Tuesday, 26 April 2016

Rokok dan Nawacita

Oleh HASBULLAH THABRANY
Kementerian Perindustrian mengganjal Nawacita. Semua orang tahu rokok membahayakan kesehatan serta membunuh diri sendiri dan orang lain secara perlahan. Fakta bahaya rokok di dunia sudah tak terbilang. Oleh karena itu, Mufti Mesir telah mengharamkan konsumsi, produksi, dan berjualan rokok sejak lebih 30 tahun lalu. Selain itu, merokok adalah konsumsi mubazir.
Seberapa mubazir bangsa ini? Jumlah cukai rokok yang diterima pemerintah tahun 2015 Rp 139 triliun. Itu adalah denda perokok, bukan kontribusi industri rokok. Rata-rata porsi cukai rokok 42 persen harga jual. Karena itu, dapat ditaksir bahwa jumlah uang yang dibakar mencapai Rp 331 triliun.
Jika uang sebanyak itu digunakan untuk menyekolahkan putra bangsa, uang itu cukup untuk mengirim 250.000 orang kuliah di Eropa. Jika digunakan untuk menghajikan Muslim, uang sebanyak itu cukup untuk membayari 200.000 orang pergi haji selama 50 tahun. Laporan Organisasi Kesehatan Dunia tahun 2015 menunjukkan, prevalensi perokok Indonesia (64 persen pria dewasa) adalah yang tertinggi di dunia.
Politik tembakau
Rakyat jadi begitu boros dan makin keracunan asap rokok karena percaturan politik tembakau. Politik tidak bisa lepas dari uang. Uang dari rokok sangat besar dan dikuasai beberapa perusahaan saja.
Simak penjualan bersih PT HM Sampoerna, hingga September 2015 mencapai Rp 65,5 triliun, naik dibandingkan periode yang sama 2014 sebesar Rp 59,6 triliun. Penjualan domestik Gudang Garam naik dari Rp 33,7 triliun pada 2005 menjadi 62,3 triliun di 2014.
Penjualan Sampoerna dan Gudang Garam-masing-masing- jauh melebihi anggaran Kementerian Kesehatan yang hanya Rp 47,4 triliun pada 2015. Bisa dipahami jika ada pihak-pihak yang mempertahankan dan menginginkan industri rokok terus berkembang, meskipun rokok telah memakan nyawa lebih dari 200.000 rakyat setahun.
Upaya mengendalikan konsumsi rokok, yang paling efektif dengan harga mahal, belum pernah berhasil. Fakta di dunia menunjukkan, harga rokok yang mahal menahan laju konsumsi. Untuk membuat rokok mahal itulah dipungut cukai rokok. Cukai rokok bukan kontribusi industri rokok. Pemerintah negara- negara berbudaya menetapkan harga dan cukai rokok tinggi untuk mengendalikan konsumsi.
Di Indonesia, penerapan cukai rokok yang dipatok maksimum 57 persen dari harga rokok belum pernah tercapai. Konsumsi rokok terus naik. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, porsi belanja rumah tangga untuk rokok pada 1999 sebesar 5,33 persen dari total belanja rumah tangga. Pada 2014 porsi itu naik menjadi 6,33 persen. Jumlah rokok yang diisap rakyat naik dari 204 miliar batang (2004) menjadi 344 miliar batang (2015). Cukai rokok belum mencapai tujuannya: mengendalikan konsumsi rokok.
Angin segar diembuskan ketika Presiden Joko Widodo dalam kampanyenya menjanjikan program Nawacita. Dalam Nawacita 5, Jokowi berjanji akan meningkatkan kualitas hidup bangsa ini, antara lain, melalui pendidikan (target 1) dan kesehatan (target 2). Dalam target 2 nomor 20 dari Nawacita 5, ia menjanjikan 100 persen area publik bebas asap rokok di 100 persen kabupaten/ kota pada 2019. Dalam target nomor 21, ia berjanji meningkatkan cukai rokok 200 persen dari nilai pada 2013, mulai 2015.  
Janji Presiden memang merupakan amanat UUD 1945 tentang hak lingkungan hidup bersih dan sehat. Sejatinya, para pembantu Presiden, yaitu para menteri dan pejabat tinggi negara beserta jajarannya harus memastikan bahwa janji-janji Presiden tersebut dilaksanakan.
Namun, pelaksanaan Nawacita terkait kualitas hidup bangsa dapat terganjal kepentingan dagang yang merusak kualitas hidup bangsa. Sampai awal 2016, belum tampak upaya sungguh-sungguh untuk mewujudkan target tersebut. Sebaliknya, di akhir 2015 terjadi kebijakan yang berlawanan dengan Nawacita melalui pemberian izin perusahaan rokok asing menambah investasi sampai Rp 25 triliun.
Mungkin, kehausan akan dana investasi menyebabkan pemerintah lupa pada janjinya. Jika tambahan produksi rokok dari investasi baru itu ditujukan untuk ekspor, dampak negatif rokok tak menggerogoti dividen demografis. Pertanyaannya, ke negara mana rokok tersebut akan diekspor? Pemimpin negara-negara maju dan negara besar secara konsisten terus melindungi rakyatnya dari racun asap rokok dengan cukai yang sangat tinggi.
Sebelumnya, seorang petinggi tentara pernah mengeluarkan pernyataan salah bahwa kendali konsumsi rokok adalah ulah industri farmasi yang akan menjual obat anti tembakau. Salah besar! Seorang menteri yang belum lama dilantik sudah sesumbar menyatakan Indonesia tidak akan menandatangani FCTC (Framework Convention on Tobacco Control). Prejudice mewarnai pemikiran sebagian pejabat. Esensi janji Presiden dalam pengendalian konsumsi rokok melalui kawasan tanpa rokok dan kenaikan cukai bertabrakan dengan kepentingan sebagian penggede.
Musuh dalam selimut
Yang paling menonjol benturan kepentingan Nawacita 5 (20-21) terjadi dengan keluarnya Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 63 Tahun 2015 tentang Peta Jalan Produksi Rokok.  Di sana disebutkan, target produksi rokok ditingkatkan jadi 524 miliar batang pada 2020. Dengan target tersebut, di setiap mulut rakyat Indonesia akan dijejalkan 2.000 batang rokok. Akankah kebijakan ini sesuai moto "kerja, kerja, kerja"? Sebaliknya: "rokok, rokok, dan rokok". Inilah "musuh dalam selimut" Nawacita. Kita tahu, seorang pegawai perokok akan keluar dari ruang kerjanya paling tidak 10 menit untuk tiap batang rokok. Berapa miliar jam kerja akan hilang untuk mendukung peta jalan tersebut.
Lebih menyakitkan wong cilik adalah bahwa peta jalan tersebut menurunkan peran industri kecil, pembuat sigaret kretek tangan yang diturunkan dari 19 persen pada 2015 menjadi 15 persen pada 2020. Sementara porsi sigaret kretek mesin mild akan digenjot naik 111 persen dari 161 miliar batang menjadi 306 miliar batang. Jadi, tahan penderitaanmu, wong cilik!
HASBULLAH THABRANY
Guru Besar UI

Kompas, Rabu, 27 April 2016

No comments:

Post a Comment