Oleh KURNIA JR
Menurut kronik, pada 1 Oktober 527 Masehi Kaisar Liang Wudi-penganut Buddhisme yang antusias-mengundang Bodhidharma, pemimpin Zen India ke-28, yang baru tiba di negerinya, ke ibu kota kerajaan di Nanjing.
Sang Kaisar gemar mengenakan busana Buddhis dan melantunkan tembang Buddhis. Ia juga vegetarian. Kepada sang guru, dia mengajukan satu pertanyaan: "Sejak naik takhta, saya telah membangun banyak kuil, menyalin banyak naskah, dan menyokong kehidupan banyak biksu dan biksuni. Apa kebajikan dari semua ini?"
"Tak ada kebajikannya," jawab Bodhidharma, "Apa yang Anda lakukan hanyalah kegiatan duniawi dan tidak bisa dianggap sebagai pahala sejati. Kebajikan sejati terdiri dari kesadaran murni, indah, dan sempurna. Intinya adalah kekosongan. Seseorang tidak bisa mendapatkan kesejatian dengan cara-cara duniawi."
Antusiasme spiritual sang Kaisar, amal perbuatannya, juga pertanyaannya kerap kita dapati di sekitar kita. Mereka adalah penganut agama yang secara lahiriah taat, termasuk juru dakwah dan ustaz. Para dai rata-rata memiliki komunitas, pesantren, ataupun gedung dakwah sendiri, dengan para donatur yang loyal. Kita akan berpikir seperti sang Kaisar, bahwa mereka pantas menuntut pahala sejati.
Sementara itu, ada cerita lain. Ada seorang pria yang antusias meniti jalan spiritual. Pada suatu hari, Nabi Khidir menemui dia untuk memberi bimbingan. Dia diajak ke dua tempat. Mula-mula ke tempat orang-orang yang sengsara. Kemudian ke tempat orang-orang yang senang dan bahagia. Di setiap tempat itu dia berdialog dengan para penghuninya perihal kebenaran. Dia menyimpulkan bahwa kebahagiaan sama dengan kebenaran. Cara pandang itu membuat hatinya gelisah. Dia pun mengadu kepada sang pembimbing.
"Itu lantaran engkau telah menjadi pendusta," kata Khidir. "Engkau telah diberi kesempatan yang, kalau mau, engkau akan mencapai kebenaran. Yang kau kejar malah kepuasan pribadi."
"Kalau aku salah jalan, kenapa aku bertemu dengan Anda, yang tak sembarang orang bisa?"
Khidir menjelaskan, "Ketika engkau bersikap teguh mengarahkan pandangan pada kebenaran demi kebenaran itu sendiri, aku pun punya alasan untuk hadir memberikan bimbingan."
Alkisah, sang murid sadar. Ia kembali dikuasai hasrat awal menemukan kebenaran walau itu bakal merugikan dan tak berarti dia bakal mengecap rasa bahagia. Tanpa dia sadari, tahu-tahu ia sudah berpindah tempat dari Taman (maqam) Pengetahuan ke Taman (maqam) Kebenaran.
Edukasi toleransi
Kisah-kisah ini bukan perkara umum yang mudah dan lazim. Yang kita saksikan bahkan para juru dakwah kerap terpeleset mengkhotbahkan kebenaran bukan demi kebenaran itu sendiri. Di lisan mereka, kebenaran berpihak dan berprasangka. Kita saksikan di layar TV tempo hari, warga Sungailiat, Bangka Belitung, geram terhadap jemaah Ahmadiyah di kampung mereka. Sekali lagi terjadi pengusiran terhadap yang berbeda keyakinan.
Sampai kapan kita harus menyaksikan pemerintah tak berdaya menghadapi masyarakat awam yang merasa kapabel menghakimi sikap beragama yang berbeda? Kasus berulang-ulang ini memperlihatkan pemerintah tak punya program menanggulangi konflik sektarian.
Masyarakat yang mengusir tetangga mereka tak mungkin diredam sebab mereka ibarat bidak catur di tangan tokoh agama setempat. Pemerintah perlu menyusun program edukasi toleransi bagi para tokoh masyarakat dan agama di seluruh negeri.
Sekadar contoh, ada dua buku mengenai Islam di Barat yang sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia: American Jihad, Islam After Malcolm X (Steven Barboza, 1993) dan Allah in the West: Islamic Movements in America and Europe (Gilles Kepel, 1997). Melihat judulnya sekilas saja mungkin orang akan merasa menyaksikan Islam yang satu, yang monolitik, yang homogen, di dunia Barat, hutan belantara materialisme dan rasionalisme.
Melihat sesuatu dari kejauhan, orang riskan terjebak ilusi yang manipulatif. Para juru dakwah dan warga masyarakat yang mengusir orang-orang berbeda keyakinan mungkin berilusi tentang satu negeri tanpa heterogenitas kepercayaan dan agama. Negeri semacam itu mustahil ada. Jika setiap kepala punya ilusi, ilusi yang satu dengan yang lain akan bertabrakan dan saling mengingkari. Tak ada yang melihat kebenaran.
Mereka memeluk mimpi itu dengan takabur, sedangkan pemerintah tak punya program untuk membangunkan mereka dari tidur. Mereka mengejar kebenaran demi kepuasan hasrat pribadi, bukan demi kebenaran itu sendiri. Mereka beranggapan kebenaran mudah diidentifikasi tanpa kehadiran-bersama-dengan- yang-lain. Mereka terjebak di labirin egoisme dan arogansi, yang menghasilkan tirani mayoritas.
Seperti Kaisar Liang Wudi, orang kaya royal menyokong program dakwah dan pembangunan masjid. Para dai giat menggelar acara zikir, tetapi tidak selalu ingat bahwa Nabi Muhammad memerintahkan dakwah yang menghargai kemajemukan dan kedamaian. Nabi menganjurkan diskusi atas perbedaan keyakinan, seperti yang dicontohkan dengan para pendeta Nasrani dari Najran. Tak ada pemaksaan.
Masyarakat kita dewasa ini terjangkiti semacam antusiasme spiritual yang bersifat kebendaan (lahiriah) melulu. Kesalehan hanya berarti rajin sembahyang dan menghadiri pengajian, royal menyumbang ke masjid/panti asuhan, tak pelit menyembelih hewan kurban, sering umrah dan berhaji. Sementara rohani mereka tak melembut, tak lapang dada menghargai hak hidup mazhab lain, yang hakikatnya merupakan hak dan urusan Allah. Bahkan, sebagian dari mereka lebih suka mematahkan ketimbang meluruskan yang dinilai bengkok.
Yang memprihatinkan, di antara orang-orang intelek, yang seharusnya menjadi panutan toleransi, justru menyimpan sentimen sektarian yang akut dan berpandangan picik terhadap perbedaan keyakinan dan bahkan ras. Pemerintah harus menunjukkan kemauan politik plus keberanian untuk menghentikan kekerasan sektarian yang terus terjadi dan mungkin akan semakin masif.
KURNIA JR
Sastrawan - Esais
Kompas, Selasa, 16 Februari 2016
No comments:
Post a Comment