Oleh M SUBHAN SD
Dalam jiwa yang gelisah, HOS Tjokroaminoto (1876-1934) selalu bertanya kepada Agus Salim (1884-1954), "Sudah sampai di mana hijrah kita?" Sepenggal pertanyaan itu sangat dominan ketika dua pendiri bangsa tersebut menyemai benih-benih kesadaran tentang arti sebuah bangsa pada awal abad ke-20. Agus Salim yang paham kegelisahan Tjokro, sembari menyitir Nabi Muhammad SAW, menjawab, "Selalu ada kesepian dan keterpencilan dalam setiap hijrah."
Hijrah adalah pesan otentik yang terekam dalam film Guru Bangsa: HOS Tjokroaminoto (2015) karya sutradara Garin Nugroho. Saya terharu menonton film itu, tiga pekan lalu, karena membayangkan betapa generasi masa lalu, seperti Tjokroaminoto, Agus Salim, Tjipto Mangoenkoesoemo, Ki Hajar Dewantara, Tirtoadisuryo, Sutomo, H Samanhudi, Ibrahim Datuk Tan Malaka, dan Soekarno, mengabdikan hidupnya untuk membangun fondasi sebuah bangsa yang didasari suatu ikatan batin, bukan saja karena ada persamaan nasib dan sejarah, melainkan juga didasari harapan dan cita-cita bersama di masa depan, seperti dirumuskan Ernest Renan (1823-1892), sejarawan dan filsuf Perancis pada 1882.
Dan, hijrah bukan melulu sebagai teks agama. Hijrah adalah terminologi sosial, budaya, juga politik. Hijrah adalah proses meninggalkan dari kegelapan (keburukan) menuju terang benderang (kebaikan), Hijrah bukan produk sejarah masa lalu semata. Hijrah adalah spirit hidup yang tak mati digerus zaman. Maka, hijrah adalah konteks kekinian yang menjadi fondasi di masa depan. Karena hijrah adalah kesadaran pikiran, akal budi, mentalitas, jiwa yang tetap hidup. Hijrah tak berhenti pada tataran ide-ide secara dialektis, tetapi juga menjadi perilaku bertindak.
Ketika berhijrah, the founding fathers mengabdi dengan tulus, tanpa motif pamrih tertentu, walau di bawah ancaman pembuangan dari lingkungannya oleh penguasa kolonial Belanda. Dalam kondisi tertekan pun, tidak ada rasa lelah apalagi gentar, asalkan pengabdian mereka menerangi bangsa terjajah ini. Mereka adalah generasi harum yang wanginya tak pernah sirna. Mereka sangat menikmati "kesepian dan keterpencilan dalam setiap hijrah".
Sayangnya, hijrah terakhir bangsa ini pada 1998 tidak mampu mewujudkan reformasi secara tuntas. Otoritarian memang ditumbangkan, tetapi kita gagal membangun demokrasi yang substantif. Demoktrasi diagungkan bukan untuk keadaban berpolitik. Demokrasi hanya dijadikan kendaraan untuk berebut kekuasaan, bukan untuk memberdayakan dan menyejahterakan rakyat. Reformasi banyak ditumpangi dan demokrasi pun ditunggangi. Maka, tak heran, yang banyak memegang dan menikmati kekuasaan pada era Reformulasi adalah bagian dari Orde Baru di masa lalu. Ternyata, kita memang tidak benar-benar berhijrah.
Dan, partai politik tidak mampu mendidik dan mencerdaskan, bahkan anggotanya sendiri. Sangat langka menemukan elite politik di parpol yang mengedepankan keadaban berpolitik. DPR, misalnya, yang selama enam bulan selalu gaduh, kini minta kembali gedung baru. Padahal, kinerjanya saja tidak becus. Tiga tahun lalu permintaan gedung baru sudah ditolak.
Mereka tak peduli ketika rakyat tengah kesulitan saat harga-harga tinggi. Jika kinerja DPR bagus, gedung baru barangkali bukan hal yang patut diributkan. Ibarat kehidupan zaman kuno di Tiongkok, seperti digambarkan Hsu (1981), rakyat cuma punya kewajiban tanpa punya hak. Kalau para penguasa ingin membangun istana yang megah atau monumen apa pun juga, tinggal memerintahkan saja, tanpa peduli pada kehendak dan nasib rakyat. Itulah gambaran era monarki.
Dan, demokrasi kita pun layu di parpol. Politisi gemar bertengkar dan adu kuat, bukan beradu siasat dan lobi. Oligarki juga tetap hidup di parpol. Banyak pemimpin parpol adalah muka-muka lama, bahkan bisa rangkap jabatan. Tak adakah kader muda yang lebih segar? Pemimpin-pemimpin parpol yang makin tua menunjukkan politik gerontokrasi yang renta. Suksesi nyaris mandeg. Memang aneh karena kultus individu yang bertentangan dengan demokrasi justru tumbuh subur di parpol.
Lalu, penegakan hukum jauh dari rasa adil. Penegak hukum banyak mengerjakan perkara hukum dengan motif tertentu. Para hakim tidak lagi pengadil yang bisa dipercaya. Padahal, para hakim dipercaya sebagai "wakil Tuhan". Rakyat menjadi ragu mencari keadilan di pengadilan karena hukum kerap berkelindan dengan politik. Jangan harap korupsi bisa diberantas jika hukum belum benar-benar adil dan kekuasaan tidak ada keadaban.
Setelah 17 tahun reformasi dan lima presiden berkuasa (BJ Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Susilo Bambang Yudhoyono, dan Joko Widodo), masalah negeri ini tetap tak jua berubah: politik gaduh, ekonomi goyah, hukum seolah-olah adil, korupsi gagal diberantas, moralitas mengkhawatirkan, bangsa tak berkarakter, dan banyak lagi. Itulah potret generasi sekarang. Anehnya, pemimpin kini merasa telah berikhtiar dan berbuat. Mereka memang bergerak, tetapi cuma berputar-putar terjebak di labirin yang di dalam mitologi Yunani merupakan tempat mengurung Minotauros, monster manusia berkepala banteng.
Saat rakyat menolak korupsi, koruptor malah mau diberi remisi. Mereka tak peduli suara rakyat yang menolak korupsi. Ketika rakyat menderita, elite tetap dengan agenda masing-masing. Isu reshuffle pun selalu bikin heboh. "Anda tidak bisa menjadi pemimpin dan meminta orang lain untuk mengikuti Anda kecuali jika Anda tahu bagaimana mengikuti (aspirasi) mereka," ujar Sam Rayburn (1882-1961), politisi Amerika Serikat.
Generasi sekarang memang jauh sekali dibandingkan dengan generasi Tjokroaminoto yang berani berhijrah seperti Nabi. Sosiolog dan pemikir besar Ibnu Khaldun (1332-1406), dalam Muqaddimah, mengingatkan bahwa kebinasaan suatu bangsa dan kehancuran kewibawaan pemerintahan (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) karena mereka melakukan perbuatan tercela. Jadi, sekarang ini, tahun 2015, sudah sampai di mana hijrah kita? Terasa sunyi, sepi, dan terpencil...
Kompas, Sabtu, 9 Mei 2015
Gerontokrasi: pemerintah atau badan pemerintah yang dikendalikan oleh orang-orang tua
No comments:
Post a Comment