Oleh HERRY TJAHJONO
Sejak ungkapan Amin Rais akan jalan kaki Yogyakarta-Jakarta jika ada yang bisa membuktikan pernyataannya tentang Prabowo harus dimahmilkan, yang akhirnya bisa dibuktikan, tetapi janji jalan kaki itu sendiri tak pernah dibuktikan-bermunculanlah nazar-nazar politik sejenis yang juga mengalami nasib serupa.
Ada yang mau gantung diri di Monas, potong salah satu organ tubuh, terjun dari Monas, dan seterusnya sampai mau potong kuping. Semua dengan bunyi nazarnya masing-masing. Namun, tak satu pun yang dipenuhi. Belum lagi penggunaan berbagai macam cara, termasuk yang memalukan sekalipun, hanya untuk mengalahkan lawan politik. Tanpa perlu merinci lagi, semua fenomena itu bermuara pada yang namanya "patologi (kepemimpinan) politik".
Patologi kepemimpinan politik itu bersinggungan langsung dengan kemiskinan martabat pada para pelakunya, yang saat ini jadi fenomena politik di Indonesia. Saya ingin mengutip tulisan F Budi Hardiman ("Politik yang Bermartabat") berikut: Izinkanlah saya mengutip nasihat seseorang dari lima abad silam yang paling banyak dihujat sekaligus diikuti dalam politik, Niccolo Machiavelli. "Membunuh sesama warga, mengkhianati kawan, curang, keji, tak peduli agama," tulisnya, "tidak dapat disebut kegagahan. Cara-cara macam ini dapat memenangkan kekuasaan, tetapi bukan kemuliaan."
Miskin integritas
Gloria, itulah martabat dalam politik. Politik yang bermartabat tak digerakkan semata-mata oleh nafsu pencarian kekuasaan. Martabat memancar dari tindakan otentik yang penuh kedaulatan dari pemimpin berkarakter. Itulah kemuliaan yang membuat dirinya dihormati rakyatnya. Sisi gagasan tentang martabat ini jarang dicermati para pembaca yang telanjur menilai Machiavelli sebagai guru kelicikan politis.
Patut disesalkan, dalam masyarakat kita tersedia banyak contoh hilangnya martabat politik di berbagai lini, entah itu di pemerintahan, DPR, atau peradilan. Dari politik uang para kandidat selama pemilu dan pilkada sampai praktik jual-beli keputusan pemimpin, seperti dalam jaringan para calo anggaran, menunjukkan kenyataan vulgar bahwa politik itu sendiri tak lagi tindakan otentik yang berdaulat, tetapi merosot menjadi barang dagang dalam pasar kuasa.
Begitulah, dunia (kepemimpinan) politik kita kehilangan martabatnya. Secara psikologi kepemimpinan, martabat kepemimpinan (politik) itu disebabkan tidak ada atau tak berfungsinya nilai integritas dalam diri seorang pemimpin. Integritas adalah landasan dari martabat.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), integritas diartikan sebagai "mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan; kejujuran". Ada banyak definisi lain, tetapi yang jelas ada tiga elemen utama integritas, yaitu: pikiran; perasaan; serta tindakan yang utuh dan selaras, bahkan pada titik ekstrem-sempurna. Sering dikatakan hidup yang berintegritas adalah hidup yang tanpa cacat atau cela. Tak ada kompromi dalam integritas. Dan, dari sana, martabat seorang manusia terbentuk.
Spencer Johnson mengartikan integritas dalam kaitannya dengan kebenaran.Integrity is telling myself the truth. And honesty in telling the truth to other people. Sementara menurut Stephen Covey, integritas diartikan sebagai melakukan sesuatu karena benar atau kebenaran, bukan karena tuntutan lingkungan atau karena kebiasaan. Dan, sesuai pengertian integritas dalam KBBI serta kontekstualitas kondisi patologi kepemimpinan politik Tanah Air, integritas memang berhubungan erat dengan kebenaran, yang bukan hanya berlaku bagi diri sendiri, tetapi juga orang lain.
Jadi, dalam integritas terkandung juga kejujuran. Adapun keselarasan muncul pada satunya kata dan perbuatan. Sekarang menjadi jelas kenapa sebagian besar para pemimpin politik (termasuk calon) kita miskin martabat, yang ternyata disebabkan miskinnya nilai integritas dalam dirinya. Kebenaran-bagi mereka-bukanlah sesuatu yang penting atau utama, baik bagi diri sendiri maupun orang lain. Pagi bilang "tempe", sore bilang "tahu", juga bukan masalah bagi mereka. Tanpa kepemimpinan bermartabat, jangan harapkan organisasi menjadi bermartabat.
Semua ikhtiar kepemimpinan Presiden Joko Widodo-termasuk konsep revolusi mentalnya, secara implisit maupun eksplisit-sesungguhnya mengarah kepada pengembalian dan pembangunan martabat bangsa, baik ke dalam maupun ke luar. Salah satu isyarat adalah ungkapannya dalam sebuah kesempatan: "Bangsa Indonesia tidak ingin menjadi macan, melainkan menaklukkan macan. Karena bangsa Indonesia tidak ingin ditakuti melainkan disegani." Ungkapan itu bicara tentang martabat bangsa, yang tentu harus dimulai dari martabat para pemimpinnya di semua lini dan dimensi.
Kendalanya, sekali lagi, masih dominannya para pemimpin tanpa martabat yang disebabkan miskinnya integritas kepemimpinan mereka. Karena itu, upaya Jokowi akan menjadi sangat berat, sebab kepemimpinan miskin integritas itu bukan hanya dalam jajaran kabinet dan aparatusnya, tetapi juga bertebaran di berbagai dimensi lain, baik legislatif maupun yudikatif. Tanpa pemimpin bermartabat, mustahil organisasi (Indonesia) bisa bermartabat. Dan, tidak mungkin gerbong besar organisasi menuju bangsa bermartabat itu hanya ditarik oleh presiden seorang diri.
Bermartabat adalah pilihan
Maka, seleksi dan rekrutmen kepemimpinan menjadi hal paling krusial saat ini, mulai dari anggota kabinet (termasuk reshuffle), pemilu, dan pilkada. Syarat integritas kepemimpinan menjadi utama dan wajib. Kalau perlu berbagai mekanisme asesmen kepribadian pemimpin sampai sistem pelaksanaan seleksi kepemimpinan berbagai level dan dimensi ditata ulang agar faktor integritas bisa dideteksi secara dini.
Ungkapan Dwight Eisenhower berikut kiranya bisa menegaskan kebutuhan itu: "Untuk menjadi pemimpin, seseorang harus memiliki pengikut. Dan, untuk memiliki pengikut, seseorang harus memiliki rasa percaya. Namun, syarat terutama bagi seorang pemimpin adalah integritas."
Bagi para pemimpin, baik yang sedang berkuasa, calon pemimpin maupun yang mantan, perlu disadari: buah dari kepemimpinan Anda bukan hanya diukur dari output kepemimpinan selama Anda berkuasa, melainkan juga ketika Anda sudah lengser. Pada saat itu, ukuran satu-satunya adalah apakah Anda dikenang dan diingat sebagai pemimpin bermartabat atau sebaliknya.
Sebagai ilustrasi, seandainya ditanya mana yang lebih bermartabat antara Bung Karno, Bung Hatta, Gus Dur , atau bapak-bapak bangsa lainnya dengan para pemimpin masa sekarang yang mengingkari nazar politik-atau mereka yang menggunakan berbagai cara memalukan demi kekuasaan, seperti diuraikan pada awal tulisan ini- masyarakat akan dengan mudah menjawabnya.
Sebagai rakyat saya mau sampaikan, ketika Anda menjadi pemimpin perlu dipahami: "berkuasa itu pasti, bermartabat itu pilihan."
HERRY TJAHJONO
Terapis Budaya Perusahaan
Kompas, Selasa, 26 April 2016
No comments:
Post a Comment