Sunday, 24 April 2016

"Si Pemalu" dari Padang Lamun

Oleh J GALUH BIMANTARA
Mamalia laut yang satu ini tergolong amat sulit ditemui para penyelam dan peneliti. Ia dianggap pemalu karena umumnya menghindari kontak dengan manusia. Bahkan, mamalia laut itu akan menjauh jika dalam radius 500 meter hingga 1 kilometer mendeteksi adanya potensi gangguan melalui pendengarannya yang sensitif.
Anak   dugong bersiap dikembalikan ke alam setelah terjerat jaring nelayan di Bintan, Kepulauan Riau, 23 November 2014.
Dugong (Dugong dugon) (WWF/Tutus Wijanarko)
Mungkin, itu bukan karena dia pemalu, melainkan bentuk pertahanan diri dari ancaman terbesar: manusia. Nama hewan ini adalah dugong atau duyung (Dugong dugon). "Ia mungkin takut karena melihat banyak teman tertangkap," ucap peneliti dugong dan lamun Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor, Juraij, Kamis (21/4).
Pakar lamun dari Pusat Penelitian Oseanografi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Wawan Kiswara, menambahkan, dugong diincar untuk konsumsi, terutama warga di sekitar habitat hewan bertubuh licin itu. Satu dugong dihargai Rp 6 juta.
"Tiga desa di Kotawaringin Barat (Kalimantan Tengah), misalnya, penggemar daging duyung. Pesta di rumah nelayan yang dapat daging duyung bisa lebih meriah ketimbang pesta pernikahan," ucap Wawan. Dugong juga untuk kepentingan mistis. Air mata dugong untuk pesugihan, misalnya agar dagangan laris.
Menurut Juraij, kini jarang orang sengaja menangkap dugong. Dulu, perburuan dugong marak karena ada banyak konsumen yang menyukai dagingnya. Kejadian tersering ialah dugong terjerat alat tangkap ikan sekitar padang lamun sehingga terperangkap dan terdampar saat laut surut.
Perenang lamban
Habitat alami dugong ialah padang lamun di perairan laut dangkal. Menurut publikasi H Marsh dan S Sobtzick dalam The IUCN (Badan Konservasi Dunia) Red List of Threatened Species 2015, laut tempat tinggal dugong berkedalaman kurang dari 10 meter. Itu mencakup garis pantai sepanjang 128.000 kilometer di 37-44 negara dan teritori, di antaranya di Afrika, Timur Tengah, Asia, Pasifik, dan Australia. Negara-negara itu terhubung Samudra Hindia dan Pasifik.
Di Indonesia, dugong tersebar di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Menurut Juraij, tempat terbaik melihat dugong karena populasinya lebih banyak ketimbang lokasi lain ialah kawasan Indonesia timur, seperti Sangihe (Sulawesi Utara), Tolitoli (Sulawesi Tengah), dan Alor (Nusa Tenggara Timur). Di bagian barat, tempat yang memungkinkan menemukan dugong yakni Pulau Bintan, Kepulauan Riau.
Panjang tubuh maksimal dugong 3-4 meter. Bobot dugong sekitar 400 kilogram meski pernah ditemukan dugong berbobot 1.000 kg. Berbeda dengan lumba- lumba dan paus, sesama mamalia laut, dugong tak punya sirip punggung.
Dugong bernapas dengan paru-paru. Hidungnya yang ada di atas depan memiliki katup agar bisa bertahan dalam air, mengingat ia tak bisa memakai oksigen yang terlarut di air. Saat makan, ia hanya bertahan 3-5 menit di dalam air, lalu naik ke permukaan untuk mengambil napas.
Masing-masing lengan dayung dugong memiliki lima jari, tetapi tersambung selaput. Lengan itu berfungsi untuk mendayung serta menopang tubuh saat makan. Ia tak punya kaki, tapi memiliki ekor melintang. Mulut dugong mengarah ke bawah, taring jantan menonjol, sementara taring betina tak menonjol. Telinga berfungsi, tapi tak berdaun telinga.
Ia termasuk perenang lamban. Dari publikasi Hans de Iongh pada 1998, menurut riset di Kepulauan Lease, Maluku, dugong menjelajah 65 km selama empat hari dengan kecepatan 0,2-0,7 km per jam. Area jelajah dugong dekat padang lamun dan area hidup lebih kurang 43 km persegi. Menurut Juraij, predator dugong adalah hiu, tapi jarang datang.
Pencinta lamun
Dugong adalah pencinta lamun sejati. Sekitar 95 persen makanannya berupa tumbuhan lamun, 5 persen sisanya material dan mikroba di lamun. Lamun adalah tumbuhan tingkat tinggi, punya daun, rimpang, akar, dan hidup di laut. Dugong aktif mencari makan saat malam. Dari riset di Seaworld Ancol, Jakarta, seekor dugong menghabiskan 20 kg lamun per hari.
Namun, dugong termasuk pemilih makanan. Dari 13 jenis lamun di Indonesia, hanya 5 jenis yang dikonsumsi dugong karena hanya memakan lamun ukuran kecil. Jenis itu antara lain Halodule sp., Halophile sp., dan Syringodium sp. Itu menjadikan padang lamun atau rumput (seagrass) sebagai habitat dugong.
Selain "mengeksploitasi" lamun dari habitatnya, dugong juga berjasa bagi kelestarian lamun karena caranya makan. Mulut dugong mengambil semua bagian lamun saat makan. Itu membuat sedimen berisi nutrien terangkat dan teraduk-aduk sehingga lamun jadi subur. Dugong menjaga kehidupan biota di ekosistem padang lamun, bahkan manusia. "Saat lamun sehat, ikan banyak, nelayan untung," kata Juraij.
Terus terancam
Namun, keberlangsungan spesies dugong terancam karena reproduksinya lambat. Ia baru dewasa setelah 10 tahun. Setelah kawin, dugong betina mengandung anaknya 12-14 bulan, hanya satu anak per kelahiran.
Induk dugong memiliki pola asuh anak yang baik. Anaknya disusui hingga usia 14-18 bulan, lalu diasuh hingga usia 6-7 tahun, memastikan anak bisa mandiri setelah tak bersama induknya. Dampaknya, interval melahirkan individu 2,5-5 tahun.
Ancaman bertambah terutama dari manusia. Meski penangkapan untuk konsumsi berkurang, ada eksploitasi bentuk lain. Baru-baru ini, jagat media sosial riuh oleh foto seekor dugong dengan ekor terikat di kerangkeng di laut, di sekitar Pulau Morotai, Maluku Utara. Meski masih bergerak, tubuhnya penuh luka.
Mamalia laut yang kian sulit ditemukan, dugong, Jumat (11/3/2016), terikat di Pulau Kokoya, pulau kecil di barat daya Pulau Morotai, Maluku Utara. Dugong itu akhirnya dilepasliarkan pada Sabtu setelah Kementerian Kelautan dan Perikanan merespons unggahan penyelam di media sosial. (Delon Lim)
Dampak kepunahan dugong belum teramalkan, tetapi memicu ketidakseimbangan ekosistem. Wawan mencontohkan, mamalia sapi laut steller (Hydrodamalis gigas) punah pada 1917 dan 13 tahun kemudian muncul wabah penyakit di lamun. Akhirnya, kini lamun di Eropa minim.
Saat ini, dugong dilindungi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya serta UU No 31/2004 tentang Perikanan. Di tingkat internasional, dugong berstatus rentan kepunahan dalam Global Red List of IUCN dan menurut Konvensi Perdagangan Internasional Flora dan Fauna Terancam Punah (CITES), dugong masuk Appendix I, bagian tubuhnya tak bisa diperdagangkan dalam bentuk apa pun.
Sayangnya, Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Jenis Kementerian Kelautan dan Perikanan Agus Dermawan menyebut data populasi dugong belum tersedia. Menurut para ahli, ada sekitar 1.000 dugong di Indonesia 10 tahun lalu. Dengan reproduksi lambat, sulit berharap populasi dugong stabil di tengah berbagai ancaman.

Kompas, Minggu, 24 April 2016

No comments:

Post a Comment