Oleh AHMAD ARIF dan HARIADI SAPTONO
Ada dua hal yang terasa menohok ketika Minggu lalu mampir ke Kedutaan Perancis di Jakarta. Pertama, orang Perancis begitu getol memainkan peran ilmu pengetahuan dan kebudayaan. Kedua, mereka begitu ingin tahu tentang letusan Tambora.
Keindahan panorama Gunung Tambora yang berada di Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat, beberapa waktu lalu. Gunung Tambora merupakan gunung api strato (kerucut) aktif yang memiliki kawah berbentuk danau (kaldera). Letusan dahsyat Tambora pada April 1815 tercatat gemuruhnya terdengar hingga Pulau Sumatera dan dampaknya turut memengaruhi perubahan iklim saat itu. (Kompas/Iwan Setiyawan)
Bertrand de Hartingh, PhD, Direktur Institut Perancis Indonesia (IFI) sekaligus Konselor Kerja Sama dan Kebudayaan, yang mendampingi Didier Vuillecot, Atase Kebudayaan dan Audiovisual IFI, menunjuk salah satu dinding yang ditempeli spanduk.
”Anda lihat, kami sedang membahas tata kota dengan para ahli dari ITB, UI, dan lain- lain. Juga masalah perubahan iklim sejagat,” kata Bertrand.
”Bulan Desember sudah kami jadwalkan ada beberapa seminar di beberapa kota tentang perubahan iklim. Saya juga akan ke kantor Anda, RedaksiKompas, untuk menjelaskan ini dan kita bisa buat kerja sama,” tuturnya.
Akhir tahun ini Perancis akan menjadi tuan rumah Konferensi Dunia tentang Perubahan Iklim. Karena itu, ilmuwan-ilmuwan Perancis mulai disebar untuk bekerja dengan ilmuwan negeri lain, termasuk Indonesia.
Setelah menjelaskan ”strategi kebudayaan” mereka, tiba-tiba Didier bertanya: apa yang akan dibuat Pemerintah Indonesia dengan peringatan dua abad letusan Tambora? Terus terang, sulit menjawabnya. Saya katakan, sejumlah acara dibuat harian Kompas bekerja sama dengan Pemerintah Daerah Nusa Tenggara Barat, tempat Gunung Tambora berada (9-13 April), pameran,talkshow, dan pergelaran Tambora di Bentara Budaya Jakarta (16-26 April).
Jawaban ini mungkin tidak melegakan karena konferensi internasional tentang Tambora dan dampaknya terhadap iklim dan peradaban justru diselenggarakan di Bern, Swiss, pada 7-11 April. Kenapa tidak di Indonesia?
Frankenstein dan Si Buta
Novel Frankenstein yang ditulis Mary ”Shelly”, kemudian difilmkan dalam berbagai versi sejak 1910-an, telah lama dikenal kanak-kanak di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Bahkan, barangkali banyak anak Indonesia yang lebih dulu mengenal horor Frankenstein dibandingkan ngeri Tambora.
Ganes Th memang membuat seri komik Si Buta dari Goa Hantu edisi Manusia Serigala dari Gunung Tambora pada 1967. Namun, selain komik ini, kisah Tambora nyaris tak tersedia. Bahkan, hingga kini, riwayat Tambora masih samar- samar diketahui masyarakat Indonesia karena minimnya literasi tentangnya.
Padahal, Frankenstein hanya efek samping dari letusan Tambora. Letusan gunung pada April 1815 itu merupakan yang terhebat dalam sejarah. Tiga kerajaan terkubur, yaitu Tambora, Sanggar, dan Pekat.
Korban tewas akibat letusan mencapai 71.000 jiwa, bahkan sebagian ahli menyebut 91.000 jiwa, membuat Tambora menjadi gunung paling mematikan dalam sejarah modern. Jumlah ini belum termasuk kematian global karena badai kelaparan dan wabah. Rempah vulkanik yang diembuskan Tambora menutup angkasa, menyebabkan tahun tanpa musim panas di Eropa.
Gara-gara cuaca buruk itu, Karl Dadais, seorang warga Jerman, menciptakan ”sepeda” yang disempurnakan orang Perancis; lahir pula Frankenstein dalam lomba menulis untuk mengusir rasa bosan karena cuaca buruk; serta suatu genre lukisan baru di Eropa karena debu Tambora mengubah keadaan alam Eropa.
Kaldera berdiameter 6,2 kilometer yang menghujam hingga kedalaman 1.360 meter menjadi saksi letusan Gunung Tambora di Nusa Tenggara Barat, Rabu (22/6/2011). (Kompas/Agus Susanto)
(Kompas/Agus Susanto)
Sementara di Indonesia, selain komik Si Buta dari Goa Hantu itu, nyaris tak ada literasi modern yang diinspirasi dari Tambora. Bahkan, hingga kini, buku dan jurnal ilmiah berskala internasional tentang Tambora nyaris tak ada yang ditulis ilmuwan Indonesia.
Alam dan ilmu
Pertanyaan yang muncul di Kedutaan Besar Perancis tadi: apa yang memicukeingintahuan dan inovasi sebuah bangsa, belum juga terjawab. Apa yang membedakan sebuah bangsa bisa melahirkan ilmu pengetahuan dan teknologi dari interaksinya alam?
Kawasan kaldera Gunung Tambora (2.850 mdpl), Kabupaten Dompu, Nusa Tenggara Barat, Rabu (22/6/2011).(Kompas/Fikria Hidayat)
Padahal, dengan 127 gunung api yang berjajar, Nusantara adalah negeri dengan gunung api aktif terbanyak di dunia, sementara lautnya yang mendominasi pun rentan tsunami. Namun, zona-zona paling berbahaya di negeri ini selalu yang paling padat dihuni. Sebab, gunung api juga memberikan kesuburan.
Situasi alam memang melahirkan keadaan ”kuldesak” sehingga banyak ilmuwan dari negara lain menilai warga di kaki Tambora, Merapi, atau Sinabung sebagai komunitas absurd karena meski sudah berkali-kali dilanda bencana, toh selalu kembali hidup di sekitar gunung api.
Bagi masyarakat Barat, kawasan permukiman harus dijauhkan dari zona bahaya gunung api. Hal yang sama terjadi pada masyarakat Jepang: jika mitigasi gagal menghalau petaka, kawasan itu harus ditinggalkan. Namun, pilihan umum peradaban Nusantara ialah: di sana senang di sini senang, bencana dan keberuntungan seolah sama saja!
Namun, pilihan kebudayaan ini juga melahirkan daya liat karena mereka menyederhanakan syarat-syarat hidup. Itulah sebabnya, kami melihat warisan 200 tahun letusan Gunung Tambora adalah warisan perubahan dengan kuncinya pada kelenturan, selain juga rasa bergairah untuk mengenali alam.
Kompas, Sabtu, 4 April 2016
No comments:
Post a Comment