REMBANG, KOMPAS — Daerah Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, sebagai kota kecil di pesisir ternyata memiliki sejarah panjang dalam menjaga dan mengelola keragaman budaya dan etnis. Di kota yang berjaya dalam perdagangan ini, etnis Tionghoa, santri keturunan Arab, dan warga setempat berbaur serta berjuang bersama melawan anti keragaman.
Suasana Kelenteng Cu An Kiong yang berada di tengah-tengah Kampung Soditan, Kecamatan Lasem, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah, Minggu (5/10/2014). Kelenteng ini selalu dikunjungi wisatawan dari sejumlah kota. Kelenteng yang diperkirakan dibangun tahun 1450—diakui tertua di Jawa—ini berada di perkampungan santri dan dikelilingi delapan pondok pesantren. Hal ini menjadi bukti warga Lasem menjaga keberagaman dalam kehidupannya. (Kompas/Winarto Herusansono)
Hal itu disampaikan peneliti kota Lasem, Munawir Azis, pada diskusi buku bertajuk ”Lasem, Kota Tiongkok Kecil” di rumah Semar, Desa Karangturi, Kecamatan Lasem, Rembang, Minggu (5/10/2014). Diskusi dihadiri pengasuh Pondok Pesantren Kauman, Karangturi, Lasem, KH Zaim Achmad Mas’shoem (Gus Zaim); budayawan Karangturi, Lasem, Sie Hwie Djan alias Gandor; Camat Lasem Kukuh Purwasana; penggiat sejarah Lasem, Yon Suprayoga; tokoh masyarakat Lasem, dr Tonny; serta sejumlah aktivis budaya dan santri Lasem.
Munawir mengatakan, buku tentang Lasem ini merupakan tesis yang diperluas. Ketika studi pascasarjana di Center for Religious and Cross-cultural Studies Universitas Gajah Mada, ia melakukan riset tentang sejarah Lasem di Jerman dan Belanda. ”Dari riset itu, saya baru tahu bahwa peranan Lasem menjaga dan mengelola keberagaman, baik itu suku, etnis, maupun agama, sudah terbentuk sejak daerah ini masih dalam wilayah Kerajaan Majapahit. Ketika Lasem menjadi bagian kekuatan maritim Majapahit,” ujar Munawir.
Gus Zaim menilai, sebutan Lasem sebagai ”Kota Tiongkok Kecil” menjadi tantangan sekaligus kebanggaan. Para ulama dan pejuang Tionghoa selama ini telah memberikan teladan yang baik bagi generasi saat ini, tidak ada perbedaan etnis dan agama dalam menjalani kehidupan ini.
Dari sejarahnya, solidaritas antar-etnis di Lasem tercatat sejak Perang Kuning (1740-1743), saat penguasa Batavia menindas kaum Tionghoa. Di Lasem tumbuh perjuangan yang dipelopori ulama besar, Kyai Baidlawi, bersama Oei Ing Kiat dan Raden Panji Margono untuk menggerakkan laskar Lasem melawan VOC.
Penggiat budaya Yon Suprayoga menjelaskan, selain kearifan mengelola keberagaman, Lasem juga memiliki situs-situs budaya dan sejarah yang layak dilestarikan, misalnya bende becak Sunan Bonang dan Kelenteng Cu An Kiong yang dibangun tahun 1450 di tengah perkampungan yang terdapat delapan pesantren. ”Begitu banyak situs sejarah dan budaya yang layak dilestarikan. Setiap jengkal tanah di Lasem merupakan ilmu pengetahuan,” kata Yon. (WHO)
Kompas, Senin, 6 Oktober 2014
No comments:
Post a Comment