Wednesday 17 February 2016

Gerhana dan Dendam Abadi Raksasa Rau

Setiap kali gerhana terjadi, baik gerhana matahari maupun gerhana bulan, masyarakat sejumlah etnis di Nusantara selalu mengingat Rau, Rahu, atau Batara Kala. Sosok raksasa penelan matahari atau bulan itu selalu menjadi "kambing hitam" atas kegelapan sesaat yang terjadi. Meski mitos itu telah ditinggalkan sebagian besar masyarakat seiring berkembangnya pengetahuan dan kemampuan berpikir rasional, cerita tentang raksasa pendendam itu tetap abadi dalam ingatan rakyat.
Syahdan, hiduplah raksasa bernama Rau di Pulau Bangka. Sang raksasa ingin mempersunting salah satu dewi di kahyangan sana. Namun, hasrat Rau itu ditolak sang Dewi. Dari sana kisah bermula.
Tak terima penolakan itu, Rau berusaha memaksa sang Dewi. Dewa Surya (Matahari) dan Dewa Candra (Bulan) yang tak suka pemaksaan itu mengadukan Rau kepada Dewa Wisnu.
Wisnu akhirnya menghukum Rau. Ia memanah leher sang raksasa hingga terputus dari badan. Kepala Rau jatuh, masuk dalam Telaga Amerta berisikan air suci untuk keabadian para dewa. Adapun badan Rau seketika mati dan jatuh ke tanah.
Penghukuman itu membuat Rau marah. Kepala raksasa yang telah abadi berkat air suci pun terus berusaha mengejar sang Dewi idamannya. "Bulan dan Matahari menjadi tempat persembunyian sang Dewi sehingga Rau selalu berusaha memakan Bulan atau Matahari agar sang Dewi muncul dan terjadilah gerhana," kata Akhmad Elvian, sejarawan Bangka, pekan lalu.
Mitos Rau merupakan pengaruh budaya Hindu yang masuk Pulau Bangka sejak abad ketiga Masehi. Berabad-abad itu pula, Rau "menghantui" warga Bangka. Untuk mengusir sang raksasa, masyarakat biasa membuat keributan dan kegaduhan, memukul bermacam benda.
"Sampai gerhana matahari total 18 Maret 1988 yang melintasi Bangka, orang-orang masih ketakutan. Sebagian orang lari ke hutan, sedangkan sebagian lain bersembunyi di kolong ranjang," ujar Elvian, yang juga Kepala Dinas Kebudayaan Pariwisata, Pemuda, dan Olahraga Kota Pangkal Pinang, Provinsi Bangka Belitung.
Cerita rakyat yang hidup di Pulau Bangka berbeda sedikit dengan cerita aslinya dari India. Menurut Elvian, Rau yang disebut Rahu hendak mencuri resep keabadian para dewa di kolam Tirta Amerta agar ia bisa abadi seperti para dewa.
Mengetahui ulah Rahu, Dewa Surya dan Dewa Candra pun mengadukannya kepada Dewa Wisnu. Ketika itu, Rahu sedang meminum air suci untuk mengubah wujudnya menjadi dewa.
Wisnu yang marah pun menghukum Rahu dengan memenggal kepalanya menggunakan Cakra, pusaka miliknya. "Kepala Rahu yang terpenggal masuk ke kolam Tirta Amerta sehingga bertahan hidup dan abadi. Kepala itu mengembara di langit dan selalu mengejar dan memakan Dewa Surya dan Candra," katanya.
Di Jawa, Rau disebut sebagai Batara Kala. Meski demikian, dalam naskah Jawa Kuno Adiparwa berangka tahun 998 Masehi yang diduga sebagai naskah tertua di Tanah Air yang menceritakan mitologi gerhana, sang raksasa pemakan matahari atau bulan itu tidak bernama. Tidak disebut sebagai Rau, Rahu, ataupun Batara Kala.
Dalam Bab VI Adiparwa disebutkan, seorang raksasa yang merupakan anak Sang Wipracitti dan Sang Singhika berubah wujud menjadi dewa dengan meminum air amerta. Sang Hyang Aditya (Dewa Matahari) dan Sang Hyang Candra (Dewa Bulan) yang mengetahui ulah sang raksasa pun mengadukannya kepada Dewa Wisnu.
Sewaktu air amerta memasuki kerongkongan raksasa, Dewa Wisnu memenggal lehernya. Badan raksasa yang belum terkena air amerta mati dan jatuh ke tanah, teronggok bagai puncak gunung. Saat tubuh raksasa itu mengempas tanah, terjadilah gempa bumi saking beratnya bangkai badan sang raksasa.
Adapun kepala raksasa tersebut abadi dan melayang-layang di angkasa karena tersiram kesucian air amerta. Dalam keabadian itu, kepala raksasa menaruh dendam kepada Dewa Matahari dan Dewa Bulan sehingga selalu berusaha memakan Matahari dan Bulan.
Meski alur cerita Rau, Rahu, ataupun Batara Kala sedikit berbeda, akhir ceritanya sama. Gara-gara Dewa Matahari dan Bulan, sang raksasa gagal meraih keabadian. Karena itu, saat menjumpai Matahari dan Bulan, sang raksasa selalu ingin mencaploknya dan terjadilah gerhana.
Mitologi Dayak
Berbeda dengan mitologi gerhana di Bangka dan Jawa, masyarakat Dayak percaya, ketika gerhana matahari, Matahari dikuasai Jangkarang Matan Andau, manifestasi dari Hyang Ilahi. Gerhana adalah pertanda dari Jangkarang Matan Andau bagi keberlangsungan hidup manusia pada masa datang.
"Jika gerhana matahari terjadi pagi hari atau subuh, itu pertanda bagi mereka yang berusia muda, mulai dari baru lahir hingga usia dewasa, akan memperoleh terang kehidupan. Pada pagi hari terdapat kesegaran, kesejukan, dan kesehatan," kata Bajik Rubuh Simpei, rohaniwan Hindu Kaharingan, di Palangkaraya, Kalimantan Tengah.
Selanjutnya, apabila gerhana terjadi siang hari, perlu diwaspadai akan terjadi bencana atau gejolak di kemudian hari. Sifat siang hari yang panas rentan menimbulkan gejolak yang harus diantisipasi pada masa depan. Jika gerhana matahari terjadi sore hari, masyarakat Dayak meyakini pada masa mendatang akan damai, aman, dan penuh berkat.
"Segala tanda dari fenomena alam itu untuk mendorong manusia mawas diri dan berhati-hati menghadapi masa depan," katanya.
Saat terjadi gerhana, puji-pujian pun dihaturkan melalui upacara adat oleh balian (dukun) dengan mendaraskan mantra dan doa dalam bahasa Sangiang atau bahasa leluhur. Ritual itu untuk menjaga keseimbangan alam semesta sekaligus ungkapan syukur kepada Tuhan.
"Yang penting diingat adalah alam telah membantu dan mendampingi manusia, tinggal bagaimana manusia melestarikan dan terus hidup berdampingan dengan alam," ujar Bajik.
Sementara itu, Ketua Majelis Daerah Agama Hindu Kaharingan Kota Palangkaraya Prada mengatakan, saat gerhana matahari tiba, terdapat energi negatif yang harus dihalau manusia. Karena itu, saat gerhana, remaja biasanya keluar rumah sambil menutupi kepalanya dengan wajan agar rambutnya tidak segera beruban.
Selain itu, dibunyikan juga gong, gendang, atau tabuh-tabuhan lain untuk mengusir energi negatif itu.
ecd5bb0a7adf45c190fb719847796b1c.jpg
Warga berkeliling menabuh perangkat musik patrol di kawasan persimpangan Gondomanan, Yogyakarta, saat gerhana matahari total 11 Juni 1983.(Kompas/Kartono Ryadi)
Berbagai mitos gerhana yang tumbuh dan berkembang di masyarakat Nusantara itu memang telah banyak ditinggalkan seiring meningkatnya pengetahuan gerhana dan berpikir rasional. Meski cerita itu tidak akan terungkap kebenarannya, mitos tetap bisa mewarnai, melengkapi, dan memperkaya daya pikir manusia Indonesia. (RAZ/DKA/NAW)
Kompas, Rabu, 17 Februari 2016

No comments:

Post a Comment