Oleh I WAYAN TEGUH WIBAWAN
Avian influenza yang lebih populer dikenal dengan flu burung adalah penyakit viral yang menyerang unggas dan telah bersifat endemik di Indonesia. Penyakit ini memiliki potensi zoonosis karena mampu menyerang manusia dan menyebabkan kematian.
Virus avian influenza (AI) dikenal sebagai virus yang secara alamiah mudah bermutasi dan berubah anti genisitasnya. Perubahan ini merupakan cara virus AI untuk mengecoh sistem kebal sehingga anti bodi yang timbul baik akibat vaksinasi maupun infeksi alam tidak mampu mengenal virus AI yang telah bermutasi tersebut. Kondisi AI yang endemik menyebabkan semua individu yang potensi rentan dapat mempunyai antibodi AI sebagai akibat adanya paparan virus lapang dalam jumlah di bawah dosis infeksi.
Hal ini bisa menyebabkan individu-individu tersebut lebih tahan terhadap infeksi virus AI dan menyebabkan variasi gejala klinis pada individu yang diserangnya, bahkan dapat menimbulkan manifestasi subklinis AI. Ini artinya, virus AI dapat diisolasi dari unggas yang secara klinis sehat. Unggas ini bisa berfungsi sebagai reservoir virus AI dan memegang peran penting dalam distribusi penyakit ini ke sejumlah wilayah. Unggas reservoir ini berpotensi mengeluarkan virus dari cairan tubuh, baik lewat lendir mulut, mata, maupun lewat kotoran. Fenomena ini dikenal dengan shedding virus.
Fenomena shedding ini memberi makna bahwa adanya virus AI pada individu sehat bisa terjadi dan akan menimbulkan gejala penyakit bila kondisi mendukungnya. Kondisi pendukung ini merupakan faktor predisposisi untuk munculnya penyakit, antara lain dapat berupa: 1) stres, atau cekaman baik yang bersifat intrinsik ataupun ekstrinsik, 2) adanya imunosupresan, misalnya mikotoksin dari bahan baku berkualitas buruk tercemar jamur, 3) faktor cuaca, pancaroba, 4) adanya penyakit lain yang mempermudah virus AI ini berkembang, 5) perubahan pakan, 6) perubahan sifat virus AI, dan faktor lain.
Pola penyakit AI ini secara periodik dipantau oleh pemerintah dan informasi ini secara terus-menerus diberikan kepada pemangku kepentingan.
Vaksinasi
Salah satu cara pengendalian penyakit AI yang dipilih oleh pemerintah adalah vaksinasi. Vaksinasi AI dapat diberikan kepada unggas asalkan prinsip berikut dapat dipenuhi, yakni: 1) cakupan vaksinasi lebih dari 70 persen dan 2) ulangan vaksinasi (booster) dapat dilakukan pada setiap individu yang divaksin. Vaksinasi yang saksama umumnya telah dapat dilakukan pada peternakan komersial baik pada ayam bibit (breeder) maupun pada ayam final stock.Kedua syarat tersebut sangat sulit untuk dilakukan untuk ayam kampung yang dipelihara secara umbaran sehingga pemerintah melarang pelaksanaan vaksinasi AI pada ayam kampung apabila tidak dipelihara secara intensif.
Pelaksanaan vaksinasi yang buruk atau tidak tepat bisa menyebabkan kasus infeksi subklinik AI pada ayam kampung itu sehingga sangat potensial sebagai ”reservoir virus buatan” dan bisa berfungsi sebagai sumber penularan virus AI ke manusia. Namun, ketiadaan vaksinasi AI pada ayam kampung membuat ayam kampung peka terhadap infeksi AI. Inilah sebabnya mengapa letupan-letupan kasus AI lebih sering terjadi pada ayam kampung, itik, atau burung dara yang tidak divaksin AI. Ayam komersial dan bibit pada umumnya telah divaksin AI sekurang-kurangnya tiga kali dalam masa produksi.
Evaluasi titer antibodi terhadap AI biasanya dilakukan oleh laboratorium internal yang dimiliki oleh industri perunggasan tersebut atau dibantu oleh laboratorium produsen vaksin atau oleh laboratorium pemerintah. Titer antibodi protektif terhadap AI ditetapkan sekurang- kurangnya delapan dengan uji HI dan biasanya peternak menaikkan 1 atau 2 digit di atas nilai yang ditetapkan, yakni 16 atau 32dan diyakini mampu menahan infeksi virus AI di lapangan.
Biosekuriti
Vaksinasi AI tak menjamin ternak terhindar dari infeksi AI sehingga perlu dilakukan pengurangan jumlah virus lapang yang memapar dengan tindakan biosekuriti. Biosekuriti memiliki tiga komponen penting. Pertama, isolasi. Kita berusaha untuk menjaga agar agen virus jauh dari populasi ayam. Berbagai usaha dilakukan peternak, yakni dengan membuat pagar, sistem transit, pencucian kendaraan dan barang lain sebelum memasuki farm. Kedua, sanitasi. Sanitasi memiliki dua komponen, yakni cuci dan desinfeksi. Ketiga, pengawasan lalu lintas barang dan orang dalam unit farm.
Untuk penyakit AI, tindakan biosekuriti sangat penting dan diletakkan sebagai garda terdepan dalam pengendalian AI. Vaksin sebagai faktor pendukung. Sayangnya, biosekuriti saat ini baru efektif dilakukan oleh sebagian besar peternak bibit, sedangkan variasi pelaksanaan biosekuriti pada tingkat peternak komersial berkisar antara buruk dan sedang. Biosekuriti masih dianggap sebagai pemborosan dan belum diyakini manfaatnya oleh sebagian peternak. Karena itu, pemerintah terus melakukan edukasi, pelatihan dan pemberdayaan masyarakat peternak.
Vaksin AI yang tersedia saat ini adalah vaksin inaktif (adjuvan killed vaccine). Vaksin inaktif umumnya menggertak sistem imun humoral, yaitu munculnya anti bodi yang beredar di dalam darah dan sangat sedikit perannya dalam menimbulkan kekebalan mukosa. Kekebalan mukosa (lokal) diinduksi pada umumnya oleh vaksin hidup. Mungkinkah kita membuat vaksin AI hidup? Secara teknologi memungkinkan, yakni melalui rekayasa genetik, misalnya vaksin rekombinan potongan gen AI dapat disisikan pada vaksin lain, misalnya vaksin Newcastle Disease (ND) atau vaksin pox (cacar) sehingga vaksin ini di kemudian hari dapat melengkapi efikasi vaksin AI inaktif, melengkapi induksi kekebalan lokal.
Dalam rangka mengurangi cemaran virus AI di lingkungan peternakan dan untuk menghasilkan bibit ayam (DOC) yang bebas virus AI, pemerintah telah mencanangkan dan memulai program kompartementalisasi bebas AI. Program ini disambut baik oleh beberapa industri perunggasan dan hingga saat ini ada sekurangnya 30 unit farm yang telah mengikuti program ini dan telah memperoleh sertifikat bebas AI yang berlaku untuk kompartemen yang diajukan.
Prinsip yang diterapkan dalam program ini adalah penilaian terhadap komponen-komponen penting berupa tindakan-tindakan yang dilakukan kompartemen untuk bebas dari virus AI. Pelaksanaan biosekuriti dan vaksinasi AI sebagai komponen manajemen kesehatan, performance kesehatan dan produksi, monitoring titer dan monitoring shedding virus AI pada indukan dan DOC yang dihasilkan serta monitoring sirkulasi virus di lingkungan kandang. Hal ini dilakukan ibarat orang menyapu, kita mencoba membersihkan virus AI dari hulu dan selanjutnya ke hilir hingga ke produk unggas. Jika semua industri peternakan mengikuti program ini, secara internal dan eksternal ada usaha untuk membersihkan setiap unit produksi dari cemaran dan infeksi virus AI.
Sudah tentu setiap komponen masyarakat harus diajak berpartisipasi sesuai porsinya dalam membebaskan Indonesia dari virus AI. Saat ini, beberapa daerah telah berusaha dan telah mendapatkan sertifikat bebas flu burung dan tentu yang lebih berat adalah mempertahankan wilayahnya agar tetap bebas flu burung.
Kita sangat menyadari bahwa potensi letupan kejadian AI masih akan kita hadapi selama belum ada usaha yang signifikan untuk memberi perhatian yang memadai kepada sektor peternak umbaran. Selama populasi unggas umbaran ini rentan terhadap AI, potensi sebagai amplifier penyakit tetap terbuka. Saran-saran dari sidang pembaca yang memiliki pengetahuan bukan saja berkaitan dengan virus dan kesehatan, melainkan juga tentang sosiologi dan antropologi sangat diharapkan.
I WAYAN TEGUH WIBAWAN
Guru Besar Fakultas Kedokteran IPB dan Ketua Komisi Kesehatan Unggas Nasional
Kompas, Sabtu, 2 April 2016
No comments:
Post a Comment