensik Polri, BPOM, Kementrian Perdagangan, dan Kementerian Pertanian menunjukkan hasil negatif mengandung unsur plastik (BBC Indonesia, 26 Mei 2015) .
2) Pada tahun 2011, tersiar kabar mengenai beredarnya beras sintetis yang terbuat dari kentang dengan resin sintetis di wilayah Taiuyuan, Shaanxi, Tiongkok. Dalam penjelasan Badan POM mengenai beras yang diduga mengandung plastik, 29 Mei 2015, disebutkan bahwa Badan POM telah menghubungi The International Food Safety Authorities Network (INFOSAN) atau lembaga otoritas pangan di bawah WHO pada 21 Mei 2015 untuk menanyakan apakah ada kasus beras plastik yang beredar di negara lain. INFOSAN memastikan tidak ada kasus beras plastik di negara lain (Siaran Pers BPOM)