Wednesday 17 February 2016

Kalijodo: Dari Era Tjong Wie sampai Azis

Oleh WINDORO ADI
Tjong Wie Pien atau Tjong Wie. Pada era 1955, ia paling dikenal sebagai pemilik rumah bordil paling kaya di kawasan Kalijodo, sisi Jakarta Barat.
Pekerja seks komersial (PSK) di kawasan Kalijodo, Penjaringan, Jakarta Utara, Rabu (17/2). Pemerintah melalui Kementerian Sosial menawarkan solusi pemberdayaan dengan pelatihan keterampilan bagi para PSK terkait rencana penataan Kalijodo dan relokasi warganya.
Pekerja seks komersial (PSK) di kawasan Kalijodo, Penjaringan, Jakarta Utara, Rabu (17/2). Pemerintah melalui Kementerian Sosial menawarkan solusi pemberdayaan dengan pelatihan keterampilan bagi para PSK terkait rencana penataan Kalijodo dan relokasi warganya. (Kompas/Raditya Helabumi)
"Kalau ada orang bilang, 'Yuk ke rumah Tjong Wie', atau 'Yuk ke atas', artinya orang tersebut mengajak orang lain ke suhian (dari bahasa Hokkian, artinya rumah bersenang senang atau rumah bordil) milik Tjong Wie," jelas Reginal alias Ceceng (67) saat ditemui di rumahnya di dekat Kalijodo, Rabu (17/2) sore.
Tentang istilah "ke atas", Ceceng menjelaskan, dulu pangkalan pekerja seks komersial (PSK) ada di sekitar Jembatan Dua, di Jalan Tubagus Angke, yang sekarang jadi pasar. "Kala itu, permukaan tanah di Jembatan Dua lebih rendah daripada permukaan tanah di Kalijodo. Kalijodo masih berupa bukit kecil," ujarnya.
Hidung belang memilih para PSK di Jembatan Dua, lalu membawa PSK pilihannya "ke atas", menyewa kamar di rumah bordil. PSK-nya kio seng (peranakan Tionghoa-ayah Tionghoa, ibu pribumi) semua. Sebagian mereka berasal dari Tangerang dan sebagian lain di sekitar kawasan Tubagus Angke. Mereka biasanya duduk di empat bangku panjang mengelilingi meja kayu di tepi jalan.
Di atas meja disajikan botol-botol minuman keras seperti bir cap Nori dan Ciu (arak) Wi Seng, kacang goreng, emping, dan kuaci. "Kalo dah cocok dibawa dah tu cabo ( perempuan) ke atas, ke rumah Tjong Wie," jelas Ceceng.
Petromaks
Di antara beberapa rumah bordil di Kalijodo, rumah Tjong Wie dianggap paling mentereng. "Cuma dia yang penerangan rumahnya sudah memakai diesel.Suhian suhian lain masih memakai lampu petromaks (lampu pompa berbahan bakar minyak tanah). Sebagian kecil suhian pakai lampu tempel," tutur Ceceng.
Semua rumah bordil kala itu terdiri atas tembok di bagian bawah dan papan di bagian atas. Letak suhian Tjong Wie di tepi Kalijodo. Rumahnya terdiri atas tiga lantai. Bagian paling bawah untuk duduk-duduk bercengkerama. Bagian ini berada di bibir Kalijodo.
Di keremangan tempat itu, pasangan-pasangan yang dibuai asmara bisa menikmati hilir mudik biduk (perahu). Di atas biduk-biduk itu para kio sengyang kebanyakan sudah berusia rata-rata 40 tahun menyanyi lagu mandarin, mencari jodoh. Lantai dua digunakan sebagai rumah makan, sedangkan lantai tiga yang tingginya sama dengan badan jalan terdiri atas kamar-kamar.
"Umumnya para tamu yang sudah mengambil PSK dari Jembatan Dua begitu tiba di rumah Tjong Wie langsung masuk kamar. Dari sana mereka duduk-duduk di pelataran lantai satu di bibir sungai, lalu naik ke lantai dua untuk makan," papar Ceceng.
Sayang, ketika itu usia Ceceng baru 6 tahun, sedangkan Tjong Wie kala itu berusia 45 tahun. "Jadi, saya enggak tahu tentang skandal asmara dan rumah tangga Tjong Wie," ujar Ceceng. Yang jelas Tjong Wie punya banyak simpanan. Salah satu simpanannya bernama Nagin. Perempuan Cina Benteng, Tangerang, ini menjadi kembang Kalijodo,
Ceceng mengaku biasa ke Kalijodo bersama ayahnya hanya untuk mencari udara segar sambil menikmati nyanyian para kio seng. Ayah Ceceng, Kwee Tjin Siu, adalah bandar besar opium di Pejagalan, Jakarta Barat. Tak heran jika setiap ayah dan anak ini datang dengan mobil jip tanpa kap, disambut ramai para centeng dan mandor.
Seingat Ceceng, Tjong Wie merupakan orang pertama yang mendirikan rumah bordil di Kalijodo. "Dari sejak tujuh biduk para kio seng masih ada di Kalijodo sampai enggak ada lagi," ujar Ceceng.
Dari Asman ke Azis
Menurut warga Kalijodo, Daeng Abu Bakar (67), setelah Tjong Wie dan orang-orang Tionghoa pemilik rumah bordil lainnya mundur, orang-orang Banten, Mandar, dan Bugis yang tinggal di sekitar Luar Batang, Muara Angke, Jakarta Utara, mengambil alih.
Di era Tjong Wie, setiap pemilik rumah bordil di Kalijodo berilmu bela diri tinggi. Tradisi centeng, mandor, dan kekerasan baru muncul awal tahun 1980-an, yaitu ketika muncul nama Asman asal Mandar, Sulawesi Selatan, menguasai bisnis prostitusi dan judi di Kalijodo.
Abu mengatakan, karena dikenal gesit, tak banyak bicara, dan kejam, "pasukan" Asman yang dipimpin Arkan Malik ini disebut "Anak Macan".
Ketika itu, lanjut Abu, Daeng Abdul Azis asal Makassar belum memiliki "pasukan". Roda usaha rumah judi dan rumah bordil Azis cuma digerakkan para pria penganggur saja sampai akhirnya terjadi pertikaian di antara kelompok Azis dan kelompok Asman.
Setelah Asman mundur dari Kalijodo, lanjut Abu, Azis mengendalikan hampir seluruh bisnis bir di Kalijodo sisi Penjaringan, Jakarta Utara.
41ee90fa724d4ba0bd1f463f4743afec.jpg
Hunian warga yang berdempetan di kawasan Kalijodo, Penjaringan, Jakarta Utara, Rabu (17/2). Selain tempat hiburan malam dan prostitusi, banyak warga yang tinggal di sana menggantungkan hidupnya dengan membuka warung dan toko kecil serta pekerjaan informal lain seperti buruh dan sopir taksi. (Kompas/Raditya Helabumi)
1911434photostudio-1455711071219780x390.jpg
Deretan kafe berdiri di Jalan Inspeksi Banjir Kanal Barat (BKB), di Kalijodo, Jakarta Utara. Rabu (17/2/2016). (Kompas.com/Robertus Belarminus)
Kompas, Kamis, 18 Februari 2016

No comments:

Post a Comment