Thursday, 31 March 2016

Politik Bersahaja Natsir

Oleh ASEP SALAHUDIN
Di tengah suasana politik yang semakin kehilangan pijar moralitas, defisit etika, dan kehilangan teladan kesederhanaan, mempercakapkan kiprah politik Muhammad Natsir bukan hanya relevan, melainkan juga sangat penting untuk kita jadikan rujukan keutamaan dalam pengalaman politik harian kita.
0846376natsir780x390.jpg
Kabinet Natsir berdasarkan Dokumen Kepresidenan 1945-1960 Perpustakaan Nasional Indonesia. M Natsir berdiri di baris depan, nomor dua dari kiri.(National Library of Indonesia)
Natsir seakan hadir ditakdirkan untuk menjadi contoh kebaikan politik kebangsaan kita. Bahwa berpolitik yang benar bukan diacukan kepada kecakapan retorika, kecermatan menjual suara, dan seni keterampilan melipatgandakan dusta, melainkan justru adalah keteguhan mengukuhi prinsip, membela demokrasi, memuliakan hak asasi sekaligus kesediaan mengambil sikap hidup sederhana di tengah massa yang diperjuangkannya yang masih berada di garis jelata.
Natsir telah membuktikan itu dalam tindakan nyata. Kesederhanaan pilihan hidupnya sebagai panggilan jiwa. Sebagaimana kesaksian George McTurnan Kahin, ”Pakaiannya sungguh tidak menggambarkan ia seorang menteri dalam sebuah kabinet pemerintahan.” Seorang yang takhta perdana menteri (PM) pada Agustus 1950 pernah berada di tangannya, tetapi masih mengenakan jas lusuh. Seorang yang harus mencicil rumahnya dari sahabatnya ketika harus menanggalkan jabatannya keluar dari rumah dinasnya, berhenti jadi PM.
Seorang sosok yang diakui punya jasa besar merumuskan negara kesatuan (mosi integral), yang hal ini tidak mungkin dilakukan kecuali oleh seorang politikus yang piawai membaca situasi, ketajaman mengendus peluang sekaligus integritas menjulangdan kecintaan yang tidak disangsikan lagi terhadap bangsanya. Mosi integral ini lalu secara resmi dipidatokan Bung Karno dalam sidang parlemen Republik Indonesia sebagai Piagam Pembentukan Negara Kesatuan. Mosi integral sebagai langkah politik strategis untuk menghadapi Belanda yang mengembangkan politik pecah belah.
Sikap inklusif
Natsir sebagai anggota kabinet pernah menjadi Menteri Penerangan pada masa Kabinet Syahrir (3 Januari 1946-27 Juni 1947) dan Kabinet Hatta (29 Januari 1948-19 Desember 1948) dan PM kesayangan Soekarno, tetapi ketika dia berseberangan paham dengan Bung Besar, tanpa sulit mandat PM itu dikembalikannya.Setelah itu tentu saja hubungan Natsir dan Bung Karno kian memburuk dan memuncak pada peristiwa PRRI itu.
Ketika menjadi PM, Natsir yang merepresentasikan politik Islam justru bersikap inklusif. Tokoh-tokoh Kristen diangkat sebagai bagian dari Kabinet Natsir (1950-1951), Haryadi sebagai Menteri Sosial dan Herman Johannes sebagai Menteri Pekerjaan Umum. Ketika menjadi anggota Dewan, sekeras apa pun perdebatan ideologis, silaturahim tetap terjalin.Kepada DN Aidit, misalnya, walaupun berbeda afiliasi ideologi yang diperjuangkannya, persahabatan itu tetap terjaga penuh kehangatan. Demikian juga dengan Kasimo, Leimina, dan AM Tambunan. Tentu saja perkawanan Natsir dengan Bung Karno bukan sesuatu yang baru. Sejak1930, keduanya pernah terlibat polemik panas mempercakapkan kaitan antara Islam dan negara, antara sekularisme dan ”islamisme”.
Bung Besar sangat terkagum- kagum pada sekularisasi Kemal Attaturk di Turki, bahkan dipandangnya bahwa di tangan Attaturk Turki mengalami perkembangan pesat. Artinya, Islam secara formal tak penting dilibatkan dalam kenegaraan, yang diperlukan bukan ”abunya”, melainkan ”apinya”. Adapun Natsir mengembangkan gagasan sebaliknya, seperti lebih utuh ditulisnya dalam Pembela Islam (1932).
Maka, pasca kemerdekaan, pertemuan Bung Karno dan Bung Natsir itu seperti reuni. Kalau pada 1930 pertemuan itu dalam bentuk polemik gagasan, pada 1946 dalam bentuk kerja mengisi kemerdekaan yang baru saja diproklamasikan, dalam merumuskan perahu keindonesiaan hendak ke mana dilayarkan walaupun sekali lagi akhirnya keduanya harus berpisah di persimpangan jalan, seperti juga dialami Syahrir, Tan Malaka, Amir Syarifuddin, Muso, Hatta, Roem, dan Syafruddin,dan sebagainya.
Berpisah bukan karena kesumat, melainkan semata satu sama lain merasa sudah tak bisa lagi mempersatukan prinsip-prinsip dasar politik yang diyakininya.
Selepas Soekarno tumbang, ternyata sikap kritis Natsir bukannya pudar, melainkan malah menemukan sasarannya: Orde Baru di tangan Soeharto yang kian korup dan pandir. Tidak harus berlama-lama mengharap negara mewajahkan rautnya yang santun di tangan Soeharto, Natsir justru tancap gas jadi penggagas utama Petisi 50 (1980), memandang bahwa kekuasaan yang semula diharapkan normal itu kian menjauh dari konstitusi, semakin abnormal, gila, dan despotik.
Soeharto yang diharapkan dapat menghentikan ”demokrasi terpimpin” justru mempraktikkan ”demokrasi Pancasila” yang penafsirannya telah dibajak disesuaikan selera nafsu kuasanya.
Melampaui tubuh
Bagi saya yang menarik dari Natsir bukan tawaran ideologi politik Islamnya yang hari ini kehilangan relevansi, tetapi justru yang menarik dijadikan teladan dari Natsir adalah sikap berpolitiknya. Yang semestinya dijadikan cermin adalah imperatif etiknya. Dari Natsir seharusnya kerumunan politisi sekarang belajar bagaimana hidup bersahaja, memasuki pengalaman kemajemukan, tidak menghalalkan segala cara untuk meraih tujuan. Bagaimana semestinya kesetiakawanan itu dirawat tanpa melihat asal usul etnik, ideologi, dan agamanya.
Natsir seperti menampar wajah buram politik kita bahwa kaitan etika dan politik itu bukan sesuatu yang utopis, melainkan riil, sesuatu yang semestinya menjadi kesadaran bersama kalau kehidupan ingin menemukan adabnya. Bahwa kecintaan pada Indonesia tak sekadar diucapkan lewat pekik retorika, tetapi diwujudkan dalam karya nyata.
Hari ini harus kita akui, Natsir sering kali dihadirkan sebagai simbol politik Islam, bahkan acap kali dibajak hanya sekadar lambang untuk menunjukkan bahwa politik Islam punya jangkar korespondensi silamnya pada sosok pendiri Masyumi ini. Yang sering dilupakan adalah sikap bersahaja dan etik politik yang diajarkan Natsir itu.
Maka, saya tidak heran, gemuruh partai politik Islam dan para aktivisnya sering kali mereka tanpa malu mengangkangi nilai-nilai itu. Coba kita lihat, di tengah massa yang melarat para politikus itu hidup dalam gelimang kemewahan. Tidak hanya mobilnya tak terbilang, bahkan istri juga lebih dari satu.
Kalau dari Natsir masih sempat kita temukan jejak otentisitas warisan pemikirannya seperti dalam Kapita Selekta itu, maka jejak pemikiran apa yang kita dapati dari politisi abad ke-21 kecuali hanya perbincangan tentang merek jam yang dikenakan, mobil senilai miliaran rupiah yang dikendarai, jas mahal yang dipakai dan seluruh aksesori yang dikenakan jasadnya atau sesekali lamat terdengar rencana agung bikin blok oposisi yang ternyata tak kunjung direalisasikan, bahkan kian tampak semua partai hari ini berlomba mendekat ke lingkaran kekuasaan.
Dan atau mungkin, karena tak ada yang mereka banggakan, mereka merasa yang harus dikedepankan adalah ”tubuh”. Karena tidak punya pemikiran dan gagasan politik cemerlang, sekalian saja tidak berpikir. Mungkin.
ASEP SALAHUDIN
Kolumnis; Mengajar di IAILM Suryalaya Tasik dan di Fakultas Seni dan Sastra Unpas, Bandung
Kompas, Jumat, 1 April 2016

Pesisir Terancam Tenggelam

JAKARTA, KOMPAS — Pemodelan terbaru yang memproyeksikan dampak pencairan es di Antartika, kenaikan muka laut global pada 2100 setara 1,14 meter. Tahun 2500, kenaikan bahkan mencapai 13 meter. Meski akurasinya diperdebatkan, kondisi ini mengancam daerah-daerah pesisir di dunia.
Garis pantai timur laut Greenland, satu dari dua pegunungan es besar di Bumi selain Antartika, terlihat dalam foto udara yang dipublikasikan  Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA), Selasa (29/3). Pemanasan global mempercepat pencairan es di Antartika dan menambah tinggi permukaan air laut.
Garis pantai timur laut Greenland, satu dari dua pegunungan es besar di Bumi selain Antartika, terlihat dalam foto udara yang dipublikasikan Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA), Selasa (29/3). Pemanasan global mempercepat pencairan es di Antartika dan menambah tinggi permukaan air laut. (AFP/NASA)
Pemodelan terbaru itu dilansir BBC, Rabu (30/3), yang antara lain menyebutkan faktor pemanasan atmosfer akan menjadi faktor dominan hilangnya es. Penelitian-penelitian sebelumnya tidak banyak mengeksplorasi faktor menghangatnya atmosfer.
”Alasan mengapa model lain tak mencakup pemanasan atmosfer, karena itu belum mulai terjadi,” kata David Pollard, asisten penulis dari Penn State University, Amerika Serikat.
Menurut Pollard, pencairan es di Antartika baru mulai musim panas ini. ”Seiring pemanasan, bagian sisi Antartika akan mulai mencair secara drastis dalam waktu 50-100 tahun,” katanya.
Para pembuat model percaya penelitian mereka akurat karena mampu membuat replika kenaikan tingkat permukaan laut pada periode hangat, dari lini masa jutaan tahun lalu hingga kini.
Kepala Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara pada Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Dodo Gunawan menilai, pemodelan itu rasional. ”Pencairan es Antartika itu sangat logis sebagai konsekuensi pemanasan global,” kata Dodo.
Dampak buruknya adalah meningkatnya level permukaan air laut yang berdampak bagi Indonesia yang merupakan salah satu negara kepulauan. Jutaan warga pesisir di Indonesia pun kini didera genangan abadi air laut.
Saat ini, puluhan juta jiwa menghuni pulau-pulau kecil dan kawasan pesisir Indonesia. Di beberapa kota besar, termasuk Jakarta dan Semarang, kenaikan muka air laut diperparah penurunan muka tanah karena sifat alami ataupun penyedotan air tanah diikuti beban bangunan.
content
Di pesisir utara Semarang, tak sedikit rumah warga yang ditelantarkan karena tergenang air laut. Ada yang bertahan dengan menanggul sekitar rumah hingga menaikkan fondasi rumah.
Persoalan jamak yang terjadi di semua kawasan pesisir adalah ketersediaan air bersih layak minum. Membeli air dalam jeriken setiap hari sudah menjadi keseharian. ”Kita harus menyiapkan diri, seperti memikirkan relokasi di sejumlah kawasan,” kata Dodo. Juga menggalakkan upaya pencegahan dampak buruk perubahan iklim, seperti penanaman mangrove di pantai.
Meski demikian, yang terjadi di sejumlah daerah, kawasan hutan mangrove justru dibabat atas nama perkembangan industri. Di Balikpapan, Kalimantan Timur, kawasan mangrove yang dibudidayakan warga justru akan dibuka untuk industri.
Upaya global
Di tengah ancaman kenaikan muka laut global hingga 1 meter pada 2100, prediksi lain menambah kekhawatiran. Kenaikan muka laut itu akan meningkat dua kali lipat dari perkiraan, terutama jika masyarakat dunia tidak berbuat apa-apa.
Tanpa pembatasan paparan emisi karbon dioksida secara global, yang antara lain disumbang aktivitas industri tidak ramah lingkungan dan kebakaran hutan dan lahan, kenaikan muka laut hingga dua kali lipat dari prediksi awal akan terjadi dalam 100 tahun mendatang.
Sebelum rilis pemodelan terbaru itu, Panel Ahli Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) yang beranggotakan 1.500 peneliti—bekerja di bawah Kerangka Kerja PBB untuk Konferensi Perubahan Iklim (UNFCCC)—mengeluarkan analisis pada 2013 bahwa tanpa upaya berarti mengurangi emisi penyebab pemanasan global, kenaikan muka laut pada 2100 mencapai 98 sentimeter.
Burung Penguin  bermain di atas es yang sebagian mencair di Dumont d' Urville di Antartika dalam dokumentasi foto tanggal 22 Januari 2010.
Burung Penguin bermain di atas es yang sebagian mencair di Dumont d' Urville di Antartika dalam dokumentasi foto tanggal 22 Januari 2010. (Reuters/Pauline Aski)
Menurut Dodo, pada diskusi IPCC sebelum 2015 disebutkan, secara umum negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, akan mengalami kenaikan muka air laut 40-60 sentimeter sampai akhir abad ini. ”Faktanya, kenaikan muka air laut tiap tahun lebih cepat dengan suhu terus menghangat,” katanya.
Pada 2014, Badan Atmosfer dan Kelautan Nasional AS (NOAA) mencatat, suhu tertinggi rata-rata terjadi pada Juni-Agustus sebesar 16,4 derajat celsius. Itu lebih tinggi 0,71 derajat celsius dari rekor 1998, dan suhu tertinggi sejak pencatatan suhu 1880.
Tahun 2015, yang dibarengi fenomena El Nino, NOAA mengumumkan rekor suhu tertinggi, yaitu meningkat 0,16 derajat celsius dibandingkan tahun 2014. Secara keseluruhan, suhu tahun 2015 adalah 0,9 derajat celsius di atas suhu rata-rata abad ke-20.
Kondisi itu menjadi rujukan global, dunia harus bergerak cepat menurunkan laju emisi gas rumah kaca (GRK), unsur kimia di atmosfer yang memerangkap ultraviolet di Bumi yang memicu pemanasan global dan perubahan iklim.
Komitmen Indonesia
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar mengatakan, komitmen penurunan emisi Indonesia tidak akan lebih rendah dari janji yang diserahkan ke Sekretariat UNFCCC. Sumber emisi terbesar Indonesia masih berasal dari kebakaran hutan dan lahan.
Sebagai gambaran, emisi GRK Indonesia tanpa memperhitungkan kebakaran hutan dan lahan ”hanya” 1,45 persen dari emisi GRK global sebesar 37,17 gigaton setara CO2 (GTCO2e). Seiring kebakaran hutan dan lahan, emisi Indonesia mencapai 3 persen dari emisi GRK global.
Pada Konferensi Perubahan Iklim 2015 di Paris, Perancis, lebih dari 130 negara sepakat, kenaikan suhu Bumi harus ditahan tetap di bawah 2 derajat celsius pada tahun 2030 dibandingkan suhu era pra Revolusi Industri pada 1850. Jika di atas suhu itu, sejumlah negara kecil di Pasifik akan tenggelam.
Kabar buruknya, total komitmen penurunan emisi yang disodorkan seluruh negara peserta masih belum mampu menahan kenaikan suhu bumi tetap di bawah 2 derajat celsius. ”Penurunan emisi nasional kita tidak boleh tidak lebih ambisius dari komitmen global,” kata Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK Nur Masripatin. (JOY/RET/ICH)
Kompas, Jumat, 1 April 2016

Wednesday, 30 March 2016

Hobbit Punah 50.000 Tahun Lalu

Tim Peneliti Liang Bua menemukan fakta baru tentang keberadaan manusia kerdil Homo floresiensis atau biasa disebut Hobbit di Liang Bua, Flores, Nusa Tenggara Timur. Temuan ini mengoreksi penelitian sebelumnya yang menyebut kepunahan Hobbit terjadi pada 12.000 tahun lalu. Hasil penelitian selama delapan tahun terakhir justru menunjukkan bahwa Hobbit punah sekitar 50.000 tahun lalu.
flores.jpg
Arkeolog dari Pusat Arkeologi Nasional, E Wahyu Saptomo (kiri) dan Jatmiko (kanan), mengamati replika tengkorak Homo floresiensis atau manusia Liang Bua, Selasa (16/12/2014), di Kantor Pusat Arkeologi Nasional, Jalan Raya Condet, Pejaten, Jakarta. Selain Wahyu dan Jatmiko, dua arkeolog lain, yaitu Rokus Awe Due dan Thomas Sutikna, turut menemukan kerangka manusia kerdil asal Flores, NTT, ini. Akhir tahun lalu, keempat ilmuwan tersebut masuk dalam daftar ilmuwan paling berpengaruh 2014 menurut Thomson Reuters.(Kompas/Aloysius Budi Kurniawan)
Peneliti pada Program Asal-Usul Manusia Smithsonian Institution, Amerika Serikat, Matt Tocheri, mengatakan, pada penelitian Liang Bua 2001-2004, ekskavasi dilakukan pada deposit tanah yang telah tergerus erosi dan tertutup sedimen tanah muda. Akibatnya, hasil penanggalan pada lapisan arang di lapisan tanah itu menunjukkan usia 20.000 tahun lalu.
Namun, saat dilakukan penggalian kembali pada lapisan tanah yang masih lengkap dan belum terkena erosi, peneliti menemukan fakta bahwa seluruh tinggalan kerangka Hobbit berusia 100.000-60.000 tahun. Adapun artefak-artefak batu yang diduga dibuat oleh spesies ini berumur hingga 50.000 tahun lalu.
"Dalam penelitian lanjutan selama delapan tahun terakhir, kami melakukan penanggalan (dating) dengan Uranium -series, Argon-argon, dan Luminescence. Hasil dari ketiganya hampir sama, yaitu usia kerangka Hobbit 100.000 dan 60.000 tahun lalu," kata Matt yang juga paleontropolog Universitas Lake Head Kanada, Rabu (30/3), di Pusat Arkeologi Nasional, Jakarta.
Peneliti utama Liang Bua dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional yang tengah menempuh studi S-3 di Universitas Wollongong, Australia, Thomas Sutikna, menjelaskan, setelah penggalian diperluas, tampak semakin jelas bahwa terdapat tumpukan deposit tanah cukup luas dan tua yang digerus oleh erosi permukaan sehingga membentuk lereng curam ke arah mulut gua. Kondisi ini mengakibatkan lapisan tanah agak miring dan tidak berurutan sesuai masanya.
"Usia sedimen yang menutupi itu semula diperkirakan seusia atau semasa dengan peninggalan-peninggalan Hobbit. Namun, dalam ekskavasi-ekskavasi dan analisis mulai 2007 hingga 2014, terungkap ada lapisan tanah lain yang masih lengkap dan kompleks," ujar Kepala Bidang Konservasi dan Arkeometri di Pusat Penelitian Arkeologi Nasional E Wahyu Saptomo.
Punah bersama fauna
Peneliti memperkirakan, Hobbit punah sekitar 50.000 tahun lalu. Kepunahan manusia kerdil ini bersamaan dengan hilangnya spesies fauna di sekitar Liang Bua yang meliputi burung pemakan bangkai, burung bangau Marabau raksasa, Stegodon pygmy (gajah purba mini), dan komodo.
Menurut Matt, diduga ada jalinan simbiosis mutualisme antara Hobbit dan hewan-hewan tersebut. Karena itu, saat salah satu di antaranya punah, yang lainnya ikut serta menghilang. "Belum ada bukti pasti mengapa mereka hilang dalam waktu bersamaan. Yang jelas, Hobbit, Marabau raksasa, burung pemakan bangkai, dan komodo sama-sama membutuhkan makanan dalam jumlah banyak dan mangsa yang tersedia saat itu adalah gajah mini. Ketika gajah mini punah, makanan mereka habis. Itu perkiraan kami," ucapnya.
Profesor Richard "Bert" Roberts, anggota dewan peneliti Universitas Wollongong, menambahkan, hingga kini belum ditemukan jawaban apakah para Hobbit sempat bertemu dengan kelompok-kelompok manusia modern yang menyebar melintasi Asia Tenggara lewat Flores dan mencapai Australia sekitar 50.000 tahun lalu. Menurut dia, hal ini merupakan pertanyaan yang terbuka dan menarik untuk diteliti lebih lanjut.
Menyikapi penemuan terbaru Situs Liang Bua, Kepala Pusat Penelitian Arkeologi Nasional I Made Geria yakin masih banyak misteri-misteri lain Liang Bua yang belum terpecahkan. "Penemuan ini kian menantang kita untuk terus menggali lebih dalam tentang keberadaan manusia kerdil di Liang Bua," paparnya.
Situs Liang Bua  di Desa Liang Bua, Kecamatan Rahong Utara, Manggarai, Nusa Tenggara Timur, Sabtu (17/1/2015). Tempat ini merupakan lokasi ditemukannya Homo floresiensis pada  2003.
ISitus Liang Bua di Desa Liang Bua, Kecamatan Rahong Utara, Manggarai, Nusa Tenggara Timur, Sabtu (17/1/2015). Tempat ini merupakan lokasi ditemukannya Homo floresiensis pada 2003. (Kompas/Raditya Helabumi)
1242557-fosil-homo-floresiensis-temuan-tim-arkenas-620X310.jpeg
Fosil Homo floresiensis (Kompas.com)
foto-peneliti-mulai-periksa-gigi-manusia-hobbit-dari-flores.jpg
Perbandingan tengkorak orang kerdil dari Flores (Homo floresiensis) (kiri) dengan Homo sapiens. Dalam hal ukuran, tengkorak Homo floresiensis sebesar tengkorak anak usia tiga tahun pada manusia modern.. (Nature/National Geographic News/Peter Brown)
7f17f416825e4a0681d4ecda157eec88.jpg
Salah satu warga berpostur pendek dari Kampung Rampasasa, Ruteng, Kabupaten Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur, Jumat (22/10/2010), melihat kondisi situs Liang Bua yang menjadi lokasi penemuan fosil manusia purba. Sebagian warga Kampung Rampasasa memiliki tubuh kerdil dengan tinggi sekitar 130-145 sentimeter sehingga sering dikaitkan dengan penemuan fosil manusia purba yang juga berukuran kerdil. (Kompas/Iwan Setiyawan)
(ABK)

Kompas, Kamis, 31 Maret 2016

Sunday, 27 March 2016

Tuberkulosis Jadi Ancaman di Kota Besar

SURABAYA, KOMPAS – Sejumlah kota besar di Jawa Timur rentan terhadap penyebaran tuberkulosis. Permukiman padat di kota besar, terutama dengan sanitasi buruk, menyebabkan kuman penyakit tersebut lebih mudah menyebar dan menular ke banyak orang.
Data Dinas Kesehatan Jawa Timur menunjukkan, 40.185 pasien tuberkulosis (TB) diobati selama tahun 2015 dan merupakan terbanyak kedua setelah Jawa Barat. Dari jumlah itu, pasien terbanyak antara lain berada di Surabaya (4.754 orang), Jember (3.128 orang), dan Sidoarjo (2.292 orang).
Kepala Dinas Kesehatan Jatim Harsono, Jumat (25/3), di Surabaya, menjelaskan, penularan TB terutama melalui percikan dahak. Potensi penularan di permukiman padat di kota besar sangat tinggi karena satu rumah bisa dihuni hingga 4 keluarga. “Di desa malah jarang muncul kasus TB,” ujarnya.
Tuberkulosis disebabkan bakteri Mycobacterium tuberculosis. Kuman TB yang ada di dalam rumah bisa bertahan lama jika ruangan di rumah itu tertutup dan jarang terkena sinar matahari. Karena itu, pencegahan nonmedis yang dilakukan Pemerintah Provinsi Jatim untuk mencegah TB adalah menerapkan program bedah rumah.
Hariyanto dari Humas Dinas Kesehatan Kota Surabaya menuturkan, pasien TB kini tak lagi berasal dari kalangan masyarakat kurang mampu. Penularan penyakit itu juga terjadi pada golongan masyarakat menengah ke atas. Itu karena kondisi rumah selalu tertutup dan lebih banyak memakai penyejuk ruangan.
Jika ada kuman TB atau penderita TB masuk ke rumah itu, penyakit tersebut akan mudah menular. Risiko itu juga terjadi pada warga yang tinggal di apartemen. “Warga perlu rutin membuka jendela rumah agar sinar matahari masuk,” ujarnya.
Di Surabaya, faktor lain penyebab angka kasus TB tinggi adalah banyaknya orang dari luar daerah masuk ke Surabaya. Itu menyebabkan penyebaran TB di wilayah itu sulit terpantau. Kondisi serupa terjadi di kota-kota besar lain di provinsi tersebut.
Deteksi dini
Selain itu, menurut Harsono, angka kasus TB di Jatim tinggi karena pemantauan atau surveilans penyakit itu dilakukan secara intensif. Petugas kesehatan aktif mencari pasien TB agar bisa segera diobati. Jika pencarian atau deteksi dini itu gagal, sumber penyakit tetap bertahan dan penyebaran penyakit semakin tidak terkendali.
Deteksi dini juga bertujuan agar pasien TB bisa diobati dengan benar. Jika terapi tak berjalan baik atau penderita berhenti berobat, kuman bisa kebal terhadap obat atau obat tak manjur lagi (MDR-TB).
Sejauh ini, kasus MDR-RB banyak terjadi di Surabaya (354 kasus), Kabupaten Gresik (69 kasus), Kabupaten Jember (60 kasus), dan Kabupaten Sidoarjo (60 kasus). Mereka harus dirawat lebih intensif di rumah sakit dengan pengawasan penuh.
Dalam peringatan Hari TB Sedunia pada 24 Maret, Harsono mengatakan, pihaknya mendorong masyarakat agar segera berobat ke puskesmas terdekat jika menderita batuk tak sembuh selama beberapa minggu. “Biaya pengobatan TB ditanggung pemerintah, jadi warga tak perlu khawatir,” katanya.
Menurut pengajar di Departemen Biostatistik dan Kependudukan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Martya Rahmaniati, karakter masalah TB antardaerah beragam sehingga penanggulangan tak bisa disamakan. Jadi, perlu analisis kewilayahan untuk menentukan kebijakan penanggulangan (Kompas, 16/1).
Kementerian Kesehatan mencatat, prevalensi TB di Indonesia tahun 2014 mencapai 647 orang per 100.000 penduduk. Adapun angka kejadian 399 kasus baru per 100.000 penduduk. (DEN)
Kompas, Sabtu, 26 Maret 2016

Monday, 21 March 2016

Nanik Juliati Suryaatmadja

Komitmen Total Ratu Renang Asia Tenggara
Jika berbicara soal dunia renang Indonesia, maka sudah sepatutnya sejarah mencatat nama Nanik Juliati Suryaatmadja. Di dalam kolam, wanita yang kesehariannya terlihat lemah lembut ini, ternyata bisa begitu ‘galak’ dengan mengalahkan seluruh lawan-lawannya di lintasan. Saat melakukan start, Nanik langsung melesat kencang untuk menyentuh garis finish dan memberikan kemenangan untuk Jawa Timur dan Indonesia. Bakat Nanik mulai terpantau dan terasah saat gelar Pekan Olahraga Nasional (PON) VII Jawa Timur pada tahun 1969. Sebagai debutan, awalnya Nanik tidak diunggulkan, namun hal itu dijawabnya dengan berhasil menggondol medali perak nomor gaya dada. Prestasi Nanik sebagai perenang hebat ditahbiskan saat dirinya mengkuti PON IX di Jakarta, 1977. Saat itu Nanik berhasil menyabet 11 emas dan satu perak. Keberhasilannya dilengkapi dengan keberhasilannya memecahkan 10 rekor nasional dan 12 rekor PON.
nanik 02.jpg
Prestasi yang mencengangkan untuk ukuran perenang muda itu, membuat Pengurus Besar Persatuan Renang Seluruh Indonesia (PB PRSI) harus meliriknya untuk direkrut menjadi perenang andalan Indonesia nantinya. Untuk lebih memantapkan skill dan kekuatan, Nanik bersama 12 perenang nasional akhirnya dikirim ke Nashville, Amerika Serikat (AS), untuk mengikuti latihan secara spartan. Hasil latihan selama enam bulan di Negeri Paman Sam itu, hanya tiga perenang yang menunjukkan bakat cemerlang dan menonjol, yaitu Kristiono Sumono, Gerald P Item dan Nanik. Ia menjadi satu-satunya atlet perempuan yang menunjukkan kemajuan signfikan selama proses pembelajaran itu.
Selama di AS, Nanik selalu tekun berlatih. Kesempatan berlatih di negara AS ini tak mungkin datang dua kali. Karenanya, ia tak pernah melewatkan untuk mengikuti program-program latihan karena dirinya mendapat banyak pengalaman selama berada di sana.
Tetapi ketika tiba saatnya kembali ke tanah air, ada sejumlah perenang yang tidak pulang ke Indonesia. Mereka berdalih ingin lebih lama berguru di Nashville, namun ternyata itu hanya alasan karena mereka sama sekali tidak pernah lagi balik ke Indonesia. Hal ini membuat Nanik sedikit kecewa.
Seolah ingin menghibur PB PRSI yang dikecewakan rekan-rekannya, Nanik langsung tancap gas saat berlaga di SEA Games Malaysia, tahun 1977. Nanik membuktikan latihan di Amerika Serikat sangat berguna bagi diri dan negaranya. Ia berhasil memecahkan 6 Rekor SEA Games dan 3 rekor nasional. Raihan ini cukup spektakuler. Prestasi inilah yang membuat dirinya mendapat julukan Ratu Renang Asia Tenggara.
Prestasi Nanik ini tak pelak menimbulkan decak kagum dari seluruh pengamat dan kalangan yang aktif di dunia renang. Salah satunya adalah pelatih terkenal asal Singapura, Neo Chwee Kok. Pelatih asal negeri Singa itu menyebut Nanik sebagai benar-benar wanita istimewa . “Sulit dicari perenang yang bisa naik terus prestasinya seperti dia,” itu sekelumit pernyataan mantan bintang renang Asia 1960-an itu.
Kekaguman Neo ini wajar, karena Nanik memang sukses membuktikan kemampuannya di lintasan renang, sebagai jagoan yang sulit ditaklukkan oleh lawan-lawannya. Ia membuktikan kecepatan yang dipadukan dengan kelenturan tangannya mengayuh di dalam kolam. Nanik telah menjadi master renang yang sangat disegani di Asia Tenggara.
Meski mendapat pujian setinggi langit, hal itu tidak membuatnya lupa menapak di bumi. Pujian itu justru dijawabnya dengan terus berlatih penuh disiplin. Inilah yang menjadi kunci kesuksesan Nanik. Ia biasanya bangun pada pukul empat subuh, berenang 3 sampai 5 ribu meter pagi hari. Kemudian berenang lagi 5 sampai 7 ribu meter sore harinya. Porsi itu masih ditambah dengan latihan dengan mesin nautilus tiga kali seminggu.
Temukan Cinta Di Lintasan
Nama aslinya Nanik Juliati Soewadji, lahir di Surabaya, 10 Juli 1956. Dia anak ketiga dari pasangan Mukti Soewadji dan Nurjani. Nonik, sapaan akrabnya, menghabiskan masa kecilnya di Surabaya, tepatnya di Jalan Kalisari II/2 Surabaya.
Sejak kecil, Nonik boleh dibilang cewek yang kuper. Ia tak suka pesta. Nanik kecil mulai tertarik renang sejak di sekolah dasar (SD) Tionghoa (Tse Hua) di Jalan Kapasari, Surabaya. Saat di SD itu, Nanik memilih ekstakurikuler renang. Nanik sendiri dari keluarga renang. Ayahnya, Soewadji juga perenang, namun tidak berprestasi. Cuma pamannya, John Djie, yang sekarang menetap di AS, pernah menjadi juara nasional.
Umur 11 tahun, Nanik bergabung dengan klub Ching Liong (Naga Muda), 1960-an. Klub ini sangat dikenal di Surabaya. Klub ini kemudian berganti nama menjadi Hiu Surabaya. Di klub ini, Nanik mendapat teori dan ilmu berenang, terutama dari sang pelatih, Iskandar Suryaatmadja yang kemudian menjadi suami Nanik.
Iskandar adalah pelatih terkenal dan sangat disegani saat itu. Sejak kecil sudah gila renang. Meski bukan perenang berprestasi, tapi Iskandar kaya pengetahuan renang. Iskandar tergolong kutu buku. Berbagai buku referensi tentang renang dilahapnya.
Iskandar—yang sempat belajar auto mechanic di Universitas Hawaii, AS, 1972 sangat menguasai teknik-teknik renang modern. Sewaktu di AS, ia juga melahap sejumlah buku teknik berenang. Usai menyelesaikan studi dari Universitas Hawaii, 1973, Iskandar sempat menemui George Hains, pelatih renang AS terkenal yang melahirkan perenang juara olimpiade, Mark Spitz. Iskandar juga menemui Dr James Counselmen, pengarang buku Science of Swimming.
Cakrawala pemikiran Iskandar makin berkembang. Tak salah bila selain di kalangan atlet, Iskandar juga sagat dikenal oleh para akademisi yang berkecimpung di dunia olahraga. Buku-buku Iskandar itu sempat jadi rebutan untuk dipinjam oleh dosen-dosen Universitas Airlangga Surabaya.
Di klub asuhannya, Iskandar dikenal galak. Jika tahu ada atlet yang datang terlambat, tanpa pandang bulu, si atlet harus melaksanakan sanksi lompat katak atau push up. Tetapi, di luar kolam, ia tampil sebagai teman akrab anak-anak asuhannya.
Iskandar sangat menentang perenang yang terlalu cepatnya diorbitkan. Itu dianggap salah kaprah. Menurut dia, perenang harusnya matang dulu dalam latihan dasar. Pun saat melatih Nanik, yang dititipkan orang tuanya pada pada usia 11 tahun. Iskandar benar-benar menerapkan disiplin tinggi. Namun hasilnya sesuai dengan latihan. Iskandar akhirnya berhasil mengorbitkan Nanik sebagai perenang berprestasi pada usia 13 tahun.
Iskandar Suryaatmadja lahir di Jember 4 Agustus 1938. Reputasinya menjadi pelatih renang PON 1969, 1977, 1981, 1985, 1989. Ia menjadi pelatih SEA Games 1977, 1979, 1981. Bahkan menjadi pelatih Asian Games 1978, Asian Ages Group/ SEA Ages Group 1970 dan 1989.
Hubungan Nanik dan Iskandar makin akrab. Meski usianya terpaut jauh, 18 tahun, Iskandar dan Nanik makin intens berkomunikasi. Keduanya pun makin akrab. Akhirnya keakraban itu berbuah cinta yang makin bersemi. Kedua insan ini memutuskan melanjutkan dalam ikatan perkawinan.
Sebenarnya Nanik dan Iskandar berkeinginan menikah sejak 1970. Namun, keinginan itu dicegah oleh Jenderal Suprayogi, Ketua PB PRSI saat itu, yang meminta Nanik untuk tidak menikah dulu karena Indonesia masih membutuhkan di lintasan renang. Baik Nanik maupun Iskandar tak egois. Mereka berbesar hati mementingkan sumbangan tenaganya buat negara. Dan Nanik bisa membuktikan sebagai yang terbaik. Nanik berhasil memecahkan 6 rekor SEA Games, 3 rekor nasional di SEA Games IX, 1977. Di Asian Games VIII, 1978, Nanik berhasil memecahkan 6 rekor nasional, dan di SEA Games X, 1979, ia berhasil memecahkan 6 rekor SEA Games dan 7 rekor nasional. Pada 1980, Iskandar menikah di catatan sipil dengan Nanik Juliati Soewadji.
Keinginan lama itu akhirnya terkabul. Ketua PB PRSI Jenderal Suprayogi tak bisa lagi mencegahnya. Cuma kali ini kali, jenderal itu meminta Nanik untuk tidak memiliki anak dulu karena sekali lagi, Indonesia masih membutuhkan kayuhan tangannya untuk bisa meraih medali dan mengumandangkan Indonesia Raya di lintasan renang.
Nanik masih bisa membuktikan sebagai yang terbaik pada SEA Games XI pada tahun 1981. Ia berhasil memetik lima emas di SEA Games itu. Sementara di PON X, 1981 Nanik masih merebut delapan emas, dua perak, dan satu perunggu dari 12 nomor pertandingan yang diikutinya.
Pada SEA Games XII 1983, prestasi Indonesia mulai anjlok. Diakui Nanik, karena kualitas perenang mulai merata, bukan karena dirinya telah absen di lintasan renang.
Meski memutuskan untuk pensiun sebagai perenang nasional, namun tak lantas membuat Nanik meninggalkan kolam yang membesarkan namanya itu. Nanik dan Iskandar berkonsentrasi penuh menangani klub Hiu Surabaya. Sejumlah atlet yang sempat menorehkan prestasi adalah hasil didikan mereka, di antaranya Rita Mariani dan Dyah Ayu Rahmani yang pernah tercatat sebagai perenang papan atas di Asia Tenggara.
Bahkan, kemampuan pasangan ini pun diturunkan pada dua buah hatinya yang juga menjadi atlet renang. Dua anak Nanik, Omar Suryaatmadja dan Nancy Suryaatmadja, tercatat sebagai atlet renang PON Jatim.
Nanik seolah tak pernah lepas dari prestasi fenomenal. Pada bulan April 1995, Nanik kembali cetak sejarah. Diusianya yang ke-29, ia berhasil menyebrangi Selat Madura. Ia peserta putri pertama yang mencapai garis finish, dan menyelesaikan jarak 3,8 km dalam waktu 53 menit 50 detik.
Perjuangan Nanik menyeberangi Selat Madura itu cukup berat. Paha kanan Nanik sempat tersengat ubur-ubur, binatang laut beracun. Prestasi ini cukup mencengangkan karena raihan itu pasca dirinya memiliki dua buah hati, hal ini cukup jarang bisa diikuti oleh perenang yang telah resmi pensiun sebagai atlet. Ini membuktikan jika Nanik masih tetap menjaga kebugaran dirinya meski telah menjadi pelatih.
Awan Kelabu
Langit tidak selamanya cerah dan awan kelabu pun bergelayut di kehidupan Ratu Renang ini, di tengah perjuangan dirinya untuk mencetak atlet renang masa depan Indonesia. Nanik harus menerima cobaan yang cukup berat, Iskandar, pelatih pertama sekaligus suaminya berpulang, Minggu tanggal 20 April 2003. Almarhum meninggal di Rumah Sakit Angkatan Laut (RSAL) Surabaya, pukul 03.00 WIB, dalam usia 65 tahun, akibat serangan jantung. Jenazah almarhum dikremasi setelah selama dua hari disemayamkan di Adiyasa.
Nanik kehilangan mentor pertamanya yang menanamkan arti renang bagi dirinya, sekaligus kehilangan sosok yang selama ini mengayomi dan membimbingnya. Tapi, bukan hanya Nanik yang kehilangan, dunia renang nasional pun kehilangan sosok Iskandar Suryaatmadja yang dikenal penuh dedikasi terhadap dunia renang Indonesia. Indonesia sangat kehilangan tokoh terbaiknya.
Sepeninggal Iskandar, praktis Nanik harus memegang kemudi melatih anak-anak klub Hiu Surabaya. Ia juga punya tugas berat membawa anak-anak Hiu berprestasi.
Impian dan Obsesi
Sebelum Iskandar berpulang, sebenarnya ia dan Nanik punya keinginan untuk membangun pusat pelatihan renang sendiri. Pusat pelatihan itu direncanakan akan dibangun tepat di belakang kediamannya Jalan Prapen Indah VI/D7 Rungkut, Surabaya. Mereka telah memiliki sebidang tanah seluas 2.000 meter persegi. Namun keinginan itu tak sempat terwujud. Tahun 1997-1998, Indonesia diterpa krisis ekonomi, akhirnya tanah tersebut terpaksa dijual.
Saat ini, Nanik mengabdikan sisa umurnya untuk membina anak-anak di klub Hiu, Surabaya melanjutkan semangat mendiang suaminya. Nanik selalu hadir di kolam renang KONI Surabaya memantau perkembangan murid-muridnya. Nanik terjun langsung membina anak-anak. Ia ingin prestasi yang pernah ditorehkannya menyabet 6 medali emas SEA Games, atau 11 emas dalam PON, juga bisa direngkuh anak-anak didiknya sekarang. Bahkan kalau bisa melebihi dirinya.
Selama melatih, Nanik tak henti-hentinya memberikan arahan, baik yang bersifat teknis maupun mental. Anak-anak didiknya pun terlihat serius menyimak. Renang, bagi Nanik, seperti belahan jiwa. Aliran darah yang mengalir di tubuhnya tak mungkin bisa dipisahkan dari renang. Tak salah bila wanita yang tak suka bersolek ini, sampai kini masih terus memantau perkembangan renang. Baik di level nasional maupun internasional.
Sebagai pelatih, Nanik selalu meminta anak-anak didiknya tampil bagus. Namun dia tak mau mereka terbebani target. Kata dia, beban target akan melumpuhkan anak sebelum bertanding. Anak-anak harus diberi kebebasan mengeluarkan segala potensinya, berekspresi. “Yang penting berusaha. Saya tak pernah mendesak anak-anam harus memang. Kata ‘harus’ itu berat. Itu akan jadi beban. Sayang rasanya, capek-capek melatih, pas kejuaraan mereka terbebani hingga tak bisa tampil maksimal,” kata Nanik.
Karena itu pada setiap turnamen, Nanik selalu enggan memprediksi apakah anak asuhnya mampu merebut gelar, kendati di beberapa kali kejuaraan, Hiu Surabaya acapkali mengumpulkan poin tertinggi. Bahkan sejumlah atletnya ada yang ikut SEA Games, meski belum menorehkan prestasi tinggi.
Nanik berpandangan, dorongan berprestasi itu perlu, dan hal itudiwujudkan dengan berlatih serius dan disiplin tinggi. Renang seperti olah raga yang lain. Skill mungkin bisa lahir dari bakat, tapi di renang juga butuh naluri. Nah, naluri inilah bisa dipertajam kalau diasah, dilatih. “Itu seperti lingkaran. Selain mengandalkan kemampuan otot, juga otak,” terang dia.
Di samping giat melatih di Hiu Surabaya, Nanik juga mendirikan Isna Physical Center (IPC), bersama suaminya, Iskandar Suryaatmadja (mendiang). “Isna” itu tak lain singkatan nama pasangan pencinta air ini, Iskandar dan Nanik.
Dari dua buah hati Nanik, yaitu Omar dan Nancy, yang berhasil menjadi atlet renang dengan prestasi yang menonjol adalah Nancy Suryaatmadja. Dara yang lahir di Surabaya, 5 Februari 1984 ini, pada Pekan Olahraga Nasional XVII 2008 di Kalimantan Timur, berhasil memperoleh 7 medali emas. Selain itu, Nancy berhasil memecahkan rekor nasional nomor 100 meter gaya bebas dengan waktu 58,71 detik, mematahkan rekornas yang telah diukir Catherine Surya pada 1996 dengan waktu 58,84 detik. Ia juga berhasil memecah rekornas nomor 50 meter gaya bebas dengan waktu 27,03 detik, mematahkan rekornas yang baru dicatatkan oleh Enny Susilawati pada ajang tersebut.
Berkat didikan orangtuanya, bakat Omar dan Nancy semakin terasah. Nancy dan Omar sering menjadi langganan juara pada setiap pertandingan kelompok umur yang diikuti. Atas prestasinya, pada usia 15 tahun Nancy sudah dipercaya untuk mewakili Indonesia dalam ajang SEA Games XX 1999 di Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam. Kepercayaan itu berlanjut untuk SEA Games XXII 2003 di Vietnam dan SEA Games XXIII 2005 di Filipina.
Sepasang ikan juga akan melahirkan ikan. Inilah cacatan tentang Nanik Juliati Suryaatmadja yang menjadi lembar sejarah olahraga Indonesia.
NANIK JULIATI SURYAATMADJA
nanik 01.jpg
Lahir di Surabaya, 10 Juli 1956
Prestasi:
  • 11 emas dan satu perak PON (1977) dengan memecahkan 10 rekor nasional dan 12 rekor PON. †
  • 5 Medali emas SEA Games (1977) dengan memecahkan 6 Rekor SEA Games dan 3 rekor nasional.
  • Delapan emas, dua perak, dan satu perunggu pada PON X/1981 Lima emas SEA Gmaes (1981) „
Dikutip dari:
Anis M, Lilianto (2012) Sejarah 15 Olahragawan Terpopuler di Indonesia (1967-1987). Jakarta: Museum Olahraga Nasional, Deputi Bidang Pembudayaan Olahraga, Kementrian Pemuda dan Olahraga