Monday 2 December 2013

Suatu Petang di Lembah Bekaa

Oleh TRIAS KUNCAHYONO
Dari jendela kaca sebuah restoran di Chtaura, Lembah Bekaa, Lebanon, gedung gereja itu bisa kami lihat. Gedung bercat putih itu terbuka pintunya. Ada papan nama warna putih bertuliskan nama gereja berdiri di samping kanan pintu gerbang: Notre Dame de’l Annonciation. Terlihat seorang laki-laki ditemani anak perempuan mengecat pagar taman di depan gereja.
Suasana Natal mewarnai Beirut dan seluruh Lebanon. Sebuah pohon natal didirikan di depan Masjid Muhammad al-Amin di kawasan Lapangan Syuhada, Beirut, Lebanon, Senin (17/12)
Di halaman depan gereja berderet lima-enam pohon cemara. Pagar halaman gereja sudah diberi hiasan natal, berbentuk bintang yang dilengkapi lampu. Pohon cemara itu juga dipasangi lampu warna-warni.
Di sebelah kanan gereja, terpaut satu bangunan yang digunakan untuk bank, ada stasiun pengisian bahan bakar untuk umum (SPBU). Di depan SPBU itu didirikan pohon natal setinggi kira-kira 5 meter. Di seberang gereja, terpisah jalan yang menuju ke Suriah, berdiri pula pohon natal setinggi kira-kira 5 meter.
Pohon-pohon itu memberikan tanda bahwa hari Natal segera tiba. Natal juga akan tiba di Chtaura, kota kecil sekitar 44 kilometer sebelah timur Beirut, yang dilintasi jalan raya Damaskus-Beirut. Hari Natal juga akan tiba di kota lain di Lembah Bekaa, seperti Zahle yang penduduknya mayoritas Kristen dengan berbagai denominasi – mayoritas Katolik, lainnya Maronits, Ortodoks Yunani, dan ada juga kaum Syiah – Baalbek yang penduduknya Muslim Syiah, dan Hermel yang penduduknya juga Syiah.
Natal juga akan tiba di seluruh Lebanon. Hiasan natal dalam berbagai rupa, seperti pohon natal dan rumah-rumahan serta patung-patung natal, sudah dipajang di Bandara Internasional Hariri, Beirut.
Toko-toko di kawasan bisnis Beirut, seperti Beirut Shouk, Solidere di kawasan downtown, pusat perdagangan, dan sepanjang Jalan Hamra yang dikenal sebagai kawasan Beirut Lama, dipercantik dengan hiasan natal. “Kawasan ini penduduknya kaum Sunni, tetapi mereka tetap pasang pohon natal di mana-mana. Dan, lihat itu, hiasan lampu yang dipasang melintang di atas jalan juga menggambarkan natal,” kata Munawir, anggota staf Bagian Politik Kedutaan Besar RI di Beirut, ketika kami melintasi Jalan Hamra, awal pekan ini.
Jalur hijau yang jadi pemisah di antara dua jalur jalan di tengah kota Beirut pun dipasangi pohon natal berderet-deret. Bahkan, di depan Masjid Muhammad al-Amin di Lapangan Syuhada, di tengah kota Beirut, berdiri pohon natal setinggi lebih dari 10 meter.
“Penduduk Beirut mayoritas Muslim Sunni, Mas. Tetapi, di sini tak jadi masalah. Hubungan antar-pemeluk agama yang berbeda-beda sangat baik dan harmonis,” lanjut Munawir.
Hal yang sama dikemukakan Ade, anggota staf Bagian Humas KBRI, saat di Chtaura. “Orang di sini tak pernah mempersoalkan perayaan hari Natal. Itu tadi bisa lihat di Chtaura atau sepanjang jalan dari Beirut sampai Masnaa (kota di perbatasan Lebanon dan Suriah) ini, banyak pohon natal, kan,” katanya.
“Bagi umat Kristen Lebanon, hari Natal adalah sebuah kesempatan untuk meperbarui persahabatan dan hari Natal sering kali juga dirayakan oleh keluarga-keluarga Muslim. Keluarga-keluarga Muslim di Lebanon mengungkapkan penghormatan pada hari Natal, dengan menghiasi rumah mereka dengan pohon natal dan semua jalan besar dan kecil pun dihiasi dengan pohon-pohon natal atau semacam goa-goa natal,” ujar Munawir.
Sebuah risalah
Munawir menambahkan, bukan hanya di Beirut hubungan antarpemeluk agama dan sekte tidak menjadi masalah, melainkan di seluruh Lebanon. Ada semangat saling menghormati.
Itu sebabnya, Paus Yohanes Paulus II pernah mengatakan, Lebanon bukan sekadar Negara, ia adalah sebuah risalah, sebuah dokumen tentang hubungan antarumat manusia yang saling menghormati.
“Lebanon bukan sekedar sebuah negara. Lebanon adalah sebuah pesan kebebasan dan sebuah contoh pluralism bagi Timur dan Barat,” kata Paus Yohanes Paulus II tahun 1980-an.
Kata-kata Paus itu terus hidup dan diingat rakyat Lebanon. Apa yang dikatakan Paus itu dipegang oleh para pemimpin politik dan agama, baik Kristen maupun Muslim, di Lebanon. Mereka mengatakan, Lebanon harus seperti itu, menjadi “sebuah pesan perdamaian, menjadi contoh bagi pluralism, bagi Timur dan Barat,” tulis Fady Noun di AsiaNews.
Sejumlah sejarawan mengatakan, Lebanon yang didirikan pada 1943 didasarkan pada pakta nasional yang disepakati oleh komunitas Kristen dan Muslim, dapat dengan mudah hilang dari peta dunia di bawah tekanan eksternal. Lebanon juga bisa terpecah belah karena faktor-faktor internal dan masyarakatnya yang heterogen. Banyak faktor bisa menjelaskan mengapa ledakan dan perpecahan itu tidak terjadi.
Antaragama
Selama ini, memang hubungan antarumat beragama di Lebanon tidak menjadi masalah sejauh tidak masuk ke ranah politik; politik yang pada dasarnya adalah panggung untuk memperebutkan kekuasaan sehingga dalam banyak hal menghalalkan segala cara. Orang yang sesama agamanya pun bisa saling menabrak, saling memotong, saling menjatuhkan, dan berusaha saling mengalahkan, apalagi kalau berbeda agama. Perang saudara di Lebanon (1975-1990) menjadi salah satu contoh.
Sejarah mencatat, tidak jarang kehadiran agama menimbulkan kekerasan yang terungkap dalam sikap doktriner, otoriter, eksklusif, dan kekerasan fisik. Hal itu terjadi lantaran ada perbedaan antara pemahaman dan penghayatan.
Hannah Arendt, filsuf politik, mengingatkan, ”Kita tergoda untuk mengubah dan menyalahgunakan agama menjadi ideology dan menodai usaha yang telah kita perjuangkan melawan totalitarianism dengan suatu fanatisme. Padahal, fanatisme adalah musuh besar kebebasan.” Fanatisme selalu menimbulkan masalah: konflik dan kekerasan.
Akan tetapi, lihatlah di Chtaura di Lembah Bekaa, yang meski menjelang masuk ke kota kecil itu berdiri baliho besar dengan gambar wajah tokoh Hezbollah, Natal juga dirayakan.
Lagu-lagu Natal pun sudah terdengar mengudara dari radio, di petang hari yang dingin… yang semakin sore semakin dingin karena embusan angin dari puncak pegunungan Lebanon yang bersalju.
KOMPAS, Sabtu, 22 Desember 2012

No comments:

Post a Comment