Oleh IWAN SANTOSA
Berita palsu atau hoaks merebak di masyarakat Indonesia dalam setahun terakhir terutama dengan nuansa kebencian dan memanipulasi sentimen agama dan rasial. Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika, Dewan Pers, hingga para ulama pun sibuk membangun kesadaran masyarakat agar tidak termakan berita bohong yang juga bermuatan ujaran kebencian.
Warga membubuhkan cap tangan saat sosialisasi dan deklarasi Masyarakat Indonesia Anti Hoax di Jakarta, Minggu (8/1). Deklarasi yang juga dilakukan di lima kota lain di Indonesia itu bertujuan membersihkan media sosial dari berita bohong alias hoax. (Kompas/Wisnu Widiantoro)
Sepanjang sejarah Republik Indonesia, tak hanya rakyat, Presiden RI pun menjadi bulan-bulanan berbagai hoaks. Sejarawan alumnus Universitas Paramadina, Hendri F Isnaeni, dalam perbincangan awal Februari lalu, mengatakan, Presiden Soekarno, Presiden Soeharto, hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadi korban berbagai hoaks. Sementara Presiden Joko Widodo menjadi sasaran pembuatan berita hoaks dan kebencian.
“Presiden Soekarno dibohongi Ratu Markonah dan Raja Idrus yang mengaku anak raja dan ratu dari suku Anak Dalam. Mereka mengaku mau menyumbang harta benda untuk kepentingan merebut Irian Barat dari tangan Belanda. Raja Idrus dan Ratu Markonah mendapat liputan media massa besar-besaran. Mereka juga sempat diterima Presiden Soekarno di Istana. Ternyata belakangan diketahui Idrus adalah tukang becak dan Markonah adalah perempuan malam asal Tegal, Jawa Tengah,” kata Hendri.
Beberapa tahun kemudian, Kompas edisi 9 Agustus 1968 di halaman 2 memberitakan, “Raja” Idrus ditangkap warga di Kotabumi, Lampung, karena mengaku sebagai anggota Intel Kodam V Jaya dan jadi anak buah Mayor Simbolon. Dia memeras sejumlah pengusaha di Lampung sebelum akhirnya dibekuk aparat.
Beberapa hari kemudian, tepatnya 21 Agustus 1968, Kompas memberitakan, “Ratu” Markonah sedang mengalami hukuman penjara tiga bulan karena terlibat prostitusi di Kota Pekalongan, Jateng. Markonah diberitakan beroperasi di Semarang, Pekalongan, dan Tegal selepas keluar dari bui di Jakarta akibat aksi penipuan.
Janin mengaji
Di era Soeharto, terjadi dua peristiwa penipuan dan hoaks fenomenal, yakni kasis janin mengaji di dalam kandungan dan emas “Busang” di Kalimantan Timur.
Pada akhir 1970-an, Indonesia dihebohkan dengan bayi ajaib di dalam kandungan yang bisa diajak berbicara dan bahkan mengaji di perut Cut Zahara Fona (26), wanita asal Sigli, Kabupaten Pidie, Aceh. Wakil Presiden Adam Malik dan Presiden Soeharto sempat tertarik dengan fenomena itu. Bahkan, Menteri Agama saat itu juga memberikan komentar di media massa. Akhirnya, Tim Medis RSPAD, Ikatan Dokter Indonesia, Kejaksaan Agung, dan Polri turun tangan. “Presiden dan wapres juga termakan oleh hoaks bayi ajaib,” kata Hendri.
Saat hendak diperiksa Tim IDI di RSPAD Gatot Subroto tanggal 13 Oktober 1970, Cut Zahara Fona mengatakan bayinya menolak. Namun, ia diperiksa di RSPAD sepekan kemudian. Tim dokter RSCM juga memeriksa Cut Zahara dan menyatakan tak ada janin di rahim perempuan itu (Kompas, 26/10/1970). Pernyataan serupa disampaikan IDI (Kompas, 30/10/1970).
Kasus itu tak hanya diliput media dalam negeri. Media asing seperti BBC pun ramai memberitakannya. Aktivitas bayi ajaib terhenti setelah tape recorder yang dipasang di dalam pakaian Cut Zahara ditemukan polisi Komdak XIII Kalimantan Selatan yang memburunya di Kampung Gambut, 14 kilometer dari Kota Banjarmasin (Kompas, 18 November 1970). Polisi menyita tape recorder EL 3302/OOG berikut kaset rekaman suara tangisan bayi dan bacaan ayat-ayat suci Al Quran.
Penipuan dan hoaks kembali terjadi tahun 1990-an yang berimbas pada lingkaran Istana Kepresidenan. Kali ini skandal tambang emas terbesar di dunia di Busang yang konsesinya dimiliki perusahaan kecil dari Kanada, Bre X. “Bre-X, Sebungkah Emas Di Kaki Pelangi” karya Bondan Winarno mencatat skandal Busang menyeret nama-nama besar lingkaran Presiden Soeharto, seperti IB Sudjana, Kuntoro Mangunsubroto, hingga Mohammad “Bob” Hasan.
Kehebohan penemuan emas di Busang membuat harga saham Bre X di Kanada meroket dari 1,90 $ Can per lembar saham di akhir 1994 menjadi 24,8 $ Can per lembar saham pada Juli 1996. Pada Maret 1997, Michael de Guzman, eksekutif utama tambang Busang yang berasal dari Filipina, “jatuh” dari helikopter saat terbang dari Samarinda ke Busang. Ternyata pertambangan emas di Busang hanya tipu daya belaka, miliaran dollar kerugian investor pun menimpa pemodal di bursa saham Kanada dan Amerika Serikat.
Zaman reformasi
Pada era reformasi, berita bohong dan tipu-tipu kembali mengemuka. Pada zaman Presiden KH Abdurrahman Wahid, ada Soewondo yang berhasil membobol uang Yayasan Dana Kesejahteraan Karyawan (Yanatera) Badan Urusan Logistik (Bulog) senilai Rp 35 miliar. Soewondo leluasa beraksi karena sebagai tukang urut (terapis) Presiden, ia memiliki akses dan kekuasaan, serta menjual-jual nama para petinggi negara.
Selanjutnya, di era Presiden Megawati Soekarnoputri terjadi penggalian “Harta Karun” Batutulis oleh Menteri Agama Said Agil Al-Munawar yang mendapat informasi soal harta karun Batutulis. Harta itu diyakini bisa digunakan membayar utang negara. Kompas edisi 19 Agustus 2002 memberitakan, Menteri Agama bersikeras melanjutkan penggalian situs Batutulis meski mendapat tentangan dari aktivis budaya dan kalangan arkeolog. Hingga kini, harta karun Batutulis tak terbukti kebenarannya.
Pada zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono terdapat skandal banyu geni atau penggunaan air sebagai bahan bakar. Lagi-lagi isu menghebohkan itu tidak terbukti. Bahkan, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta memperkarakan Joko Suprapto yang mengajak riset banyu geni atau “Blue Energy”.
Semasa pemilihan presiden 2014, ada fenomena menarik. Salah satu calon presiden Joko Widodo menjadi korban hoaks yang menyebut Jokowi berayahkan Tionghoa Singapura, terkait PKI, dan lain-lain. Rangkaian hoaks itu berlanjut hingga kini.
Sejarawan Didi Kwartanada mengatakan, serangkaian hoaks di Indonesia hendaknya menjadi pelajaran agar tidak mudah percaya pada desas-desus. Khusus rangkaian hoaks bernuansa SARA, diyakini terkait sejumlah dinamika politik yang berkembang belakangan ini.
Kompas, Minggu, 26 Februari 2017