Oleh AHMAD ARIF
Berada di zona tropis yang dilimpahi kekayaan alam, Nusantara telah menarik manusia sejak zaman purba. Ahli genetik Inggris, Stephen Oppenheimer (1998), menyebutnya sebagai surga di timur yang telah dihuni manusia modern (”Homo sapiens”) jauh sebelum penghunian Eropa, apalagi Amerika. Namun, Nusantara juga menyimpan bencana alam katastropik yang mengubur jejak kehidupan.
Penelitian genetika semakin menguatkan teori bahwa seluruh manusia modern (Homo sapiens) di muka bumi ini berasal dari sekelompok kecil populasi di Afrika. Homo sapiens ini berbeda dengan manusia arkaik yang telah punah, seperti Homo erectus yang menghuni Nusantara sekitar 1 juta tahun lalu.
Riset David Lambert, ahli evolusi dan genetika dari Australian Research Centre for Human Evolution Griffith University, Australia, di jurnal PNAS tahun 2016 telah mematahkan teori multiregional yang beranggapan bahwa manusia modern saat ini memiliki asal yang berbeda-beda. Penganut teori multiregional ini di antaranya Alan Thorne dan koleganya dari Australian National University.
Thorne membangun teorinya setelah melakukan pengurutan DNA purba dari beberapa individu Aborigin Australia, termasuk Mungo Man yang dikenal sebagai Aborigin paling tua. Hasilnya dipublikasikan pada 2001 bahwa Mungo Man berbeda dengan Aborigin saat ini, tetapi adalah keturunan dari manusia purba sejenis Homo erectus dari Indonesia yang telah punah.
Lambert melakukan pengurutan ulang terhadap DNA manusia yang dikuburkan di sekitar Mungo Man dan menemukan indikasi bahwa hasil penelitian sebelumnya telah terkontaminasi. ”Penelitian saya menunjukkan bahwa Aborigin Australia tidak diragukan sebagai manusia pertama Australia,” kata Lambert, dalam diskusi di Lembaga Eijkman, Jakarta, Maret lalu.
Dengan melakukan pengurutan DNA, Lambert pun memastikan genetik orang Aborigin punya akar di Afrika, yang menguatkan teori Out of Africa. Teori ini yakin Homo sapiens muncul di Afrika 150.000-200.000 tahun lalu, kemudian keluar dari benua ini sekitar 120.000 tahun lalu. ”Bisa disimpulkan, orang Aborigin dan Papua punya kedekatan. Berasal dari satu gelombang migrasi yang sama dari Afrika,” kata dia.
Menurut Lambert, nenek moyang Papua dan Aborigin telah tiba di Paparan Sahul setidaknya sejak sekitar 58.000 lalu. Paparan Sahul merupakan daratan besar yang sekarang terpecah menjadi Papua dan Australia setelah es mencair sekitar 10.000 tahun lalu.
Dengan data ini, penghunian manusia di Paparan Sunda oleh migran Afrika ini mestinya jauh lebih awal. Meski demikian, bukti-bukti arkeologis tertua tentang penghunian manusia modern di Asia Tenggara sejauh ini memiliki umur kurang dari 50.000 tahun lalu, misalnya temuan fosil tertua manusia modern ditemukan di Gua Niah, Serawak, Malaysia, dengan umur sekitar 45.000 tahun lalu.
Adapun di Indonesia, bukti-bukti keberadaan migrasi awal manusia modern ini bisa ditemui di Jawa Timur (Song Terus, Braholo, dan Song Kepek), Sulawesi Selatan (Leang Burung dan Leang Sekpao), serta di sejumlah wilayah lain Nusantara. Belakangan, lukisan tangan di Leang Timpuseng, Maros, diketahui telah berusia 45.000 tahun.
Tak hanya di Asia Tenggara, jejak penghunian manusia modern yang lebih tua dari 70.000 tahun lalu di luar Afrika sejauh ini juga sulit ditemukan. Seolah ada periode perjalanan manusia yang hilang antara 120.000 hingga 70.000 tahun lalu, hingga kemudian muncul ”tiba-tiba” di Paparan Sahul (Papua-Australia) sekitar 50.000 tahun lalu.
”Tak ada situs (Homo sapiens) yang ditemukan pada periode 70.000-50.000 tahun di Indonesia, setidaknya belum ada,” kata Harry Truman Simanjuntak, arkeolog senior (Kompas, 15 Oktober 2011).
Kekosongan jejak manusia modern di Nusantara sebenarnya juga terekam pada situs Goa Song Terus di Pacitan. Situs ini merekam jejak kehidupan dalam rentang panjang, mulai dari 300.000 tahun lalu sampai dengan 4.000 tahun lalu. Tapi, ada selang waktu yang kosong, yaitu pada periode 70.000 tahun lalu hingga 45.000 tahun lalu hanya ditemukan pasir.
Periode yang hilang
Para geolog meyakini, sulitnya menemukan jejak manusia modern di kurun itu berkaitan dengan letusan gunung api raksasa Toba di Sumatera, sekitar 74.000-72.000 tahun lalu. Stephen Oppenheimer (2012) meyakini letusan Toba memunahkan migrasi pertama manusia Homo sapiens ke luar Afrika yang terjadi sekitar 120.000 tahun lalu. Menurut dia, manusia di dunia saat ini memiliki leluhur dari gelombang migrasi kedua dari Afrika, sekitar 71.000 tahun lalu atau sekitar 3.000 tahun setelah letusan Toba.
Teori Oppenheimer ini mendapat tantangan dengan temuan terbaru dari Goa Lida Ajer di Payakumbuh, Sumatera Barat. Temuan ini dipublikasikan di jurnal internasional Nature edisi 9 Agustus 2017, dengan penulis pertama KE Westaway dari Departemen Ilmu Lingkungan Universitas Macquarie, Australia. Anggota tim berasal dari sejumlah universitas dan lembaga penelitian di luar negeri. Dari Indonesia, berasal dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional dan Teknik Geologi ITB.
Wahyu Saptomo, arkeolog prasejarah dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslit Arkenas), yang turut dalam publikasi ini mengaku belum puas dengan kajian ini. ”Idealnya dilakukan penggalian lagi hingga ketemu fosil manusianya. Yang diteliti ini fosil lama yang diduga gigi manusia,” kata dia.
Namun, Wahyu menganggap temuan ini sangat penting karena membuka lembaran baru diskusi periode waktu kedatangan manusia modern di Indonesia, yang ternyata jauh lebih awal dari perhitungan sebelumnya. Geolog dari Museum Geologi, Indyo Pratomo, mengatakan, temuan ini sangat penting karena berimpitan dengan peristiwa letusan supervolcano Toba. Dengan melihat kemungkinan pergeseran penanggalan, kalaupun ada manusia pada periode itu, kemungkinan sebelum letusan Gunung Toba. Setelah letusan itu, bisa jadi Sumatera kosong dari kehidupan hingga ribuan tahun.
Sekalipun menyisakan kontroversi, temuan ini sekali lagi menunjukkan posisi penting alam Indonesia untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan dasar bagi ilmu pengetahuan.
Apakah kita hanya menonton para peneliti asing merekonstruksi kehidupan manusia di Nusantara ini, atau terlibat aktif? Jangan sampai, seperti disindir Andrew Goss, dalam The Floracrats (2011), Indonesia hanya menjadi laboratorium bagi ilmuwan dunia, tetapi tidak menghasilkan ilmuwan besar sendiri.
No comments:
Post a Comment