Sunday, 21 February 2016

Sampah Plastik: Soal Terdegradasi atau Terurai

Oleh ICHWAN SUSANTO
Sejumlah pihak menilai program kantong plastik atau keresek berbayar di ritel modern tak perlu. Alasan program itu untuk mengurangi timbulan sampah juga dinilai mengada-ada. Toh, lebih dari 95 persen peritel di Indonesia telah menggunakan plastik yang bisa terdegradasi. Jadi, apa yang harus dikhawatirkan bagi lingkungan?
 Petugas TPS Jalan Tamansari, Bandung, Jawa Barat, menata tumpukan sampah sebelum diangkut ke tempat pembuangan akhir, Sabtu (23/1). Dalam sehari, di Bandung diperkirakan dihasilkan sekitar 200 ton sampah plastik.
Petugas TPS Jalan Tamansari, Bandung, Jawa Barat, menata tumpukan sampah sebelum diangkut ke tempat pembuangan akhir, Sabtu (23/1). Dalam sehari, di Bandung diperkirakan dihasilkan sekitar 200 ton sampah plastik.(Kompas/Rony Ariyanto Nugroho)
Menurut peneliti polimer pada Pusat Penelitian Kimia Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Agus Haryono, plastik dengan klaim degradable yang umumnya disediakan peritel-peritel itu hanya pecah di alam, bukan terurai secara biologis. Contohnya, jenis oxodegradable yang merupakan plastik yang terpecah-pecah karena teroksidasi.
"Oxo itu plastik biasa yang ditambahkan zat aditif atau logam berat sehingga ketika berada di lingkungan panas dan sinar matahari, lapisan akan luruh. Katalis akan memecah plastik," urainya.
Plastik yang merupakan senyawa polimer berantai sangat panjang dipengaruhi zat aditif dan katalis logam berat itu akhirnya pecah kecil-kecil. Bahkan, bisa berukuran mikro atau biasa disebut mikroplastik.
Masyarakat bisa terjebak pada klaim "ramah lingkungan" atas produk oxodegradable. Seolah, dengan memakai plastik jenis itu, maka sudah go green. Padahal, plastik itu hanya terpecah dari bentuk besar menjadi bentuk mikro.
Kekhawatiran "menggampangkan" persoalan plastik itu muncul dalam laporan Program Lingkungan PBB (UNEP) berjudul "Biodegradable Plastics and Marine Litter: Misconception, Concerns, and Impacts on Marine Environments" pada akhir 2015. Penggunaan plastik degradable pun seakan membuat siapa saja lepas tanggung jawab karena berpikir materi itu akan terurai sendiri di alam.
Untuk benar-benar terurai habis membutuhkan proses dan kondisi tertentu serta waktu lama. Di perairan, persyaratan utama terdegradasi, seperti suhu tinggi (di atas 50 derajat celsius) dan radiasi sinar ultraviolet dari matahari, tak mungkin memapar kantong plastik degradable di lautan dingin dan gelap.
Kondisi dingin ekstrem di kutub utara, misalnya, es akan memerangkap plastik sehingga hampir tak mungkin terurai. Itu membuat kelimpahan mikroplastik di sana, setidaknya tiga kali lebih banyak daripada di daerah lain di lautan, termasuk Great Pacific Garbage Patch, pusat konsentrasi plastik di laut (Kompas, 10 Desember 2015).
Di lautan, plastik yang pecah menjadi mikroplastik menimbulkan berbagai masalah. Ketika mikroplastik berada di lautan, fauna setempat salah mengidentifikasinya sebagai plankton sehingga memakan dan menelannya. Perjalanan rantai makanan pun berlanjut hingga membahayakan manusia.
Bagi kesehatan, kata Agus, zat aditif yang ditaruh sebagai campuran plastik bisa terlepas dan terserap tubuh. "Aditif plastik bermacam-macam sesuai tujuan dan fungsi plastik itu," ujarnya.
Zat aditif pada plastik PVC merupakan senyawa phthalate yang di Uni Eropa mulai dilarang. Pelepasan senyawa aromatik itu bisa memengaruhi hormon pada tubuh. Keberadaan senyawa itu di sungai diduga penyebab ikan-ikan pejantan berubah jadi betina.
Di dunia, kata Agus, mikroplastik itu masih diperdebatkan apakah akan terurai di alam atau masih membutuhkan waktu ratusan hingga ribuan tahun untuk terurai. "Molekul polimer ini tersisa dan tertinggal di alam," ujarnya.
Beda lagi dengan plastik biodegradable. Plastik jenis ini dibuat dari bahan tepung nabati, seperti sagu, jagung, dan tapioka. Di tengah risiko pengembangannya akan berkonflik dengan kebutuhan pangan, plastik jenis ini bisa terurai secara biologi di alam.
Plastik jenis ini terurai jadi senyawa organik berbeda yang rantai polimernya telah terpecah. Agus mengatakan, plastik biodegradable bisa diatur formulasi pembuatannya agar sifat dan waktu terurainya sesuai keinginan manusia.
Namun, plastik biodegradable masih sangat mahal. Seperti sumber energi dari tanaman yang belum bisa bersaing dengan energi fosil, demikian nasib plastik mudah terurai di alam itu. Harga plastik biodegradable bisa 10 kali lipat dari harga plastik biasa yang terbuat dari minyak bumi.
Untuk bisa bersaing dengan plastik biasa atau degradable, kantong plastik biodegradable itu membutuhkan keberpihakan. Salah satunya, pengenaan cukai bagi plastik jenis lain agar harga bisa bersaing. Jadi, pembatasan penggunaan kantong keresek tetaplah perlu.
Kompas, Sabtu, 20 Februari 2016

1 comment: