WAINGAPU, KOMPAS — Malaria masih menjadi penyakit mematikan, terutama di Sumba, Nusa Tenggara Timur, dan Papua. Di Sumba, penanganan penyakit itu lebih kompleks karena sebagian warga mengalami kelainan enzim pemicu perdarahan akibat konsumsi obat malaria primakuin.
Kumpulan ‘guntingan’ artikel koran dan tulisan pribadi mengenai keberagaman, geologi, biologi, astronomi, arkeologi, kesehatan, dan politik. PERHATIAN: Artikel dalam blog tidak bisa digunakan sebagai referensi tulisan resmi, seperti skripsi, thesis, disertasi, dan jurnal. Mohon telusuri pustaka yang digunakan.
Wednesday, 27 July 2016
Monday, 25 July 2016
Lagi-lagi Palsu
Oleh RHENALD KASALI
Heboh kasus vaksin palsu membuat saya terkenang dengan perjalanan ke New York, Amerika Serikat, beberapa tahun lalu. Kolega saya penderita asam urat. Jadi, ia harus secara reguler mengonsumsi obat.
Celakanya, sekitar 45 menit sebelum pesawat yang kami tumpangi tinggal landas dari Bandara Soekarno-Hatta di Cengkareng, ia baru sadar kalau obatnya ternyata tertinggal di rumah. Ia resah. Meski begitu, ia mengeraskan hati untuk tetap berangkat. Kerepotan pun mulai datang. Untuk mencegah serangan asam urat di pesawat, selama penerbangan ia harus minum berbotol-botol air mineral.
Akibatnya ia harus sering bolak-balik ke kamar kecil. Perjalanan panjang ke AS betul-betul membuatnya tidak nyaman. Sesampai di New York, ia langsung mencari apotek untuk membeli obat asam urat. Saya menemani. Sesampai di apotek, petugas di sana menolak menjual obat asam urat kepada kolega saya. Padahal, dia sudah menyebut mereknya dan produknya juga ada di situ.
Meski kolega saya memohon dengan sangat dan menjelaskan alasannya, sang petugas di counter tetap bersikukuh menolak. Mengapa? Sederhana saja, tak memiliki resep dokter. Padahal, sesuai aturan, obat asam urat termasuk jenis obat yang harus dibeli dengan resep dokter.
Begitulah di AS, dan banyak negara maju lainnya, peraturan dibuat untuk dipatuhi, bukan dilanggar. Akhirnya teman saya pun menyerah. Ia meninggalkan apotek dengan perasaan kecewa dan sekaligus resah, sebab kami akan berada di New York untuk sekurang-kurangnya lima hari.
Naluri primitif
Baiklah kita tinggalkan cerita tentang kolega saya tadi. Kini saya ajak Anda untuk melihat kondisi yang terjadi di negara kita—terlebih setelah meledaknya kasus vaksin palsu. Di negeri ini, bahkan untuk jenis obat yang tergolong daftar G (asal kata gevaarlijk yang artinya berbahaya) sekalipun— yang mestinya hanya bisa diperoleh dengan resep dokter—kalau Anda tahu mereknya, petugas di apotek akan dengan senang hati melayani.
Kesibukan di Pasar Pramuka Jakarta Pusat, 16/12/15. (Kompas.com/Gibran Linggau)
Bahkan jika Anda tidak tahu mereknya sekalipun, asal bisa menyebutkan perkiraan jenis obat yang dibutuhkan, sang petugas masih mau mencarikan. Hanya kalau obatnya betul- betul keras dan mempunyai efek samping yang membahayakan, baru petugas akan menanyakan resep dokter. Bagaimana kalau Anda sama sekali tidak punya resep dokter? Mudah saja, pergilah ke toko-toko obat yang banyak bertebaran di mana-mana.
Di sana sang pemilik toko akan dengan senang hati melayani, bahkan kadang dia kerap bertindak layaknya dokter. Menanyakan apa sakitnya, bagaimana gejala-gejalanya, lalu merekomendasikan jenis obatnya. Apa jadinya kalau obat yang Anda cari tidak ada di toko-toko obat di sekitar rumah Anda? Bagi warga Jakarta, masih ada pilihan lain. Pergilah ke pasar obat Pramuka atau Kramatjati, keduanya di Jakarta Timur.
Di sana banyak dijual obat-obatan yang mestinya baru bisa Anda peroleh kalau memiliki resep dokter. Risikonya sudah tentu harus Anda tanggung sendiri. Baik Pasar Pramuka maupun Kramatjati sudah lama dikenal sebagai pusat grosir untuk obat-obatan dan alat-alat kesehatan. Pasarnya pun tidak gelap-gelapan, tetapi terang-terangan.
Itu terjadi bukan hanya dua atau tiga tahun belakangan ini, tetapi sudah belasan dan bahkan puluhan tahun. Pasar Pramuka, misalnya, sudah berdiri sejak 1975. Berkembangnya pasar-pasar obat tersebut menggambarkan betapa longgarnya pengawasan dan terlalu bebasnya distribusi obat-obatan di negara kita. Maka saya tak heran kalau kasus vaksin palsu, mungkin juga kelak obat palsu, menjadi ramai belakangan ini.
Buat saya, lemahnya pengawasan dan bebasnya distribusi obat-obatan ibarat bom waktu. Persoalannya tinggal kapan meledaknya. Dan mengapa kita begitu murka dengan kasus vaksin palsu? Sebab ini melibatkan anak-anak. Anda tahu kalau sudah bicara soal anak, apalagi bayi dan balita, yang muncul adalah naluri primitif. Persis seperti harimau yang marah dan siap menyabung nyawa kalau anak-anaknya diganggu, begitu pulalah kita.
Silakan kalau Anda ingin menambahkan analisis yang lain. Misalnya mungkin sebagai bangsa, kita berpotensi gagal memetik bonus demografi pada 2020-2030, karena anak-anak yang kelak menjadi penyangga utamanya ternyata bermasalah. Kondisi kesehatannya tidak prima dan tingkat imunitasnya rendah. Itu, antara lain, akibat vaksin palsu.
Kita penciptanya
Sesungguhnya bangsa kita sudah biasa menghadapi soal yang palsu-palsu semacam ini. Kasusnya mudah ditemukan di mana-mana dan Anda pasti pernah dengar. Misalnya kasus ijazah palsu, SIM atau STNK palsu, surat nikah palsu, dan paspor palsu. Itu yang terkait dokumen negara. Masih banyak produk palsu lainnya. Misalnya dokter palsu, sarjana atau doktor palsu, polisi atau TNI palsu, dan hakim palsu.
Bahkan, vonis atau putusan pengadilan pun dipalsukan. Belum lagi laki-laki atau perempuan palsu yang baru diketahui setelah pasangan menikah. Mulai biasa kita dengar juga. Kalau bicara barang, ada sepatu bermerek yang palsu, tas palsu, fashion palsu, parfum palsu, jam tangan, ponsel, bahkan alat-alat dapur dan masih banyak lagi. Ada juga buku bajakan, CD dan DVD bajakan, software bajakan dan sebagainya. Bicara jasa, ada investasi bodong.
Kalau soal hiburan, cobalah tengok sinetron atau acara yang tayang di stasiun-stasiun TV kita. Nyaris semuanya menebar mimpi. Membuai masyarakat kita dengan kebohongan. Kita juga sering mendengar ungkapan yang menyiratkan kepalsuan. Maka muncullah ungkapan, senyum palsu, tawa palsu, seringai palsu, sampai rayuan gombal dan air mata buaya.
Di kancah politik, masyarakat kita betul-betul kenyang dibohongi. Semasa kampanye janjinya A, B, C … Z, setelah terpilih nol besar. Bahkan banyak sidang di parlemen kita yang kelihatannya saja serius, tapi isinya sebetulnya bagi-bagi proyek. Kita dibohongi oleh janji-janji palsu. Bicara barang atau jasa, sulitkah kita untuk tahu kalau itu palsu? Sama sekali tidak.
”If the price is very cheap then its almost certainly a fake.” Kalau murah, hampir pasti itu palsu, kata David Russell, musikus asal Skotlandia. Saya sengaja mengutip pernyataan David Russell, orang bule, untuk menggambarkan bahwa ini adalah fenomena yang terjadi di mana-mana di dunia. Jadi bukan khas Indonesia. Begitulah, banyak yang palsu di seputar hidup kita.
Maka tak heran kalau kita pun kerap bersikap dan berperilaku palsu. Persis kata penulis novel Dearly Devoted Dexter, Jeff Lindsay, ”Since I am not actually a real human being, my emotional responses are generally limited to what I have learned to fake.” Jadi, nikmatilah amarah orang tua pada kasus vaksin palsu ini. Tapi apakah kita sudah kapok? Rasanya kok belum. Masih banyak yang harus dibenahi.
Alih-alih menertibkan pasar obat-obatan ilegal, kita memilih berkelahi dan saling menunjuk pihak lain. Padahal momentumnya dapat saat ini. Dan—mestinya—kita mulai menaruh perhatian untuk bangun jati diri kita yang sesungguhnya dari segala kepalsuan.
Misalnya, jangan cuma mempersoalkan apakah yang kita makan itu haram atau halal, tapi persoalkan jugalah apakah uang untuk membelinya benar-benar halal? Itu tentu hanya yang punya uang yang tahu, bukan yang menjual atau yang menyaksikan. Jadi apakah kita sudah kapok?
RHENALD KASALI
Founder Rumah Perubahan
Koran Sindo, Kamis, 21 Juli 2016
Demi Demokrasi, Bukan demi Erdogan
Oleh MUSTHAFA ABD RAHMAN
Ketika beberapa saat saja gerakan kudeta militer di Turki dimulai pada Jumat (15/7) malam, jalan-jalan utama dan alun-alun di Istanbul dan Ankara serta kota-kota lain segera dipenuhi massa dari berbagai latar belakang ideologi, baik Islamis maupun sekuler, menolak upaya kudeta tersebut.
Rakyat Turki bahu-membahu ikut andil besar menggagalkan kudeta militer pada Jumat pekan lalu. Mereka turun ke jalan menghadang bala tentara pengudeta untuk membela demokrasi, bukan semata-mata membela pemerintahan Presiden Recep Tayyip Erdogan.(Reuter/Yagis Karahan)
Bahkan, banyak dari mereka tewas ketika mencoba melawan para pelaku kudeta itu di Jembatan Bosphorus dan sekitar Bandar Udara Internasional Ataturk di Istanbul serta Alun-alun Kizilay di Ankara.
Pada saat itu pula, para pemimpin oposisi yang beraliran sekuler juga segera bersuara lantang menolak upaya kudeta tersebut. Para pemimpin oposisi itu adalah Ketua Partai Rakyat Republik (CHP) yang menganut doktrin sekuler Kemalisme, Kemal Kilicdaroglu, dan Ketua Partai Gerakan Nasionalis (MHP) Devlet Bahceli.
Pemandangan para pemimpin dan rakyat Turki dari berbagai latar belakang ideologi bersatu bahu-membahu melawan upaya kudeta itu merupakan pertama kali sejak berdirinya Turki modern pada 1923.
Para analis sepakat menyebut, bersatunya para pemimpin dan rakyat Turki melawan upaya kudeta itu adalah simbol puncak kemapanan demokrasi Turki saat ini. Rakyat Turki turun ke jalan dengan rela mengorbankan jiwa raganya bukan membela Erdogan dan pemerintahannya, melainkan untuk kepentingan lebih besar, yaitu menjaga dan membela demokrasi.
Para pemimpin oposisi yang notabene adalah lawan politik Erdogan juga langsung menolak upaya kudeta itu karena mereka menyadari bahwa kudeta akan mengakhiri proses demokrasi dan menutup pintu peluang proses pergantian kekuasaan secara damai.
Analis politik Israel yang juga guru besar sejarah pada Universitas Hebrew di Jerusalem, Danny Orbach, menyebut Turki lain dulu lain sekarang.
Menjaga demokrasi
Menurut Orbach, Turki sekarang ternyata semakin menjelma sebagai negara modern dengan masyarakat sipil yang kuat serta komitmen terhadap institusi dan konstitusi yang lahir melalui proses demokrasi.
Oleh sebab itu, kata Orbach, rakyat dan pemimpin Turki bisa segera melupakan perbedaan ideologi dan politik di antara mereka ketika menghadapi ancaman bersama, yaitu ambruknya demokrasi yang melahirkan institusi dan konstitusi itu.
Hal itu, menurut dia, yang menjadi salah satu faktor utama gagalnya upaya kudeta begitu cepat di Turki pada Jumat malam pekan lalu.
Pengamat politik asal Turki, Ersat Hurmuzlu, dalam artikelnya di harian Al Hayat edisi Rabu (20/7) menyebut, rakyat Turki turun ke jalan bukan berteriak menumbangkan pemerintah Erdogan, melainkan membela pemerintah Erdogan meskipun mereka banyak berbeda pendapat dengan Erdogan karena demokrasi bagi rakyat Turki sekarang adalah pilihan di atas segala-segalanya.
Hurmuzlu menuturkan, rakyat Turki sekarang, meskipun banyak yang tidak suka Erdogan, tetap menghormati proses demokrasi dan tetap mengakui Erdogan terpilih secara demokratis.
Karena itu, lanjutnya, pemandangan rakyat Turki nekat menghadang tank-tank pelaku kudeta dengan segala risikonya menunjukkan budaya demokrasi di Turki sudah mencapai puncak kemapanan.
Presiden Recep Tayyip Erdogan (Reuters/Yagiz Karahan)
Fethullah Gulen
Pengamat politik asal Arab Saudi, Khalid Al-Dakhil, dalam artikelnya pada harian Al Hayat edisi Minggu (17/7) mengatakan, gagalnya upaya kudeta di Turki menandakan lepas landasnya Turki menuju era demokrasi yang hakiki dan posisi militer yang tunduk kepada otoritas sipil seperti di negara-negara maju yang telah sangat mapan budaya demokrasinya.
Disokong ekonomi
Salah satu faktor utama puncak kemapanan demokrasi itu bisa dicapai Turki saat ini adalah didukung oleh kemajuan ekonomi dan kesejahteraan selama satu dekade terakhir.
Pemerintah Erdogan dalam 10 tahun terakhir ini berhasil menaikkan pendapatan per kapita penduduk Turki dari hanya 3.500 dollar AS pada tahun 2001 menjadi 11.000 dollar AS pada tahun 2014.
Pada era pemerintahan Erdogan, Turki berhasil masuk anggota 20 negara dengan kekuatan ekonomi terbesar di dunia (G-20).
Pada tahun 2014, sekitar 40 juta turis asing mengunjungi Turki, khususnya kota Istanbul. Pendapatan devisa Turki dari industri wisata mencapai hampir 30 miliar dollar AS. Turki menduduki urutan keenam sebagai tujuan wisata paling populer di dunia.
Adapun Turkish Airlines dalam tiga tahun berturut-turut ini menjadi salah satu maskapai penerbangan terbaik di dunia.
Pada saat proses demokrasi di Turki mencapai puncak kemapanan itu, polarisasi masyarakat di negara itu, yang secara klasik terpilah antara Islamis dan sekularis, menjadi lebih bisa dikelola secara dewasa, modern, dan bijak. Polarisasi Islamis-sekularis saat ini tidak lagi terjebak oleh kepentingan sempit, seperti yang terjadi sejak tahun 1950-an hingga 1990-an.
Identitas negara dan rakyat Turki yang selama ini sering dilematis antara Eropa dan Asia atau antara Islamis dan sekuler menjadi cair di tengah kemapanan demokrasi itu.
Pemimpin dan rakyat Turki saat ini lebih bangga menyebut diri mereka sebagai masyarakat demokratis daripada menyebut masyarakat Islamis atau sekuler. Jargon demokrasi menjadi titik temu kaum Islamis dan sekuler di Turki terakhir ini.
Karena itu, kini menjadi sangat sempit celah, untuk tidak mengatakan tertutup, bagi gerakan melawan institusi dan konstitusi yang dilahirkan oleh proses demokrasi tersebut.
Karena itu pula, siapa pun penggerak upaya kudeta di Turki pekan lalu, baik Gulenis (jaringan ulama Fethullah Gulen) maupun sisa-sisa jaringan Ergenekon (jaringan rahasia yang terdiri dari militer, polisi, dan berbagai profesi lain yang merencanakan kudeta terhadap Erdogan pada tahun 2003 dan 2004), atau koalisi Gulenis-Ergenekon, sudah menjadi sejarah masa lalu yang tidak ada tempat lagi di hati rakyat Turki saat ini.
Itu sebabnya, upaya kudeta di Turki yang dianggap melawan institusi dan konstitusi itu cepat mendapat perlawanan rakyat dan akhirnya gagal.
Kompas, Minggu, 24 Juli 2016
Longsor dan Rapuhnya Hutan Pulau Jawa
Oleh SUHARDI SURYADI
Ketika terjadi bencana tanah longsor di Kabupaten Banjarnegara, 13 Desember 2014, dengan korban jiwa 70 orang, majalah Asian Scientist dalam edisi 29 Januari 2015 mengatakan, ”Longsor akan menjadi mimpi buruk bagi penduduk Indonesia.” Bahkan, sejumlah media internasional menyebut ”longsor adalah jalan tol menuju kematian”.
Lokasi bencana longsor yang menimpa puluhan rumah di Dusun Jemblung Desa Sampang Kecamatan Karangkobar, Sabtu (13/12/2014). (Tribun Jateng/Fajar Eko Nugroho)
Penyebutan media luar tersebut ada benarnya jika melihat peristiwa bencana longsor dalam lima tahun terakhir yang semakin meluas lokasi dan meningkat jumlah korbannya. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat bahwa dari 95 persen dari 376 kasus bencana di Indonesia bersifat hidrometeorologi dan di antaranya karena banjir dan longsor.
Faktor utama tingginya kejadian bencana dan longsor adalah deforestasi. Dalam lima dekade terakhir, kerusakan daerah aliran sungai (DAS) di Pulau Jawa semakin kritis karena vegetasinya di bawah 20 persen, jauh di bawah ketentuan yang dipersyaratkan dalam UU No 26/2009 tentang Penataan Ruang.Dari 141 DAS, ada 116 yang terkategori kritis dan 16 sangat kritis dengan luas lahan kritis mencapai 2,5 juta hektar serta 762 titik longsor (Sudharto P Hadi, Undip 2010).
Karena itu,dalam peringatan Hari Menanam Pohon di Waduk Gajah Mungkur, Wonogiri (2014), Presiden Joko Widodo meminta agar pola penanganan waduk diubah dari pengerukan sedimen menjadi penanaman pohon di wilayah DAS bagian hulu. Hal ini diharapkan sebagai solusi atas semakin meningkatnya sedimentasi di waduk-waduk dan sungai akibat dari laju deforestasi. Yang menjadi pertanyaan, apakah hal ini akan efektif menjawab kerusakan DAS yang setiap tahun membuat banjir, longsor, dan kekeringan?
Jati lapuk
Gerakan rehabilitasi lahan melalui penanaman pohon mulai dari 1 juta hingga 1 miliar dan program lain yang sejenis nyaris tidak ada cerita sukses. Ada anekdot, jika penanaman pohon yang selama ini dilakukan berhasil, tidak ada tempat lagi untuk menanam mengingat seluruh daratan dan pegunungan sudah dipenuhi dengan pohon. Faktanya justru berbeda, kerusakan DAS meningkat dari tahun ke tahun.
Kerusakan kawasan hulu, jika ditelusuri, bukan akibat ketiadaan kemauan warga menanam pohon, melainkan faktor kemiskinan masyarakat di wilayah hulu dan sengketa atas tata guna lahan. Situasi ini sudah lama ditengarai sebab terdapat jutaan penduduk miskin tinggal di sepanjang kawasan hutan dan di bawah kontrol pemerintah yang mencakup seperempat wilayah Pulau Jawa.
Penanaman pohon selalu gagal karena terdesak oleh aktivitas mata pencarian penduduk dalam pertanian dan penebangan. Diperkirakan, perbandingan antara kegiatan penanaman pohon dan pembalakan kayu mencapai 1:20.Di DAS Bengawan Solo, kegiatan pertanian masyarakat sudah mencapai 70 persen. Kontrol pemerintah yang membatasi akses dan hak warga untuk mengelola hutan bukan saja menimbulkan ketidakberdayaan penduduk secara ekonomi, melainkan juga kerusakan hutan (DAS) itu sendiri.
Sebenarnya sejak era prakolonial, kolonial, hingga era Orde Baru, hutan di Jawa didominasi oleh tanaman jati. Namun, memasuki tahun 1990, era jati sebagai tambang pendapatan Perhutani mulai menurun. Kawasan hutan Jawa yang dikuasai negara seluas 2,565 juta hektar, sebagian telah ditanami dengan pinus, mahoni, dan lain-lain. Itu berarti, kondisi hutan Jawa dapat diibaratkan sebagai jati yang lapuk, dalam arti pengelolaan hutan yang sebagian besar untuk fungsi produksi sudah tidak lagi layak ditinjau dari dua alasan.
Pertama, menimbulkan konflik sosial antara Perhutani yang berkepentingan dengan pengusahaan kayu dan penduduk yang mempertahankan aktivitas pertanian dan perkebunannya. Konflik ini meninggalkan kerusakan nilai dan cacat atas sumber daya lahan yang sangat luas dan intensif berupa penggundulan hutan, erosi, dan tanah longsor serta kekeringan.
Kedua, rendahnya sumbangan ekonomi dari fungsi hutan produksi dibandingkan dengan posisi, peran, dan tanggung jawab hutan Jawa sebagai penyedia sumber daya air bagi kegiatan pertanian dan industri, air minum penduduk ataupun pembangkit listrik.
Di sektor pertanian saja, hampir seperempat produksi padi nasional berasal dari wilayah Jawa dengan jutaan tenaga kerja yang diserap. Banjir, erosi, dan tanah longsor serta kekeringan yang berlangsung rutin tiap tahun telah merugikan kegiatan ekonomi di wilayah hilir. Termasuk dampaknya atas peningkatan jumlah penduduk miskin yang tersebar di 6.172 desa. Ini memberi indikasi bahwa sistem pengelolaan hutan yang semata berorientasi pada kayu dan motif bisnis telah gagal mencegah degradasi lahan dan pengentasan orang miskin serta menunjang pembangunan nasional.
Tim Basarnas, Banser, Relawan dan TNI saat melakukan evakuasi di lokasi bencana longsor yang menimpa puluhan rumah di Dusun Jemblung Desa Sampang Kecamatan Karangkobar, Sabtu (13/12/2014).(Tribun Jateng/Fajar Eko Nugroho)
Area konservasi
Keberadaan hutan di Pulau Jawa jelas memiliki arti yang sangat strategis bagi kelangsungan hidup penduduk dan pembangunan nasional di masa depan. Sulit dibayangkan jika kegiatan ekonomi di wilayah hilir Jawa ini akhirnya mati hanya karena kebijakan pengelolaan hutan Jawa yang salah dan membuat lebih buruk kondisinya.
Dengan demikian, solusinya bukan semata-mata seruan penanaman pohon, melainkan mengalihkan fungsi kawasan hutan produksi di Jawa dari eksploitasi kayu menjadi kawasan perlindungan, seperti taman nasional, cagar alam, dan kawasan konservasi lain.
Hutan di Pulau Jawa harus dikelola untuk kepentingan yang paling luas bagi kemakmuran banyak orang dalam jangka panjang. Bukan untuk kepentingan bisnis.
Tanpa peralihan ini dikhawatirkan bahwa hutan Jawa benar-benar menjadi mimpi buruk dan jalur cepat menuju kematian bagi kehidupan sosial-ekonomi masyarakat. Tragis sekali.
SUHARDI SURYADI
Direktur LP3ES 2005-2010
Kompas, Senin, 25 Juli 2016
Tuesday, 19 July 2016
Ancaman Bahan Berbahaya
Oleh ROY SPARRINGA
Penyalahgunaan bahan berbahaya, seperti formalin, boraks, dan pewarna tekstil, pada pangan sering kali diberitakan di media massa. Laporan rutin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) menjelang hari raya terkait peningkatan penyalahgunaan bahan berbahaya pada pangan takjil juga tampaknya menjadi berita biasa dan nyaris tak berdampak pada perubahan. Padahal, keamanan pangan merupakan hak dasar warga masyarakat yang membutuhkan perhatian lebih serius dari pemerintah (Tajuk Rencana Kompas, 2/7).
Di negara maju seperti Amerika Serikat (AS), penambahan bahan berbahaya secara sengaja dalam pangan adalah tindakan kriminal luar biasa, tak hanya mengancam kesehatan masyarakat, tetapi juga ekonomi yang masuk dalam ranah food defense. Penambahan bahan berbahaya ini tidak lain adalah tindakan pemalsuan, penipuan, pengelabuan, dan apa pun namanya adalah kejahatan luar biasa. Food defense sebenarnya berbeda dengan food safety (keamanan pangan).
Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang tidak disengaja terjadi secara alami akibat kontaminasi lingkungan atau kontaminasi silang karena ketidaktahuan, kelalaian, dan kecerobohan. Sementara food defense secara sengaja ditambahkan bahan pencemar sehingga pangan menjadi tidak aman. Food defense adalah pertahanan pangan yaitu bentuk kondisi dan upaya perlindungan pangan (food protection) dari unsur kesengajaan pencemaran pangan dengan menambahkan cemaran biologis, kimia, fisik, atau bahan lain, seperti bahan radioaktif, untuk tujuan tertentu.
Pada dasarnya ada tiga bentuk food defense berdasarkan tujuannya, yaitu penipuan untuk mendapatkan keuntungan (economically motivated adulteration), sabotase, dan terorisme. Ancaman ini nyata, misalnya kasus melamin pada pangan dan pakan, termasuk formula bayi tahun 2007-2008, adalah penipuan luar biasa untuk mendapatkan keuntungan.
Kasus ini telah membawa perubahan sistem keamanan pangan dan perkuatan lembaga BPOM di Tiongkok menjadi setingkat kementerian. Peristiwa penting lain yang pernah dilaporkan, misalnya, kasus Salmonella pada salad bars di Oregon (1978), jarum pada kukis di St Louis (1984), nikotin pada daging giling di Michigan (2003), racun tikus pada pangan di Tiongkok (2003), dan arsen pada kopi di AS (2010).
Kesengajaan penambahan ini juga ditujukan sebagai bentuk serangan terorisme, sabotase, persaingan dagang, ketidakpuasan pegawai atau mantan pegawai yang pernah bekerja di suatu perusahaan sehingga Otoritas Keamanan Nasional di AS (Homeland Security) ikut berperan menangani pertahanan pangan ini.
Pemerintah AS telah mengantisipasi dan mengatur food defense di dalam UU Pangan (Food Safety Modernization Act/ FSMA) yang resmi diberlakukan sejak 2011 dan terus memperoleh masukan dari sejumlah pihak dalam implementasinya. Dalam UU ini ditegaskan bahwa perlunya mengidentifikasi dan mengevaluasi bahan berbahaya yang mungkin secara sengaja ditambahkan dalam pangan, termasuk tindakan terorisme (FSMA Sec 103, 105, 106). Roh dari UU ini adalah pencegahan yang menjadi kewajiban sejumlah pihak, termasuk industri di luar negeri yang akan mengekspor pangan ke AS. Negara ini terus menggalang kemitraan, memperkuat inspeksi pangan impor dan menuntut kepatuhan tinggi, mengintegrasikan pengawasan, serta terus mengembangkan sejumlah aturan dan standar keamanan pangan yang berorientasi pada pencegahan.
Perhatian pemerintah
Ada tiga isu penting dalam sektor pangan, yaitu food security (ketahanan pangan), food safety (keamanan pangan), dan food defense (pertahanan pangan). Pemerintah saat ini mengutamakan program ketahanan pangan, khususnya untuk mewujudkan ketersediaan dan keterjangkauan pangan bagi masyarakat hingga tingkat individu. Sementara keamanan pangan yang sebenarnya bagian dari ketahanan pangan belum menjadi perhatian khusus. Peringkat ketahanan pangan Indonesia di tingkat global, menurut Global Food Security Index, belum menggembirakan, yaitu ke-74, sedangkan peringkat keamanan pangan lebih buruk, yaitu ke-88 dari 109 negara. Bahkan di tingkat ASEAN peringkat ke-7 dari delapan negara yang disurvei (The Economist Intelligence Unit, 2015).
Program pertahanan pangan jarang sekali dibicarakan di Indonesia. Tindakan kesengajaan penambahan bahan berbahaya pada pangan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab dianggap tindak pidana ringan tecermin dari putusan pengadilan yang tergolong ringan sehingga tidak memberikan efek jera. Padahal, menurut UU Pangan Nomor 18 Tahun 2012, tuntutan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda terbesar Rp 10 miliar.
Pangan sering dipandang sebagai komoditas ekonomi dan pemerintah berupaya memanfaatkan pangan dalam globalisasi perdagangan bebas untuk kepentingan nasional. Peningkatan kerja sama saling menguntungkan terus dijajaki melalui kerja sama internasional, khususnya bilateral, regional, dan plurilateral. Upaya pemenuhan persyaratan ekspor ke negara tujuan terus diperbaiki, misalnya terhadap produk unggulan kelautan dan perikanan Indonesia. Ironisnya pengawasan pangan segar untuk konsumsi domestik masih sangat lemah dan sering dijumpai kandungan bahan berbahaya di dalamnya.
Pangan adalah komoditas ekonomi penting bagi Indonesia karena persentase pengeluaran rata-rata masyarakat Indonesia per kapita sebulan 51 persen digunakan untuk kebutuhan pangan. Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi) melaporkan nilai penjualan produk makanan dan minuman tahun 2016 diperkirakan lebih dari Rp 1.000 triliun. Industri pangan berkontribusi terhadap 30 persen PDB sektor industri manufaktur nonmigas Indonesia.
Banyak pihak meyakini bahwa tingginya prevalensi penyakit kanker di Indonesia dipicu oleh pangan yang mengandung bahan berbahaya. Hal ini jelas membebani pengeluaran BPJS kesehatan. Paradigma kesehatan diupayakan berubah dari kuratif menjadi preventif dan promotif. Program keamanan pangan menjadi sangat strategis, tetapi anggaran BPOM sebagai lembaga pengawas keamanan pangan masih di bawah Rp 1 triliun untuk program pengawasan. Jika dikonversikan ke dalam nilai perlindungan penduduk untuk pengawasan pangan (termasuk obat), hanya sekitar Rp 3.200 atau sekitar 0,25 dollar AS/orang/tahun.
Tantangan pengawasan
BPOM sering kali melaporkan bahwa pangan yang dicurigai, seperti tahu, bakso, mi basah, produk perikanan, dan aneka jajanan, mengandung bahan berbahaya yang dijual di pasar tradisional di seluruh Indonesia, tak terkecuali di supermarket. Dari 77 pasar tradisional yang diintervensi BPOM, rata-rata penurunan pangan tak memenuhi syarat dari sekitar 16 persen sebelum diintervensi menjadi 10 persen (2014) dan 7 persen (2015).
Pangan tercemar yang didapat dari pasar sebagian besar menjadi bahan baku pangan dan produk jadinya diedarkan ke sekolah, rumah makan, pedagang keliling, termasuk pangan yang dikonsumsi di rumah tangga. Pengawasan BPOM tergolong tak efektif dan sering dipandang sebagai ”tukang sapu” dalam pengawasan pangan mengandung bahan berbahaya ini. BPOM tak punya kewenangan menindak peredaran bahan berbahaya yang sering disalahgunakan di sektor hulu, seperti importasi, produksi, distribusi, hingga tingkat pengecer.
Apakah pengadaan dan penyaluran bahan berbahaya tersebut diterima oleh mereka yang berhak? Kondisi ini terus berlangsung tak terkendali dan bocor ke rantai pasokan pangan. BPOM sering kali merekomendasikan kepada pemerintah daerah atas temuan bahan berbahaya pada pangan, termasuk masalah keamanan pangan lain, tetapi rekomendasi BPOM kurang dari 7 persen yang ditindaklanjuti dari 3.021 rekomendasi (2014) dan hanya 10,5 persen dari 4.145 rekomendasi (2015) yang ditindaklanjuti pemerintah kabupaten/kota. Rendahnya tindak lanjut pemda ini tak sepenuhnya kesalahan pemda.
Menurut analisis penulis, hal ini terjadi karena belum tersedianya regulasi di daerah, pedoman pelaksanaan, kelembagaan di daerah, ketersediaan dan kompetensi SDM, anggaran, perencanaan, prioritas program, sinergisme, serta belum tersedianya perangkat untuk evaluasi kinerja kepala daerah. Sementara pemerintah pusat di antara kementerian dan lembaga belum mengharmoniskan norma, standar, prosedur, dan kriteria sebagai pedoman bagi pemda menyelenggarakan urusan pemerintahan yang diserahkan ke daerah.
Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia dan pemenuhannya menjadi hak asasi yang harus dijamin oleh negara. Isu penipuan untuk mendapatkan keuntungan terus berlangsung. Penambahan bahan berbahaya dalam rantai pasokan pangan harus dihentikan. Kewaspadaan nasional terhadap sistem pertahanan pangan belum terbangun, padahal ancaman penipuan, sabotase, dan terorisme berdampak buruk bagi kesehatan dan ekonomi nasional dan dapat memicu kerawanan politik dan sosial. Sudah saatnya pemerintah bersama seluruh elemen bangsa memperkuat pertahanan pangan dalam rangka memperkokoh ketahanan nasional.
ROY SPARRINGA
Alumnus Lembaga Pertahanan Nasional (PPRA XLIII 2009) dan Mantan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
Kompas, Rabu, 20 Juli 2016
Monday, 18 July 2016
Membongkar Kisah Lalu Pondok Tjina
Oleh AMANDA PUTRI NUGRAHANTI
Meskipun bernama Pondok Cina, kawasan di Kecamatan Beji, Kota Depok, ini tak punya pecinan atau permukiman orang-orang keturunan Tiongkok. Namun, ada satu jejak yang menandakan bahwa memang ada orang Tiongkok yang tinggal di kawasan itu pada abad ke-17, yaitu sebuah rumah tua berarsitektur Eropa yang pernah ditinggali oleh pedagang dan kapitan Tiongkok.
Rumah tua Pondok Cina yang masih berdiri kokoh di tengah kawasan Margo City, Depok, Jawa Barat, Jumat (15/7). Rumah itu kini menjadi satu-satunya cagar budaya penanda kawasan di sekitarnya yang disebut Pondok Tjina sejak abad ke-17 yang tak bisa dilepaskan dari perkembangan Kota Depok. (Kompas/Hendra A Setyawan)
Sejarah Depok memang berkaitan erat dengan Cornelis Chastelein, seorang Belanda yang juga pegawai VOC. Dalam buku Jejak-jejak Masa Lalu Depok yang ditulis oleh Jan-Karel Kwisthout dan diterjemahkan oleh Hallie Jonathan dan Corry Longdong disebutkan, Chastelein memulai karier sebagai pemegang buku, kemudian naik menjadi saudagar besar yang bertanggung jawab dan berkuasa atas gudang besar berisi barang dagangan VOC di Batavia.
Chastelein kemudian membeli tanah di sejumlah tempat, termasuk di kawasan Weltevreden (sekitar Gambir hingga Pasar Senen) hingga di barat Tjiliwoeng yang disebut Depok, Mampang, dan Karang Anjer. Selain itu, ia juga membeli tanah di timur Tjiliwoeng dari seorang Tiongkok bernama Tio Tong Ko pada 1712 serta sepetak tanah milik seorang Bali bernama Capie Oessien di sebelahnya.
Meski bekerja di VOC, ia kerap memiliki pemikiran berbeda. Ia membuat memorandum yang berjudul "Mijne gedagten ende eensame bedenckingen overde saken van Nederlands India" (Pikiran dan Pertimbanganku tentang Hindia Belanda). Dalam memorandum yang dibuatnya, ia ingin mengatakan, permukiman yang menguntungkan orang Eropa dalam jangka pendek tidak banyak menyumbang pembangunan tanah koloni dalam jangka panjang.
Karena itu, ia menaruh perhatian besar pada pertanian. Tahun 1693 dan 1697, untuk pertama kalinya Chastelein mengirim kapal ke Bali dan mengambil budak yang kemudian dibebaskan dan diberi warisan. Budak-budak Chastelein disebutkan dalam berbagai sumber berjumlah 150 orang, termasuk dari Benggala dan Makassar, dan dilatih untuk bertani di kawasan Depok yang luasnya 1.244 hektar. Para budak ini kemudian terbagi menjadi 12 marga dan hingga kini keturunannya disebut Belanda Depok.
Di luar kawasan Depok terdapat kawasan yang disebut dengan Pondok Tjina. Letaknya sekitar 5 kilometer dari Depok (sekarang Kecamatan Pancoran Mas). Tri Wahyuning M Irsyam, pengajar Program Studi Sejarah Departemen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, mengatakan, nama Pondok Tjina sudah tercantum dalam peta abad ke-17 yang kini dapat dilihat di Perpustakaan Nasional. Di wilayah itulah para pedagang Tiongkok yang berdagang di pasar Depok mondok atau tinggal sementara.
Hal itu disebabkan adanya larangan bagi orang Tiongkok untuk bermukim di Depok. Saat itu, Chastelein mengeluarkan larangan tersebut karena orang-orang Tiongkok dianggap sumber kerusuhan akibat suka mabuk dan meminjamkan uang dengan bunga tinggi.
Karena itu, orang Tiongkok hanya diizinkan berdagang pada siang hari dan harus segera keluar dari Depok setelah matahari terbenam. Karena tidak mungkin kembali ke Glodok (tempat tinggal lama mereka) yang harus ditempuh dalam waktu delapan jam, mereka lalu tinggal di Kampung Bojong, di sekitar rumah tua Pondok Cina.
Selain berdagang, orang-orang Tiongkok ini bertani di sawah milik mereka serta bekerja di ladang kebun karet milik tuan tanah orang-orang Belanda. Tidak hanya tinggal di Pondok Cina, sebagian warga keturunan Tiongkok juga tinggal di Cisalak. Mereka menganut ajaran Khonghucu dan mayoritas berasal dari Provinsi Fu Jian, Tiongkok selatan.
Rumah tua yang menjadi penanda kawasan Pondok Cina itu kini diimpit oleh Mal Margo City dan Margo Hotel. Bangunan putih dengan empat pilar di bagian depan dan jendela-jendela raksasa di bagian samping itu tampak masih kokoh. Namun, kini bangunan itu tidak lagi difungsikan dan tidak dapat terlihat dari Jalan Margonda Raya seperti sebelumnya ataupun diakses pengunjung karena tertutup bangunan hotel.
Jika dibandingkan dengan foto yang diambil Tri pada tahun 1995, banyak bagian bangunan yang berubah, terutama bagian atap. Tahun 1995, sekalipun bergaya Eropa, atap gedung disusun dari genteng. Juga terdapat tritisan di bagian depan, khas rumah tropis. Kini, genteng dan tritisan tidak ada. Daun jendela yang terbuat dari kayu pun kini berganti kaca. Bagian depan bangunan yang sebelumnya terbuka kini ditutup oleh pintu kaca.
Rumah itu, menurut Tri yang menyusun disertasi berjudul Berkembang dalam Bayang-bayang Jakarta: Sejarah Depok 1950-1999, didirikan oleh seorang arsitek Belanda. Karena bencana alam, rumah itu rusak dan dibangun kembali dan dimiliki oleh Lauw Tek Tjiong, saudagar Tiongkok yang kemudian mewariskannya kepada anaknya, Lauw Tjeng Shiang, seorang kapitan Tiongkok.
Di sekitar rumah itulah para pedagang Tiongkok tinggal. Pada awalnya ada lima keluarga yang tinggal di sana. Tuan tanah Kampung Bojong saat itu adalah orang Tiongkok dan tidak berkeberatan didirikan pondok-pondok di sana. Komunitas orang Tiongkok ini kemudian mendirikan tempat ibadah di kawasan Srengseng (kini Lenteng Agung).
Dibatasi
Ketua Yayasan Lembaga Cornelis Chastelein Ferdy Jonathans, yang juga keturunan komunitas Belanda Depok, mengatakan, saat didatangkan ke Depok, budak-budak itu tidak mengetahui apa-apa, termasuk mereka ada di mana dan akan melakukan apa. "Setelah itu, para pendahulu kami diisolasi dari pengaruh luar. Tidak boleh bergaul dengan siapa pun di luar komunitas, termasuk orang-orang Tiongkok, karena katanya tidak baik," ungkapnya.
Salah seorang warga asli Betawi, Jaya Kasawilaga (69), mengatakan, kawasan Pondok Cina, berdasarkan penuturan secara lisan oleh ayah dan kakeknya, memang dahulu dihuni oleh para pedagang dari Tiongkok. Ia bahkan mengatakan, dahulu rumah tua itu berukuran lebih panjang ke arah belakang.
"Di sekitarnya dulu masih banyak pondok dan rumah warga asli Betawi, tetapi sekarang sudah tidak ada bekasnya sama sekali. Rumah-rumah asli Betawi sudah diganti dengan bangunan beton semua," tuturnya.
Terakhir, Januari 2016, rumah tua itu masih difungsikan sebagai kafe oleh Old House Café yang memanfaatkan suasana tempo dulu di gedung tersebut. Namun, kini gedung itu kosong. Di bagian dalam masih tersisa kursi-kursi kafe ditumpuk di satu sudut, tetapi nyaris tak ada aktivitas.
Marcomm and Event Manager Margo City Rani Fitriawati T mengemukakan, selama pembangunan hotel, aktivitas di Old House dihentikan sementara. Ia memastikan pihak manajemen tetap menjaga struktur bangunan asli. Pihak manajemen mal juga membuka kesempatan bagi warga yang ingin melihat rumah itu dengan mengajukan izin sebelumnya. Ada komunitas yang rutin mengadakan tur cagar budaya bersama wisatawan berkeliling ke cagar budaya yang ada di Kota Depok, termasuk rumah tua Pondok Cina.
"Ke depan, konsep pemanfaatan rumah tua ini masih dibicarakan. Tetapi, komitmen kami adalah tetap menjaga rumah tua sebagai cagar budaya dan salah satu ikon Depok," tuturnya.
Sebelumnya, gabungan beberapa komunitas di Kota Depok mendesak pemerintah kota itu untuk melindungi keberadaan bangunan cagar budaya di wilayahnya. Hal itu setidaknya bisa dimulai dengan menginventarisasi bangunan cagar budaya yang masih ada di Depok dan menerbitkan instrumen hukum untuk melindunginya.
Kompas, Senin, 18 Juli 2016
Subscribe to:
Posts (Atom)