Tuesday, 9 February 2016

Memori Kelam GMT 1983 Jangan Sampai Terulang

Oleh M ZAID WAHYUDI
Gerhana matahari total yang melintasi Pulau Jawa, Sabtu, 11 Juni 1983, merupakan kenangan pahit bangsa Indonesia. Saat banyak peneliti dan wisatawan asing ke Indonesia, masyarakat justru terkurung dalam rumah dan kolong meja yang gelap.
72f10f20-8f68-4d3f-aafb-f0fe36e11397_169.jpg
(Mindra Purnomo)
Sebagian besar orang yang tinggal di Pulau Jawa pada masa itu tentu mengalaminya. Sejak pagi, aparat keamanan dan pemerintah desa berkeliling mengingatkan warga agar menutup semua jendela, lubang angin, dan genteng kaca untuk menghalangi sinar matahari masuk rumah. Dengan alasan cahaya gerhana matahari bisa menyebabkan buta, pemerintah memaksa rakyatnya diam dalam rumah.
Suasana rumah yang gelap di pagi hari itu ternyata belum cukup. Anak-anak diminta bersembunyi di kolong meja atau dalam lemari karena dianggap cahaya gerhana matahari lebih berbahaya bagi mereka dibandingkan bagi orang dewasa. Sesekali, mereka diizinkan melihat tayangan suasana gerhana matahari yang disiarkan Televisi Republik Indonesia (TVRI) langsung dari Candi Borobudur, Magelang, Jawa Tengah.
Padahal, "Gerhana matahari total (GMT) 1983 memenuhi syarat untuk diamati dengan biaya mahal karena durasi totalitasnya yang panjang, melewati daerah kering di musim kemarau, serta dilingkupi ruang budaya yang terkenal, seperti Borobudur dan Bali," kata Bambang Hidayat, Kepala Observatorium Bosscha Institut Teknologi Bandung (ITB) saat itu.
Lama fase total gerhana 1983 di wilayah Indonesia mencapai 3-5 menit, bandingkan dengan waktu totalitas GMT 9 Maret 2016 yang melintasi Sumatera hingga Halmahera yang hanya 1,5-3 menit. Durasi totalitas yang panjang itu terjadi karena puncak gerhana berlangsung di Laut Jawa, di utara sisi timur Pulau Madura. Di titik puncak itu, gerhana terjadi tepat tengah hari selama 5 menit 11 detik.
GMT 1983 juga menjadi gerhana penting bagi masyarakat Jawa karena hingga 2100, Jawa tidak akan pernah dilintasi gerhana total lagi. Data Kantor Hidrografi Inggris (UKHO) menyebutkan, selama 1500-2100, hanya ada tiga GMT yang melintasi tengah Jawa, yaitu 7 April 1502, 24 Juli 1683, dan 11 Juni 1983.
Selain itu, GMT 1983 menjadi gerhana dengan totalitas terlama yang melintasi Indonesia selama seabad Indonesia merdeka. GMT dengan totalitas hampir sama akan terjadi pada 22 Juli 2028, tetapi wilayah Indonesia yang dilintasi jalur gerhana itu hanya perairan Samudra Pasifik di selatan Jawa dan Nusa Tenggara.
Pengamatan
Di tahun 1983, pemerintah menyediakan kawasan Pantai Tanjung Kodok di Kabupaten Lamongan, Jawa Timur, sebagai tempat pengamatan resmi gerhana. Namun, penjagaan aparat keamanan di sana sangat ketat. Ada sekitar 1.000 astronom dari sejumlah negara datang dengan berbagai peralatan canggih. Hasilnya, GMT 1983 diakui sebagai yang terindah yang pernah disaksikan para ahli (Kompas, 12 Juni 1983).
Di luar daerah itu, masyarakat dilarang mengamati Matahari, termasuk bagi mahasiswa dan dosen astronomi. Pelarangan itulah yang dialami Chatief Kunjaya, Rektor Universitas Ma Chung Malang, Jatim, yang saat itu mahasiswa tingkat III Astronomi ITB.
Bersama mahasiswa lain, dosen Astronomi ITB, Winardi Sutantyo (alm); seorang astronom asal Cekoslowakia (sekarang terpecah menjadi Ceko dan Slowakia), dan pemandu, Chatief mengamati gerhana di Lapangan (sekarang stadion) Manahan Solo. Lapangan dipilih karena memiliki medan pandang ke arah langit yang luas.
"Saat hendak mencoba alat yang sudah dipasang dari pagi hari, datang petugas pertahanan sipil (hansip) yang menegaskan tidak boleh ada aktivitas di luar rumah selama gerhana berlangsung," kenangnya. Saat itu, gerhana sebagian yang mengawali gerhana total berlangsung sekitar pukul 10.00.
Meski sudah berusaha menjelaskan bahwa mereka adalah astronom yang pekerjaannya mengamati benda langit, petugas hansip itu tetap tidak mau menerima karena instruksi pemerintah daerah menegaskan semua orang harus berada di dalam rumah, mengamati gerhana dari televisi.
Karena habis waktu berdebat dan waktu gerhana semakin dekat, para astronom memilih mengalah dan mencari lokasi baru. Dalam waktu singkat, diperoleh gedung tiga lantai yang bagian atasnya datar di dekat Lapangan Manahan. Persiapan cepat pun dilakukan. Alhasil, mereka masih bisa mengamati seluruh proses gerhana.
content
"Dari atas gedung, suasana Solo seperti kota mati. Tidak ada orang atau kendaraan lalu lalang di dalam kota. Suasana hening, hanya sayup-sayup suara kentongan petugas hansip yang terdengar," ujarnya.
Meski gerhana bisa diamati, rasa malu dirasakan Chatief kepada astronom Cekoslowakia yang menyertainya. Saat orang asing datang jauh-jauh ke Indonesia menyaksikan gerhana, masyarakat justru diharuskan bersembunyi dalam rumah.
Namun, intensitas pelarangan itu berbeda di tiap daerah. Wicak Soegijoko (49) yang saat itu kelas II sekolah menengah atas bisa mengamati gerhana di sebuah lapangan di Cilacap, Jateng, bersama keluarganya. Meski didatangi tentara, ayahnya yang dosen mampu meyakinkan tentara itu bahwa mereka termasuk kelompok yang diperbolehkan mengamati gerhana untuk tujuan penelitian.
Kebenaran ilmiah
Meski Presiden Soeharto melalui Menteri Penerangan Harmoko ketika itu melarang masyarakat mengamati langsung gerhana agar terhindar dari kebutaan, sejumlah astronom sebenarnya telah berusaha mempertahankan kebenaran ilmiah yang diyakininya, menjelaskan fenomena gerhana dan cara aman mengamatinya dengan kacamata gerhana.
Namun, pemerintah bersikukuh dan terus menyebarkan seruan tak masuk akalnya. "Itu pembodohan karena ancaman kebutaan saat menyaksikan gerhana sebenarnya bisa diakali," ujar Bambang yang masa itu menjabat Wakil Ketua Komite Nasional Gerhana Matahari.
Melihat Matahari secara langsung, baik saat gerhana atau tidak, adalah tindakan berbahaya. Upaya itu mengakibatkan terjadi pemusatan cahaya oleh lensa mata hingga memicu terbakarnya retina. Namun, dampak itu umumnya tidak langsung, perlahan, dan menahun. Itulah sebabnya, orang-orang yang bekerja di luar ruang, seperti petani dan nelayan, lebih rentan terkena katarak.
5efe2f10685a471da9cb54e105700219.jpg
Upaya menjelaskan fenomena gerhana itu sebenarnya didukung para ilmuwan lain, tetapi mereka memilih diam daripada berseberangan pendapat dengan pemerintah secara terbuka.
Ketua Dewan Penasihat Universe Awareness (Unawe) Indonesia Premana W Premadi menambahkan, keterbatasan akses dan teknologi komunikasi saat itu juga membuat informasi yang benar tentang gerhana sulit disebarkan kepada masyarakat, apalagi sumber informasi masih didominasi pemerintah.
Kebijakan pemerintah yang mengambil cara mudah guna menghindari risiko dan kurangnya mengambil upaya antisipasi untuk meminimalkan risiko menunjukkan belum matangnya kemampuan berpikir rasional bangsa saat menghadapi tantangan yang kompleks.
Di sisi lain, Premana yakin masyarakat Indonesia sebenarnya sudah lama meninggalkan mitologi gerhana dan menjadikannya cerita rakyat saja. Namun, sebagian besar di antaranya juga belum memahami proses alam yang menyebabkan gerhana. Akibatnya, potensi munculnya keresahan dan isu mistis untuk menutupi lubang ketidaktahuannya tetap ada.
Karena itu, Premana menilai, GMT 9 Maret 2016 mendatang harus bisa dimanfaatkan maksimal untuk menggugah pendidikan sains dan mengasah kemampuan bernalar bangsa. GMT telah menyediakan konteks yang nyata, alami, dan spesifik sehingga ide saintifik bisa disampaikan secara jernih dan mengesankan.
"Untuk bangsa Indonesia yang amat heterogen ini, kemampuan rasional masyarakatnya adalah modal yang tak ternilai," ujarnya.
Kompas, Selasa, 10 Februari 2016

No comments:

Post a Comment