Wednesday, 13 April 2016

Menyapa Kala di Candi Pringapus

Oleh NAWA TUNGGAL
Sastrawan dan filsuf terkenal dari India, Rabindranath Tagore (1861-1941), mendatangi Jawa pada 1930 untuk melihat sendiri jejak masa lampau ekspansi India. Di Jawa, Tagore memang merasakan "India" hadir di mana-mana, tetapi sudah tak dalam bentuk aslinya. Penduduk Jawa telah mengubahnya, memodifikasinya sesuai dengan penafsiran mereka.
Sebuah prosesi ruwatan berlangsung di Candi Pringapus, Temanggung, Jawa Tengah, Maret  lalu.
Sebuah prosesi ruwatan berlangsung di Candi Pringapus, Temanggung, Jawa Tengah, Maret lalu. (Kompas/Nawa Tunggal)
Hal itu juga terasa pada suatu senja, pertengahan bulan lalu, di Candi Pringapus di lereng Gunung Sindoro, Temanggung, Jawa Tengah. Di depan relief Kala (tokoh raksasa dalam cerita yang berasal dari India) yang berada di candi itu, Bambang Nursinggih dari Lembaga Kebudayaan Jawa Sekar Pangawikan Yogyakarta melangsungkan prosesi ruwatan. Dalam suasana yang khidmat ini, terasa kehadiran "India", tetapi bukan "India" yang sesungguhnya.
Tokoh Rahu
Relief Kala yang terletak di ambang pintu masuk ruang candi merupakan salah satu relief yang cukup menonjol di Candi Pringapus. Adapun Candi Pringapus diketahui dibangun pada masa Mataram Kuno, yakni pada 772 Saka atau 850 Masehi, lebih dari 1.100 tahun yang lalu. Pemerintah kolonial Hindia Belanda merestorasi candi ini pada 1932.
"Kala adalah Batara Kala. Asal cerita ini dari India dan Kala juga dikenal sebagai Rahu," kata kurator Museum Nasional Jakarta, Trigangga, pekan lalu, di Jakarta. Trigangga merupakan ahli epigrafi yang meneliti benda-benda bertulis. Tidak hanya aksara yang ditelitinya, tetapi juga lambang-lambang yang terdapat pada benda-benda hasil peradaban masa silam.
Menurut Trigangga, Rahu dikisahkan sebagai raksasa yang menyaru sebagai dewa agar bisa meminum air suci amerta sehingga dirinya dapat hidup abadi seperti dewa-dewi. Tipu muslihat Rahu diketahui Dewa Surya dan Dewi Candra.
Mereka lantas memberitahukan perilaku Rahu itu kepada Dewa Wisnu. Alhasil, Dewa Wisnu mengeluarkan senjata cakra dan menebas leher Rahu yang sudah menelan air amerta hingga tenggorokannya. Berkat kesaktian air amerta, bagian tubuh Rahu dari kepala hingga tenggorokan tetap hidup abadi dan melayang-layang di angkasa.
Pada kemudian hari, Rahu menelan matahari (Dewa Surya) dan bulan (Dewi Candra) karena dendam. Peristiwa ini dikenal sebagai gerhana matahari dan bulan.
Cerita tentang sosok Rahu yang memiliki wujud hanya berupa kepala raksasa dan hidup abadi melayang-layang di angkasa mengalami perubahan di tanah Jawa. Perubahan itu tampak di Candi Pringapus: relief Kala tidak hanya memiliki kepala, tetapi juga memiliki jari-jari berkuku lancip yang terletak di samping pipinya.
Relief Kala semacam itu ditemui bukan hanya di Candi Pringapus, melainkan di hampir semua candi Hindu pada era Mataram Kuno. "Kala di tanah Jawa sudah berubah, antara lain sebagai penjaga tempat suci. Kala adalah penghalau niat jahat sehingga selalu dipasang di ambang pintu untuk menghalau berbagai niat jahat sebelum memasuki candi," tutur Trigangga.
Arkeolog Universitas Indonesia Hasan Djafar menjelaskan, Kala memiliki pengembangan yang unik. Dari Jawa Tengah ke Jawa Timur, relief Kala juga berubah. Dari semula tanpa dagu, relief Kala beralih memiliki dagu.
Jawa Timur
Di candi-candi peninggalan Kerajaan Singasari dan Majapahit di Jawa Timur, Kala bahkan diwujudkan sebagai patung berbadan utuh. Fungsinya tetap sebagai penjaga pintu masuk sebuah tempat penting atau tempat yang disucikan. Patung Dwarapala merupakan salah satu wujud patung Kala yang berukuran paling besar di kompleks percandian Singasari di Malang, Jawa Timur.
"Kala di Jawa bahkan juga dikisahkan sebagai jelmaan Dewa Siwa. Karena itu, Kala menjadi suami Durga atau Dewi Uma," kata Trigangga. Kala, menurut dia, juga menjadi penguasa waktu.
Tampak jelas, apa yang berasal dari India telah diubah begitu rupa oleh masyarakat Jawa. India hanya menjadi ilham bagi pengembangan-pengembangan tradisi di Jawa. Denys Lombard dalam bukunya, Nusa Jawa: Silang Budaya (PT Gramedia Pustaka Utama, 1996), menuliskan, selama 2.000 tahun, Jawa menjadi persilangan budaya terpenting dunia, yaitu India, Tiongkok, Islam, dan Eropa. Namun, masyarakat Jawa menerima, mengolah, mengembangkan, dan memperbaruinya.
Karena itu, Lombard menulis bahwa Tagore sewaktu mengunjungi Jawa pada 1930 merasakan India hadir di mana-mana, tetapi tidak sungguh-sungguh menemukannya kembali.
Dari hal ini, terlihat bahwa menerima hasil atau produk kebudayaan bangsa lain adalah sesuatu yang tak terelakkan sepanjang zaman. Namun, nenek moyang kita mengajarkan untuk kemudian mengolah, mengembangkan, dan memperbaruinya. Mereka dulu tak mau menerima mentah-mentah begitu saja pengaruh budaya asing.

Kompas, Kamis, 14 April 2016

No comments:

Post a Comment