Komitmen Total Ratu Renang Asia Tenggara
Jika berbicara soal dunia renang Indonesia, maka sudah sepatutnya sejarah mencatat nama Nanik Juliati Suryaatmadja. Di dalam kolam, wanita yang kesehariannya terlihat lemah lembut ini, ternyata bisa begitu ‘galak’ dengan mengalahkan seluruh lawan-lawannya di lintasan. Saat melakukan start, Nanik langsung melesat kencang untuk menyentuh garis finish dan memberikan kemenangan untuk Jawa Timur dan Indonesia. Bakat Nanik mulai terpantau dan terasah saat gelar Pekan Olahraga Nasional (PON) VII Jawa Timur pada tahun 1969. Sebagai debutan, awalnya Nanik tidak diunggulkan, namun hal itu dijawabnya dengan berhasil menggondol medali perak nomor gaya dada. Prestasi Nanik sebagai perenang hebat ditahbiskan saat dirinya mengkuti PON IX di Jakarta, 1977. Saat itu Nanik berhasil menyabet 11 emas dan satu perak. Keberhasilannya dilengkapi dengan keberhasilannya memecahkan 10 rekor nasional dan 12 rekor PON.
Prestasi yang mencengangkan untuk ukuran perenang muda itu, membuat Pengurus Besar Persatuan Renang Seluruh Indonesia (PB PRSI) harus meliriknya untuk direkrut menjadi perenang andalan Indonesia nantinya. Untuk lebih memantapkan skill dan kekuatan, Nanik bersama 12 perenang nasional akhirnya dikirim ke Nashville, Amerika Serikat (AS), untuk mengikuti latihan secara spartan. Hasil latihan selama enam bulan di Negeri Paman Sam itu, hanya tiga perenang yang menunjukkan bakat cemerlang dan menonjol, yaitu Kristiono Sumono, Gerald P Item dan Nanik. Ia menjadi satu-satunya atlet perempuan yang menunjukkan kemajuan signfikan selama proses pembelajaran itu.
Selama di AS, Nanik selalu tekun berlatih. Kesempatan berlatih di negara AS ini tak mungkin datang dua kali. Karenanya, ia tak pernah melewatkan untuk mengikuti program-program latihan karena dirinya mendapat banyak pengalaman selama berada di sana.
Tetapi ketika tiba saatnya kembali ke tanah air, ada sejumlah perenang yang tidak pulang ke Indonesia. Mereka berdalih ingin lebih lama berguru di Nashville, namun ternyata itu hanya alasan karena mereka sama sekali tidak pernah lagi balik ke Indonesia. Hal ini membuat Nanik sedikit kecewa.
Seolah ingin menghibur PB PRSI yang dikecewakan rekan-rekannya, Nanik langsung tancap gas saat berlaga di SEA Games Malaysia, tahun 1977. Nanik membuktikan latihan di Amerika Serikat sangat berguna bagi diri dan negaranya. Ia berhasil memecahkan 6 Rekor SEA Games dan 3 rekor nasional. Raihan ini cukup spektakuler. Prestasi inilah yang membuat dirinya mendapat julukan Ratu Renang Asia Tenggara.
Prestasi Nanik ini tak pelak menimbulkan decak kagum dari seluruh pengamat dan kalangan yang aktif di dunia renang. Salah satunya adalah pelatih terkenal asal Singapura, Neo Chwee Kok. Pelatih asal negeri Singa itu menyebut Nanik sebagai benar-benar wanita istimewa . “Sulit dicari perenang yang bisa naik terus prestasinya seperti dia,” itu sekelumit pernyataan mantan bintang renang Asia 1960-an itu.
Kekaguman Neo ini wajar, karena Nanik memang sukses membuktikan kemampuannya di lintasan renang, sebagai jagoan yang sulit ditaklukkan oleh lawan-lawannya. Ia membuktikan kecepatan yang dipadukan dengan kelenturan tangannya mengayuh di dalam kolam. Nanik telah menjadi master renang yang sangat disegani di Asia Tenggara.
Meski mendapat pujian setinggi langit, hal itu tidak membuatnya lupa menapak di bumi. Pujian itu justru dijawabnya dengan terus berlatih penuh disiplin. Inilah yang menjadi kunci kesuksesan Nanik. Ia biasanya bangun pada pukul empat subuh, berenang 3 sampai 5 ribu meter pagi hari. Kemudian berenang lagi 5 sampai 7 ribu meter sore harinya. Porsi itu masih ditambah dengan latihan dengan mesin nautilus tiga kali seminggu.
Temukan Cinta Di Lintasan
Nama aslinya Nanik Juliati Soewadji, lahir di Surabaya, 10 Juli 1956. Dia anak ketiga dari pasangan Mukti Soewadji dan Nurjani. Nonik, sapaan akrabnya, menghabiskan masa kecilnya di Surabaya, tepatnya di Jalan Kalisari II/2 Surabaya.
Sejak kecil, Nonik boleh dibilang cewek yang kuper. Ia tak suka pesta. Nanik kecil mulai tertarik renang sejak di sekolah dasar (SD) Tionghoa (Tse Hua) di Jalan Kapasari, Surabaya. Saat di SD itu, Nanik memilih ekstakurikuler renang. Nanik sendiri dari keluarga renang. Ayahnya, Soewadji juga perenang, namun tidak berprestasi. Cuma pamannya, John Djie, yang sekarang menetap di AS, pernah menjadi juara nasional.
Umur 11 tahun, Nanik bergabung dengan klub Ching Liong (Naga Muda), 1960-an. Klub ini sangat dikenal di Surabaya. Klub ini kemudian berganti nama menjadi Hiu Surabaya. Di klub ini, Nanik mendapat teori dan ilmu berenang, terutama dari sang pelatih, Iskandar Suryaatmadja yang kemudian menjadi suami Nanik.
Iskandar adalah pelatih terkenal dan sangat disegani saat itu. Sejak kecil sudah gila renang. Meski bukan perenang berprestasi, tapi Iskandar kaya pengetahuan renang. Iskandar tergolong kutu buku. Berbagai buku referensi tentang renang dilahapnya.
Iskandar—yang sempat belajar auto mechanic di Universitas Hawaii, AS, 1972 sangat menguasai teknik-teknik renang modern. Sewaktu di AS, ia juga melahap sejumlah buku teknik berenang. Usai menyelesaikan studi dari Universitas Hawaii, 1973, Iskandar sempat menemui George Hains, pelatih renang AS terkenal yang melahirkan perenang juara olimpiade, Mark Spitz. Iskandar juga menemui Dr James Counselmen, pengarang buku Science of Swimming.
Cakrawala pemikiran Iskandar makin berkembang. Tak salah bila selain di kalangan atlet, Iskandar juga sagat dikenal oleh para akademisi yang berkecimpung di dunia olahraga. Buku-buku Iskandar itu sempat jadi rebutan untuk dipinjam oleh dosen-dosen Universitas Airlangga Surabaya.
Di klub asuhannya, Iskandar dikenal galak. Jika tahu ada atlet yang datang terlambat, tanpa pandang bulu, si atlet harus melaksanakan sanksi lompat katak atau push up. Tetapi, di luar kolam, ia tampil sebagai teman akrab anak-anak asuhannya.
Iskandar sangat menentang perenang yang terlalu cepatnya diorbitkan. Itu dianggap salah kaprah. Menurut dia, perenang harusnya matang dulu dalam latihan dasar. Pun saat melatih Nanik, yang dititipkan orang tuanya pada pada usia 11 tahun. Iskandar benar-benar menerapkan disiplin tinggi. Namun hasilnya sesuai dengan latihan. Iskandar akhirnya berhasil mengorbitkan Nanik sebagai perenang berprestasi pada usia 13 tahun.
Iskandar Suryaatmadja lahir di Jember 4 Agustus 1938. Reputasinya menjadi pelatih renang PON 1969, 1977, 1981, 1985, 1989. Ia menjadi pelatih SEA Games 1977, 1979, 1981. Bahkan menjadi pelatih Asian Games 1978, Asian Ages Group/ SEA Ages Group 1970 dan 1989.
Hubungan Nanik dan Iskandar makin akrab. Meski usianya terpaut jauh, 18 tahun, Iskandar dan Nanik makin intens berkomunikasi. Keduanya pun makin akrab. Akhirnya keakraban itu berbuah cinta yang makin bersemi. Kedua insan ini memutuskan melanjutkan dalam ikatan perkawinan.
Sebenarnya Nanik dan Iskandar berkeinginan menikah sejak 1970. Namun, keinginan itu dicegah oleh Jenderal Suprayogi, Ketua PB PRSI saat itu, yang meminta Nanik untuk tidak menikah dulu karena Indonesia masih membutuhkan di lintasan renang. Baik Nanik maupun Iskandar tak egois. Mereka berbesar hati mementingkan sumbangan tenaganya buat negara. Dan Nanik bisa membuktikan sebagai yang terbaik. Nanik berhasil memecahkan 6 rekor SEA Games, 3 rekor nasional di SEA Games IX, 1977. Di Asian Games VIII, 1978, Nanik berhasil memecahkan 6 rekor nasional, dan di SEA Games X, 1979, ia berhasil memecahkan 6 rekor SEA Games dan 7 rekor nasional. Pada 1980, Iskandar menikah di catatan sipil dengan Nanik Juliati Soewadji.
Keinginan lama itu akhirnya terkabul. Ketua PB PRSI Jenderal Suprayogi tak bisa lagi mencegahnya. Cuma kali ini kali, jenderal itu meminta Nanik untuk tidak memiliki anak dulu karena sekali lagi, Indonesia masih membutuhkan kayuhan tangannya untuk bisa meraih medali dan mengumandangkan Indonesia Raya di lintasan renang.
Nanik masih bisa membuktikan sebagai yang terbaik pada SEA Games XI pada tahun 1981. Ia berhasil memetik lima emas di SEA Games itu. Sementara di PON X, 1981 Nanik masih merebut delapan emas, dua perak, dan satu perunggu dari 12 nomor pertandingan yang diikutinya.
Pada SEA Games XII 1983, prestasi Indonesia mulai anjlok. Diakui Nanik, karena kualitas perenang mulai merata, bukan karena dirinya telah absen di lintasan renang.
Meski memutuskan untuk pensiun sebagai perenang nasional, namun tak lantas membuat Nanik meninggalkan kolam yang membesarkan namanya itu. Nanik dan Iskandar berkonsentrasi penuh menangani klub Hiu Surabaya. Sejumlah atlet yang sempat menorehkan prestasi adalah hasil didikan mereka, di antaranya Rita Mariani dan Dyah Ayu Rahmani yang pernah tercatat sebagai perenang papan atas di Asia Tenggara.
Bahkan, kemampuan pasangan ini pun diturunkan pada dua buah hatinya yang juga menjadi atlet renang. Dua anak Nanik, Omar Suryaatmadja dan Nancy Suryaatmadja, tercatat sebagai atlet renang PON Jatim.
Nanik seolah tak pernah lepas dari prestasi fenomenal. Pada bulan April 1995, Nanik kembali cetak sejarah. Diusianya yang ke-29, ia berhasil menyebrangi Selat Madura. Ia peserta putri pertama yang mencapai garis finish, dan menyelesaikan jarak 3,8 km dalam waktu 53 menit 50 detik.
Perjuangan Nanik menyeberangi Selat Madura itu cukup berat. Paha kanan Nanik sempat tersengat ubur-ubur, binatang laut beracun. Prestasi ini cukup mencengangkan karena raihan itu pasca dirinya memiliki dua buah hati, hal ini cukup jarang bisa diikuti oleh perenang yang telah resmi pensiun sebagai atlet. Ini membuktikan jika Nanik masih tetap menjaga kebugaran dirinya meski telah menjadi pelatih.
Awan Kelabu
Langit tidak selamanya cerah dan awan kelabu pun bergelayut di kehidupan Ratu Renang ini, di tengah perjuangan dirinya untuk mencetak atlet renang masa depan Indonesia. Nanik harus menerima cobaan yang cukup berat, Iskandar, pelatih pertama sekaligus suaminya berpulang, Minggu tanggal 20 April 2003. Almarhum meninggal di Rumah Sakit Angkatan Laut (RSAL) Surabaya, pukul 03.00 WIB, dalam usia 65 tahun, akibat serangan jantung. Jenazah almarhum dikremasi setelah selama dua hari disemayamkan di Adiyasa.
Nanik kehilangan mentor pertamanya yang menanamkan arti renang bagi dirinya, sekaligus kehilangan sosok yang selama ini mengayomi dan membimbingnya. Tapi, bukan hanya Nanik yang kehilangan, dunia renang nasional pun kehilangan sosok Iskandar Suryaatmadja yang dikenal penuh dedikasi terhadap dunia renang Indonesia. Indonesia sangat kehilangan tokoh terbaiknya.
Sepeninggal Iskandar, praktis Nanik harus memegang kemudi melatih anak-anak klub Hiu Surabaya. Ia juga punya tugas berat membawa anak-anak Hiu berprestasi.
Impian dan Obsesi
Sebelum Iskandar berpulang, sebenarnya ia dan Nanik punya keinginan untuk membangun pusat pelatihan renang sendiri. Pusat pelatihan itu direncanakan akan dibangun tepat di belakang kediamannya Jalan Prapen Indah VI/D7 Rungkut, Surabaya. Mereka telah memiliki sebidang tanah seluas 2.000 meter persegi. Namun keinginan itu tak sempat terwujud. Tahun 1997-1998, Indonesia diterpa krisis ekonomi, akhirnya tanah tersebut terpaksa dijual.
Saat ini, Nanik mengabdikan sisa umurnya untuk membina anak-anak di klub Hiu, Surabaya melanjutkan semangat mendiang suaminya. Nanik selalu hadir di kolam renang KONI Surabaya memantau perkembangan murid-muridnya. Nanik terjun langsung membina anak-anak. Ia ingin prestasi yang pernah ditorehkannya menyabet 6 medali emas SEA Games, atau 11 emas dalam PON, juga bisa direngkuh anak-anak didiknya sekarang. Bahkan kalau bisa melebihi dirinya.
Selama melatih, Nanik tak henti-hentinya memberikan arahan, baik yang bersifat teknis maupun mental. Anak-anak didiknya pun terlihat serius menyimak. Renang, bagi Nanik, seperti belahan jiwa. Aliran darah yang mengalir di tubuhnya tak mungkin bisa dipisahkan dari renang. Tak salah bila wanita yang tak suka bersolek ini, sampai kini masih terus memantau perkembangan renang. Baik di level nasional maupun internasional.
Sebagai pelatih, Nanik selalu meminta anak-anak didiknya tampil bagus. Namun dia tak mau mereka terbebani target. Kata dia, beban target akan melumpuhkan anak sebelum bertanding. Anak-anak harus diberi kebebasan mengeluarkan segala potensinya, berekspresi. “Yang penting berusaha. Saya tak pernah mendesak anak-anam harus memang. Kata ‘harus’ itu berat. Itu akan jadi beban. Sayang rasanya, capek-capek melatih, pas kejuaraan mereka terbebani hingga tak bisa tampil maksimal,” kata Nanik.
Karena itu pada setiap turnamen, Nanik selalu enggan memprediksi apakah anak asuhnya mampu merebut gelar, kendati di beberapa kali kejuaraan, Hiu Surabaya acapkali mengumpulkan poin tertinggi. Bahkan sejumlah atletnya ada yang ikut SEA Games, meski belum menorehkan prestasi tinggi.
Nanik berpandangan, dorongan berprestasi itu perlu, dan hal itudiwujudkan dengan berlatih serius dan disiplin tinggi. Renang seperti olah raga yang lain. Skill mungkin bisa lahir dari bakat, tapi di renang juga butuh naluri. Nah, naluri inilah bisa dipertajam kalau diasah, dilatih. “Itu seperti lingkaran. Selain mengandalkan kemampuan otot, juga otak,” terang dia.
Di samping giat melatih di Hiu Surabaya, Nanik juga mendirikan Isna Physical Center (IPC), bersama suaminya, Iskandar Suryaatmadja (mendiang). “Isna” itu tak lain singkatan nama pasangan pencinta air ini, Iskandar dan Nanik.
Dari dua buah hati Nanik, yaitu Omar dan Nancy, yang berhasil menjadi atlet renang dengan prestasi yang menonjol adalah Nancy Suryaatmadja. Dara yang lahir di Surabaya, 5 Februari 1984 ini, pada Pekan Olahraga Nasional XVII 2008 di Kalimantan Timur, berhasil memperoleh 7 medali emas. Selain itu, Nancy berhasil memecahkan rekor nasional nomor 100 meter gaya bebas dengan waktu 58,71 detik, mematahkan rekornas yang telah diukir Catherine Surya pada 1996 dengan waktu 58,84 detik. Ia juga berhasil memecah rekornas nomor 50 meter gaya bebas dengan waktu 27,03 detik, mematahkan rekornas yang baru dicatatkan oleh Enny Susilawati pada ajang tersebut.
Berkat didikan orangtuanya, bakat Omar dan Nancy semakin terasah. Nancy dan Omar sering menjadi langganan juara pada setiap pertandingan kelompok umur yang diikuti. Atas prestasinya, pada usia 15 tahun Nancy sudah dipercaya untuk mewakili Indonesia dalam ajang SEA Games XX 1999 di Bandar Seri Begawan, Brunei Darussalam. Kepercayaan itu berlanjut untuk SEA Games XXII 2003 di Vietnam dan SEA Games XXIII 2005 di Filipina.
Sepasang ikan juga akan melahirkan ikan. Inilah cacatan tentang Nanik Juliati Suryaatmadja yang menjadi lembar sejarah olahraga Indonesia.
NANIK JULIATI SURYAATMADJA
Lahir di Surabaya, 10 Juli 1956
Prestasi:
11 emas dan satu perak PON (1977) dengan memecahkan 10 rekor nasional dan 12 rekor PON.
5 Medali emas SEA Games (1977) dengan memecahkan 6 Rekor SEA Games dan 3 rekor nasional.
Delapan emas, dua perak, dan satu perunggu pada PON X/1981 Lima emas SEA Gmaes (1981)
Dikutip dari:
Anis M, Lilianto (2012) Sejarah 15 Olahragawan Terpopuler di Indonesia (1967-1987). Jakarta: Museum Olahraga Nasional, Deputi Bidang Pembudayaan Olahraga, Kementrian Pemuda dan Olahraga