Oleh IWAN SANTOSA
Republik Indonesia yang baru berdiri tanggal 17 Agustus 1945 berusaha membangun kemandirian di semua lini, termasuk bidang dirgantara. Para pemuda pejuang di Yogyakarta pada Oktober 1945 menguasai Pangkalan Udara Maguwo (kini Lanud Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara Adisutjipto) dan berhasil menguasai 50 pesawat latih lanjut Chukan Renssuki atau Churen yang dalam pelafalan Indonesia disebut Cureng. Orang Jepang menjulukinya Aka Tombo atau Capung Merah karena warna oranye yang khas dimiliki Churen.
(Dispen AU/Arsip Dispen AU)
Alex Sidharta, seorang pegiat sejarah yang terlibat dalam konservasi pesawat Cureng TNI AU di Yogyakarta, saat ditemui di Lanud Adisutjipto, Sabtu (29/7), mengatakan, pesawat Cureng yang aslinya dikenal sebagai pesawat Yokosuka K5Y1 adalah pesawat latih Angkatan Laut Jepang (Kaigun). Sebutan Yokosuka, yang dekat Tokyo, memang khas karena nama tersebut adalah Pangkalan Utama Angkatan Laut Jepang yang kini menjadi pangkalan bagi sebagian kekuatan AL Amerika Serikat di Jepang. Pada 1930-an dan Perang Dunia II terdapat industri pesawat terbang Kaigun di Yokosuka Dai Ichi Kaigun Koku Gijitsusho.
Alex Sidharta menambahkan, berdasarkan riset penulis Jacob Terlouw disebutkan, Cureng yang oleh pihak sekutu diberi nama sandi ”Willow” ditemukan ada 70 unit di Indonesia. Setelah menjalani perbaikan, total ada 20 unit yang dianggap laik terbang.
Pesawat latih Kaigun, menurut penulis Eduardo Cea dalam buku Japanese Military Aircraft The Air Force of the Japanese Imperial Navy Carrier Based Aircraft 1922-1945, mengambil model pesawat sayap ganda kenamaan Inggris era Perang Dunia I, yakni Camel Sopwith. Penamaan pesawat latih di Kaigun mengacu pada nama pepohonan, bunga, dan tanaman.
Guru Besar Kajian Sosial Universitas Kyushu, Fukuoka, Jepang, Aishawa Nobuhiru mengatakan, modernisasi AL Jepang memang mengacu pada AL Inggris. Hal itu berpengaruh termasuk dalam pengembangan Korps Udara hingga tradisi kuliner di Kaigun yang mengadopsi menu kari dalam makanan di kapal yang diambil dari tradisi AL Inggris yang memiliki koki-koki dari India.
Dalam buku panduan peringatan Hari Bakti Ke-70 TNI AU tahun 2017 disebutkan, para perintis Angkatan Udara Republik Indonesia (AURI) mendatangkan dua teknisi, Basir Surya dan Tjarmadi, dari Lanud Andir, kini Lanud TNI AU Husein Sastranegara, Bandung, ke Yogyakarta pada 25 Oktober 1945. Setelah seharian memperbaiki, mereka menyatakan satu pesawat Cureng siap diterbangkan pada 26 Oktober 1945.
Diuji terbang
Pesawat itu diuji terbang tanggal 27 Oktober 1945 pukul 10.00 oleh Agustinus Adisutjipto didampingi Rudjito. Itulah penerbangan militer pertama Republik Indonesia!
Pesawat Cureng ini diterbangkan pertama kali di Indonesia oleh Agustinus Adisutjipto pada 27 Oktober 1945
Adisutjipto dipilih untuk menerbangkan perdana pesawat militer pertama Indonesia karena dia memiliki wing penerbang, yakni Groot Militaire Brevet. Pesawat Cureng milik Indonesia tersebut dicat Merah Putih menutup warna bulatan Merah (Hinomaru) lambang pesawat militer Jepang. Sementara pimpinan AURI ketika itu, Komodor Suryadarma, juga memiliki kemampuan terbang dan pernah menjadi navigator di pesawat pengebom B-10 Glen Martin AU Hindia Belanda semasa Perang Dunia II. Setelah Indonesia merdeka, Suryadarma diminta Presiden Soekarno membentuk dan memimpin AURI sejak September 1945.
Menangani Cureng bagi awak AURI yang baru seumur jagung tidaklah mudah. Jacob Terlouw mencatat, tidak ada buku manual terbang yang menjadi panduan bagi para penerbang AURI mengoperasikan Cureng. Terlouw menyebut, para mantan penerbang dan teknisi Angkatan Darat Jepang (Rikugun) membantu memberikan panduan bagi para penerbang dan teknisi AURI.
Dengan tekun dan susah payah, prajurit TNI AU berhasil memperbaiki 25 pesawat Cureng sehingga laik terbang di Lanud Maguwo.
Pesawat Cureng tersebut kemudian menjalankan berbagai misi, seperti pengintaian di kawasan Laut Selatan, latihan terjun payung, penyebaran pamflet, serta pengiriman obat-obatan dan logistik ke daerah-daerah. Pesawat Cureng yang memiliki kecepatan maksimum 212 kilometer per jam itu dilengkapi sepucuk senapan mesin dan mampu mengangkut bom 100 kilogram.
Aksi pembalasan
Ketika Belanda mengingkari Perjanjian Linggarjati dengan melancarkan Agresi Militer I, 21 Juli 1947, pangkalan-pangkalan udara milik Indonesia di Pulau Jawa dan Sumatera juga menjadi sasaran. Serangan udara Belanda bersandi Operatie Pelikaan pada 21 Juli hingga 25 Juli 1947 telah menghancurkan puluhan pesawat AURI di sejumlah lanud. Lanud Bugis di Malang, Jawa Timur, dan Lanud Kalijati di Subang, Jawa Barat, diduduki Belanda. Posisi Indonesia tersudut di Jawa dan Sumatera.
Dalam segala keterbatasan, pada 29 Juli 1947 dilancarkan serangan balasan dengan menggunakan sepasang Cureng dan Guntei yang diawaki Sutardjo Sigit dan Suharnoko Harbani.
Misi pada pukul 05.00 itu mengincar sasaran markas militer Belanda di Salatiga, Ambarawa, dan Semarang (Jawa Tengah). Serangan kejutan itu ini diterbangkan pertama kali di Indonesia oleh Agustinus Adisutjipto pada 27 Oktober 1945. membuat Belanda murka dan menembak jatuh pesawat Dakota VT-CLA yang tengah menjalankan misi kemanusiaan membawa bantuan medis dari Palang Merah Malaya.
Demi memperingati cikal bakal pesawat tempur pertama Indonesia, pesawat Cureng dibawa dari Museum Satria Mandala pada 13 Juli 2017 untuk diperbaiki dan dipamerkan di pangkalan asalnya Maguwo (Lanud TNI AU Adisutjipto. Upaya ini dalam rangka melestarikan sejarah dirgantara Indonesia.
Kompas, Minggu, 27 Agustus 2017
No comments:
Post a Comment