Parpol Patut Mawas Diri
Rakyat Punya Jalan Keluar Penyaluran Aspirasi
JAKARTA, KOMPAS — Istilah deparpolisasi semestinya menjadi titik tolak untuk partai politik mengevaluasi diri sendiri. Hal itu akan terwujud ketika partai politik gagal merealisasikan fungsi representasi masyarakat sehingga kepercayaan publik semakin luntur.
Hal ini disampaikan peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Siti Zuhro dan Koordinator Nasional Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Masykurudin Hafidz secara terpisah di Jakarta, Minggu (13/3). Deparpolisasi muncul karena elite politik resah dengan meningkatnya tren peserta pemilihan kepala daerah menggunakan jalur perseorangan.
"Semestinya parpol introspeksi, kenapa kepercayaan publik pada parpol semakin berkurang dan parpol seakan semakin kurang paham dengan dinamika masyarakat saat ini," kata Siti Zuhro.
Kemunculan calon perseorangan, katanya, hanya cara demokrasi mengefektifkan fungsi representasi yang semestinya dijalankan parpol. Sebaliknya, ketika parpol kembali kepada fungsinya sebagai pilar demokrasi dan mampu mempromosikan kader-kader berkualitas, bersih, dan mampu bekerja untuk rakyat, deparpolisasi akan berhenti.
Kenyataannya, kinerja kader-kader parpol di lembaga legislatif tidak berjalan baik. Fungsi legislasi DPR, misalnya, tak kunjung menunjukkan prestasi. Sejak menjabat, baru tiga undang-undang disahkan. Sementara itu, masyarakat disuguhkan dengan konflik internal parpol yang tak berkesudahan.
Dari pilkada serentak 2015 pun, kata Masykurudin, tampak jelas bahwa parpol yang memiliki kursi di DPRD tidak maksimal memanfaatkan kewenangan dan kesempatannya untuk mengusung calon kepala daerah. Sebagian besar daerah dalam Pilkada 2015 hanya terdiri atas dua atau tiga pasangan calon, bahkan Blitar (Jawa Timur), Tasikmalaya (Jawa Barat), dan Timor Tengah Utara (Nusa Tenggara Timur) hanya ada calon tunggal.
Kegagalan parpol mewujudkan aspirasi dan representasi masyarakat ini, menurut Masykurudin, akibat parpol terlampau kuat mempertimbangkan aspek kepemilikan modal dan popularitas calon. Parpol malah tak mampu memfasilitasi masyarakat mewujudkan calon yang sesuai dengan aspirasi.
"Kewajiban parpol untuk merekrut orang-orang berkualitas sebagai calon pemimpin malah tak dilaksanakan. Ini yang namanya deparpolisasi," tuturnya.
Dari pilkada serentak 2015, baru 14 persen dari 37 pasangan calon perseorangan yang terpilih sebagai kepala daerah.
Syarat dipermudah
Komisi Pemilihan Umum mengusulkan agar syarat jumlah dukungan untuk calon kepala daerah dari jalur perseorangan dipermudah. Hal ini bertujuan memperbanyak pilihan calon bagi pemilih, bukan deparpolisasi.
Usulan KPU ini sebagai bagian dari rencana DPR bersama Pemerintah merevisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada. KPU mengusulkan syarat dukungan calon perseorangan diturunkan menjadi berkisar 3 persen hingga 6,5 persen dari jumlah pemilih pada pemilu sebelumnya di daerah tersebut.
Persentase ini sama seperti Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Pemerintahan Daerah. Namun, UU Pemerintahan Daerah masih mengacu jumlah penduduk.
Saat ini, UU No 8/2015 menerapkan syarat dukungan calon perseorangan 6,5 persen hingga 10 persen dari jumlah penduduk. Mahkamah Konstitusi memutuskan mengubahnya menjadi 6,5 persen hingga 10 persen dari jumlah pemilih pada pemilu sebelumnya di daerah itu.
"KPU sama sekali tidak berpikir deparpolisasi. KPU juga tidak berpikir calon perseorangan lebih baik dari calon partai politik. Usulan itu semata supaya lebih terbuka pilihan calon untuk publik," ujar Komisioner KPU Hadar Nafis Gumay.
Anggota Badan Pengawas Pemilu, Nelson Simanjuntak, menilai, mempermudah syarat bagi calon perseorangan juga akan mendorong partai politik membenahi internalnya. Terutama, lanjutnya, sistem kaderisasi dan perekrutan calon kepala daerah.
Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) Jimly Asshiddiqie mengatakan, partai politik tidak perlu khawatir jika syarat calon perseorangan dipermudah. Pasalnya, sejak dirinya masih memimpin MK dan mengabulkan calon perseorangan untuk ikut pilkada tahun 2007 hingga kini belum ada 1 persen pilkada dimenangi calon perseorangan.
"Akan tetapi, kehadiran calon perseorangan itu cukup menjadi jalan keluar jika penyaluran aspirasi rakyat melalui partai tidak maksimal," katanya.
Sementara itu, draf revisi UU No 8/2015 yang disusun Kementerian Dalam Negeri, persentase syarat dukungan calon perseorangan tidak diubah. "Putusan MK itu sudah mempermudah yang hendak maju dari jalur perseorangan. Jadi, persentase tidak perlu diturunkan," kata Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kemendagri Sumarsono.
Ketua Komisi II DPR Rambe Kamarulzaman mengatakan, usulan KPU akan dibahas. "Harus seimbang. Jangan syarat yang satu dipermudah, lalu yang lain diperberat," ujarnya. (APA/INA)
Kompas, Senin, 14 Maret 2016
DPR Usul Syarat Calon Perseorangan Dinaikkan
JAKARTA, KOMPAS — Rancangan undang-undang perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota belum mulai dibahas. Namun, fraksi-fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat sudah mempersiapkan usulan untuk menaikkan syarat calon kepala daerah-calon wakil kepala daerah dari jalur perseorangan.
DPR mengusulkan kenaikan syarat dukungan karena Mahkamah Konstitusi mengubah dasar penghitungan persentase dukungan dari jumlah penduduk ke jumlah pemilih dalam daftar pemilih tetap (DPT) terakhir. Salah satu yang mengusulkan kenaikan syarat dukungan bagi calon perseorangan adalah Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (F-PDIP) DPR.
"Menurut kami, syarat dukungan calon perseorangan memang perlu ditinggikan biar lebih kuat legitimasinya," kata anggota Komisi II dari F-PDIP, Arif Wibowo, di Jakarta, Senin (14/3).
Kenaikan syarat dukungan bagi calon perseorangan juga diusulkan Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (F-PKB). Wakil Ketua Komisi II dari F-PKB Lukman Edy menjelaskan, syarat dukungan calon perseorangan perlu disesuaikan agar berimbang dengan syarat partai politik atau gabungan partai politik mengajukan pasangan calon kepala daerah-calon wakil kepala daerah.
Dalam Pasal 41 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015, pasangan calon kepala daerah harus memenuhi syarat dukungan antara 6,5 persen-10 persen dari jumlah penduduk di daerah masing-masing. Namun, Mahkamah Konstitusi mengubah syarat dukungan sebanyak 6,5 persen-10 persen dari jumlah pemilih dalam DPT terakhir.
Fraksi-fraksi di DPR belum memastikan persentase syarat dukungan calon perseorangan yang akan diusulkan dalam pembahasan revisi UU Pilkada. Wakil Ketua Komisi II dari Fraksi Partai Gerindra, Ahmad Riza Patria, mengatakan, syarat dukungan calon perseorangan akan disesuaikan dengan syarat dukungan partai politik atau gabungan partai politik.
Lukman memperkirakan, akan ada dua usulan besaran syarat dukungan bagi calon perseorangan, yakni 10 persen-15 persen dari jumlah pemilih atau 15 persen-20 persen dari jumlah pemilih.
Materi RUU Pilkada baru akan dibahas secara detail oleh pemerintah hari ini. Pembahasan dipimpin Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam rapat terbatas yang melibatkan pihak-pihak terkait di Kantor Presiden, Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta. Menteri Sekretaris Negara Pratikno mengatakan, draf RUU Pilkada tersebut sudah diusulkan Menteri Dalam Negeri kepada Presiden.
Sementara itu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencoba mengatur hal yang bisa menjamin kepastian anggaran pilkada dalam Rancangan Peraturan KPU (PKPU) tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Pilkada Tahun 2017. Di lampiran Rancangan PKPU disebutkan, jadwal penyusunan dan penandatanganan naskah perjanjian hibah daerah (NPHD) dibatasi hingga 30 April 2016.
"Dengan diatur di PKPU, diharapkan seluruh pihak, khususnya pemerintah daerah, paham bahwa NPHD harus segera disusun dan ditandatangani sebelum tahapan pilkada membutuhkan sokongan dana," ujar Komisioner KPU Ida Budhiati.
(NTA/APA/NDY/C03)
Kompas, Selasa, 15 Maret 2016
Penambahan Syarat, Langkah Mundur
JAKARTA, KOMPAS — Keinginan sejumlah fraksi di Dewan Perwakilan Rakyat untuk memperbesar syarat dukungan bagi calon perseorangan pada pemilihan kepala daerah merupakan langkah mundur pelaksanaan demokrasi di tingkat lokal.
Niat sejumlah fraksi di DPR itu akan semakin mempersulit hak warga untuk dipilih dalam pilkada. Selain itu, rencana itu pun tidak menjawab persoalan terkait minimnya kontestan, serta munculnya calon tunggal seperti yang terjadi di Kabupaten Blitar, Tasikmalaya, dan Timor Tengah Utara pada Pilkada 2015. Sulitnya menjadi calon, baik dari jalur partai maupun perseorangan, ditengarai menjadi salah satu sebab munculnya masalah itu.
Berkaca pada Pilkada 2015, menurut Guru Besar Ilmu Politik Universitas Airlangga Surabaya Ramlan Surbakti, Rabu (16/3), semestinya syarat pencalonan justru diturunkan. Dengan demikian, akan semakin banyak pasangan calon yang tampil dalam pilkada. Hal tersebut dapat membuat pilkada makin kompetitif dan akhirnya meningkatkan partisipasi masyarakat.
Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pilkada disebutkan, pasangan calon kepala daerah diusung parpol atau gabungan parpol yang memiliki minimal 20 persen kursi di DPRD atau akumulasi 25 persen suara sah di pemilu legislatif sebelumnya. Semestinya, menurut Ramlan, syarat ini dikembalikan seperti sebelumnya menjadi minimal 15 persen dari kursi DPRD atau 15 persen akumulasi suara sah parpol dalam pemilu sebelumnya.
Sementara untuk syarat calon perseorangan yang saat ini besarnya 6,5-10 persen dari jumlah pemilih dalam daftar pemilih tetap (DPT) terakhir, menurut Ramlan, juga perlu diturunkan menjadi 3-6,5 persen dari jumlah DPT di daerah itu.
Meski demikian, menurut Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Lukman Edy, kenaikan syarat dukungan calon perseorangan sudah bisa dipastikan akan diusulkan dalam pembahasan RUU Pilkada. Ada dua pilihan angka syarat dukungan calon perseorangan, yakni 10 persen-15 persen dari total DPT atau 15 persen-20 persen dari total DPT.
"Berapa angkanya belum pasti, tetapi kenaikan syarat dukungan calon perseorangan sudah bisa dipastikan," ujarnya.
Selain PKB, kenaikan syarat calon perseorangan, antara lain, juga diusulkan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Fraksi Partai Golkar, dan Fraksi Partai Persatuan Pembangunan. Fraksi lain, seperti Fraksi Partai Amanat Nasional, masih menimbang-nimbang.
Wakil Ketua Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Fachrul Razi menilai, usulan kenaikan syarat dukungan calon perseorangan itu merupakan bentuk kepanikan partai politik. "Partai politik terlihat paranoid terhadap munculnya calon perseorangan," katanya.
DPD, lanjut Fachrul Razi, justru berpendapat seharusnya syarat dukungan calon perseorangan diturunkan agar ruang partisipasi masyarakat untuk mengikuti kontestasi pilkada semakin terbuka lebar.
Jangan keliru
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini berharap, di tengah rendahnya kepercayaan publik terhadap DPR, mestinya DPR tidak membuat kebijakan yang bertentangan dengan kehendak publik. Alasan DPR bahwa syarat calon perseorangan perlu diperbesar agar setara dengan syarat calon dari partai politik juga tak dapat diterima.
"Partai dalam pencalonan dimungkinkan membangun koalisi, sedangkan calon perseorangan tidak mempunyai pola koalisi. Selain itu, partai memiliki struktur organisasi dan mendapatkan bantuan keuangan dari negara, sedangkan calon perseorangan mengandalkan individu dalam pencalonan," ujar Titi.
Staf Khusus Presiden Bidang Komunikasi Johan Budi SP mengatakan, Presiden tak menginginkan perubahan mengenai syarat calon perseorangan. Untuk sementara, ketentuan mengenai hal itu tetap seperti yang tertera dalam UU Nomor 8 Tahun 2015.
"Aturan perseorangan sudah bagus seperti yang sudah ada di UU Nomor 8 Tahun 2015. Tidak ada perintah Presiden untuk mengubahnya," kata Johan.
Hal serupa disampaikan Sekretaris Kabinet Pramono Anung. Usulan revisi UU Pilkada jangan untuk menghalangi munculnya calon perseorangan.
Sampai saat ini, pemerintah belum menyerahkan draf revisi UU Pilkada kepada DPR untuk dibahas bersama.
(APA/INA/NTA/OSA/HLN/NDY)
Kompas, Kamis, 17 Maret 2016
No comments:
Post a Comment