Oleh TRIAS KUNCAHYONO
Nelson Rolihlahla Mandela sudah tiada. Ia meninggal dalam usia 95 tahun. Sama seperti Mahatma Gandhi dan Martin Luther King Jr, Mandela adalah tokoh yang akan terus dikenang dalam hati dan kesadaran masyarakat dunia sebagai pemimpin yang menyampaikan kehendak, gagasan, dan ide tidak dengan tentara dan senjata. Namun, ia akan diingat sebagai tokoh yang walau hanya dengan sedikit kekuasaan, telah membantu menciptakan etika baru lewat kekuatan gagasan dan contoh hidupnya.
Nelson Mandela (AFP/Shaun Curry)
Mandela telah menjadi sumber energi yang mengubah kebencian menjadi cinta, permusuhan menjadi persahabatan, balas dendam menjadi pengampunan. Ia membalas pandangan mata yang penuh kesinisan dengan senyuman yang memberikan rasa nyaman yang teduh. Ia membalas tolakan dengan rengkuhan dan rangkulan penuh damai. Ia yang semula terbuang telah menjadi batu sendi kekuatan bangunan Afrika Selatan yang baru.
Sulit dipercaya bahwa 27 tahun (1964-1990) di penjara pemerintahan kulit putih yang rasial tidak membuatnya menjadi manusia pendendam. Penjara mengubahnya menjadi manusia baru, manusia pemaaf. Ia seorang pejuang dalam arti yang sesungguhnya: seorang pejuang bisa berganti perisai, tetapi bukan hatinya. Hatinya adalah pemaaf dan bukan pendendam. Padahal, ibarat kata, ia sudah dihancurkan dengan berbagai siksaan, baik jasmaniah maupun rohaniah, seperti telur yang belum menetas.
Kehadiran Mandela, tahun 1990 sekeluar dari penjara, telah mengubah kebencian dan dendam kesumat yang memerah seperti kirmizi menjadi putih seperti salju; yang semula merah bagaikan kain kesumba menjadi putih seperti bulu domba. Ia telah mendamaikan Afrika Selatan yang bermusuhan. Di mata Mandela, tidak ada manusia Afrika Selatan yang lebih unggul dibandingkan dengan manusia lain, semua sama, semua setara, semua sederajat. Di sana tak ada lagi majikan dan budak, yang ada adalah manusia sebagai pribadi, manusia yang bermartabat.
Pengampunan
Semua itu menjadi energi, kekuatan yang mampu mengubah Afrika Selatan dari negeri yang rasialis menjadi demokrasi sejati. Sejak semula Mandela percaya, bahkan yakin, bahwa setiap manusia tidak membawa kebencian terhadap orang yang berbeda, baik itu berbeda kebangsaan, berbeda suku dan etnis, berbeda agama, berbeda warna kulit, berbeda jender, maupun berbeda ideologi.
Karena itu, menurut Mandela, kalau manusia bisa belajar untuk saling memusuhi, saling membenci, pasti juga bisa belajar untuk saling mencintai, saling mengasihi, dan saling memaafkan. Sikap hidup seperti inilah yang menjadi pegangan dan keyakinan hidupnya.
Dalam bahasa lain ahli filsafat J North menulis, “Ketika kita mengampuni, kita dapat menang atas kebencian kita, tidak dengan mengabaikan hak kita untuk membenci, tetapi kita berusaha melihat orang yang bersalah dengan belas kasihan, kemurahan hati, dan kasih. Sementara itu, kita sadar sang provokator sudah memilih untuk meninggalkan haknya.”
Itulah sebabnya, Mandela bisa dengan senang hati berhadapan dengan presiden terakhir Afrika Selatan ketika masih memberlakukan politik apartheid. FW de Klerk, untuk membicarakan masa depan negerinya. Bahkan dengan segala kerendahan hatinya, Mandela, setelah menjadi presiden (1994) pertama kulit hitam, mengunjungi Betsy Verwoerd, janda arsitek politik apartheid, HF Verwoerd. Mereka minum teh dan makan donat bersama.
Ketika akhirnya Mandela membentuk Komisi Rekonsiliasi dan Kebenaran (1995), untuk menyelesaikan masa kelam Afrika Selatan, ia meyakini bahwa pengampunan tidak mengingkari sudah terjadi kesalahan atau pengalaman yang menyakitkan. Namun, orang yang sudah disakiti memilih berusaha mengerti yang menyakiti. Pengampunan adalah hadiah yang diberikan secara cuma-cuma dan sadar oleh orang yang disakiti sehingga siklus batin yang terluka dapat dipatahkan.
Waktu orang yang disakiti memutuskan mengampuni, ia memutuskan tidak membalas dendam. Ia seperti membebaskan orang yang menyakiti dari utangnya. Bisa saja, ketika itu, Mandela tidak mengampuni mereka yang bertanggung jawab atas politik apartheid yang tidak menghargai kemanusiaan orang-orang kulit hitam di negerinya sendiri.
Namun, hal itu tidak diinginkan. Mandela selalu mengatakan bahwa ia menentang dominasi kulit putih terhadap kulit hitam, juga sebaliknya dominasi kulit hitam terhadap kulit putih. Dengan kata lain, ia tidak mau menggunakan kekuasaan yang saat itu didominasi kulit hitam.
Sang Matahari
Dengan sikap dan ketetapan hati seperti itu, Mandela telah membawa Afrika Selatan keluar dari hari-hari kegelapan apartheid menuju bangsa dan negara multirasial dan demokratik. “Karena dia, kami tumbuh dalam pengharapan,” tutur Karabo Lediga, seorang wartawan di Pretoria bagian utara, seperti dikutip harian The Christian Science Monitor (5/12/2013).
Mandela memang telah menjadi harapan; harapan bukan hanya bagi bangsa dan negaranya, melainkan juga dunia. Harapan itu memberikan kekuatan dan semangat yang tidak pernah padam kepada siapa pun yang berkehendak baik untuk melakukan sesuatu, sekecil apa pun, membaca tanda-tanda zaman dan melibatkan diri dalam usaha membangun tata kehidupan bersama yang semakin adil dan bersaudara – sebagai salah satu wajah kemanusiaan yang baru, langit baru, bumi baru. Dalam bahasa Presiden Afrika Selatan Jacob Zuma, Mandela menjadi besar karena kemanusiaannya.
Ia menjadi besar karena menyerahkan seluruh dirinya tanpa minta balasan, seperti matahari yang dari pagi hingga sore hari dari zaman ke zaman memberikan seluruh kekuatannya untuk manusia dan dunia. Ia telah memberikan energy bagi tumbuh dan berkembangnya tetumbuhan dan segala makhluk di dunia, ia juga memberikan terang. Namun, matahari tidak pernah meminta balasan.
Mandela pun demikian. Ia memberikan seluruh dirinya bagi sesama, bagi kemanusiaan.
Kompas, Sabtu, 7 Desember 2013
No comments:
Post a Comment