Sunday, 13 March 2016

Menjadikan Polio Tinggal Sejarah

Oleh ADHITYA RAMADHAN
Dalam pengendalian penyakit, salah satu prestasi manusia adalah membasmi atau mengeradikasi penyakit cacar atau variola dari muka Bumi tahun 1974. Kini, negara-negara di dunia ada di akhir perang melawan virus polio. Tiap negara memperluas cakupan imunisasinya agar polio tinggal sejarah.
Di Indonesia, sepekan ini, 8-15 Maret 2016, pemerintah menggelar Pekan Imunisasi Nasional (PIN) Polio, pemberian imunisasi tambahan di semua provinsi, kecuali Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) yang telah memakai vaksin suntik. Meski Indonesia bersama negara lain di Asia Tenggara mendapat status bebas polio pada 27 Maret 2014, PIN Polio diadakan untuk memastikan tak ada lagi penularan polio di Tanah Air. [Kegiatan itu masih memakai vaksin polio oral karena stok vaksin polio suntik belum mencukupi (Kompas, 4/3/2016)].
Maka dari itu, menurut Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan M Subuh, minimal 23,7 juta anak usia 0-59 bulan yang menjadi sasaran harus diberi vaksin polio tanpa memperhatikan status imunisasi polio sebelumnya.
"Ini (PIN Polio) ialah bagian komitmen global menuju eradikasi polio 2018," ujarnya, Sabtu (12/3) di Jakarta.
Polio atau poliomyelitis adalah penyakit menular akibat virus berbahaya. Virus polio menyerang sistem saraf dan bisa memicu kelumpuhan yang tak bisa dipulihkan serta terjadi dalam hitungan jam. Virus itu menyebar lewat kontak orang ke orang. Saat anak terinfeksi polio liar, virus itu masuk ke tubuh lewat mulut, berkembang di usus, dan terbawa dalam kotoran. Virus pun menyebar, terutama di lingkungan tak sehat.
Mengatasi gejala
Mayoritas pasien tak menunjukkan gejala, hanya mengalami gejala ringan, seperti demam, pusing, letih, muntah, kaku di leher, nyeri pada anggota badan, dan biasanya tak terdiagnosis.
Subuh menekankan, polio tak ada obatnya. Pengobatan yang diberikan hanya untuk mengatasi gejala. Meski terapi panas dan fisik dipakai untuk menstimulasi otot, kelumpuhan akibat polio tidak bisa dipulihkan.
Sebenarnya, polio bisa dicegah dengan imunisasi. Jika semua anak diimunisasi polio, virus tersebut tak menemukan tempat berkembang dan akhirnya mati.
Selama ini, vaksin yang dipakai untuk imunisasi polio di Indonesia adalah vaksin tetes (oral polio virus vaccine/ OPV) yang bisa melindungi dari virus polio tipe 1, 2, dan 3. Vaksin OPV berisi virus polio aktif yang dilemahkan. Jenis vaksin OPV tersebut dipakai pada PIN Polio 2016, dan diproduksi oleh PT Biofarma yang mengekspor vaksin ke lebih dari 100 negara.
Ketua Satuan Tugas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia Prof Cissy B Kartasasmita menjelaskan, pemberian OPV tak ada punya efek samping. Namun, anak di bawah usia lima tahun atau balita, dengan daya tahan tubuh rendah, dianjurkan tidak diberi OPV.
Karena memakai virus hidup yang dilemahkan, virus dari vaksin bereplikasi di saluran cerna hingga terbuang bersama kotoran. Virus itu berpeluang bermutasi di lingkungan meski peluangnya 1 dari 2,7 juta dosis. [Strain baru poliovirus hasil mutasi dari strain yang terkandung dalam vaksin ini disebut vaccine-derived polioviruses (VDPV) (The Global Polio Eradication Initiative, 2010)]
Untuk itu, negara-negara di dunia bertahap mengganti OPV dengan vaksin IPV (inactivated polio vaccine). Vaksin IPV yang diberikan dengan cara disuntik berisi virus polio tak aktif. Di Indonesia, daerah yang memakai vaksin IPV baru DIY.
Dengan cakupan imunisasi polio minimal 95 persen, harapannya tak ditemukan lagi virus polio di Tanah Air. Partisipasi warga diperlukan untuk mewujudkan itu.
Mengganti vaksin
Menurut Jane Soepardi [Direktur Surveilans dan Karantina Kesehatan Kementerian Kesehatan], penerapan vaksin polio suntik (IPV) yang mengandung virus tak aktif baru akan dimulai Juli 2016. Itu sesuai dengan peta jalan yang dicanangkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk mengganti vaksin polio oral (OPV) dengan IPV di seluruh negara anggota WHO pada 2020. Itu untuk menjamin tak muncul lagi kasus polio.
Pada Sidang Pleno Ke-68 WHO di Geneva, Swiss, Mei 2015, disepakati, penarikan OPV diadopsi semua negara secara bertahap. Itu untuk mengeliminasi risiko vaksin terkait paralytic polio dan potensi muncul lagi virus polio karena OPV memakai virus aktif dilemahkan (Kompas, 4 Maret 2016)
Pertemuan itu mencatat, eradikasi polio hanya bisa dicapai melalui solidaritas global. Setelah mengkaji ulang epidemi global polio terakhir dan dampaknya, delegasi menilai ada kemajuan terkait eradikasi polio di sejumlah negara. Direktur Jenderal WHO Margaret Chan menegaskan, saat ini dunia kian dekat dengan tahap eradikasi atau bebas polio.
Di kawasan Afrika tak ditemukan lagi kasus virus polio liar sejak Agustus 2014. Selain itu, ada kemajuan signifikan penanggulangan polio di Timur Tengah, di ujung benua Afrika dan Afrika Tengah, serta Pakistan. Di bawah koordinasi aliansi vaksin (GAVI), vaksin polio tak aktif mulai dikenalkan dan disiapkan untuk fase penarikan vaksin polio oral.
Dengan demikian, negara-negara anggota WHO sepakat mengadopsi kebijakan dunia terkait penarikan vaksin polio oral secara bertahap. Dalam rencana strategis global eradikasi polio, mulai November 2015 vaksin polio oral ditarik dan diganti vaksin polio tak aktif dalam bentuk injeksi.
Mulai April 2016, negara-negara anggota WHO akan menarik vaksin polio trivalen (komponennya terdiri atas tiga serotipe, yakni tipe 1, 2, dan 3) yang dipakai untuk eradikasi virus polio liar tipe 2 dengan kasus terakhir 1999. Lalu, vaksin itu akan digantikan vaksin polio bivalen (terdiri atas serotipe 1 dan 2). ”Inisiatif ini tak boleh gagal,” kata Margaret dalam pidatonya.
Namun, delegasi Indonesia mengajukan amandemen resolusi itu agar waktu penarikan vaksin polio oral disesuaikan kesiapan setiap negara. ”Indonesia setuju resolusi end game strategi polio 2013-2018, hanya kami tak sepakat jadwal implementasinya,” kata Direktur Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan Kementerian Kesehatan M Subuh.
Menurut Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kemenkes Akmal Taher, dengan disetujuinya resolusi itu, Indonesia minta pengecualian terkait jadwal penarikan vaksin polio oral. Alasannya, kondisi geografis serta perlu waktu sosialisasi dan penguatan kapasitas tenaga kesehatan. Jika secara nasional siap, program itu secepat mungkin dilakukan sesuai resolusi itu.
Dalam sidang itu, para delegasi juga mendorong rekomendasi komite pengkajian regulasi kesehatan internasional (IHR) agar memperpanjang batas waktu tahun 2016 bagi semua negara yang butuh waktu lebih lama menerapkan regulasi itu. Selain itu, juga perlu evaluasi, perbaikan, dan penilaian independen. (Kompas, 25 Mei 2015)
Bebas polio
Pada 27 Maret 2014, Indonesia menerima sertifikasi bebas polio dari WHO setelah tidak ditemukannya lagi kasus polio sejak 2006. Tahun ini, PIN diadakan untuk memperkuat imunisasi rutin sekaligus menutup kesenjangan imunitas anak antardaerah di Indonesia. "Saat ini, Afganistan dan Pakistan masih ada kasus virus polio liar sehingga Indonesia harus tetap waspada," katanya.
Mendekati pelaksanaan PIN, sosialisasi digalakkan agar warga memahami pentingnya imunisasi. Sosialisasi dilakukan melalui televisi, radio, media cetak, dan spanduk di pusksesmas atau posyandu. "Setiap hari di iklannya akan ada hitung mundur hari pelaksanaan sehingga masyarakat teringat ada PIN," ucapnya.
Saat ini, OPV didistribusikan ke puskesmas-puskesmas di semua provinsi Indonesia. Distribusi itu berlangsung sejak tiga bulan lalu pada tahap provinsi dan terus menyebar hingga tingkat kabupaten atau kota. Semua provinsi dan kabupaten menyatakan siap melaksanakan PIN.
Kegiatan imunisasi nasional itu juga diselenggarakan serentak di negara-negara berkembang yang masih memakai OPV. Vaksinasi polio dianjurkan bagi anak berusia 0-59 bulan. Imunisasi polio serentak di dunia itu diharapkan membuat virus polio tak ada lagi tempat untuk singgah sehingga tak bisa berkembang biak dan akhirnya musnah.
Menurut Aman Bhakti, masa balita merupakan periode rentan terserang penyakit karena daya tahan tubuh belum kuat. "Karena itu, PIN wajib dilaksanakan, terutama bagi anak balita yang belum pernah vaksinasi polio. Seharusnya polio tak boleh ada lagi di Indonesia," ujarnya.
Dia menambahkan, PIN merupakan momentum bagi Indonesia untuk mempertahankan predikat negara bebas polio. "Jangan sampai kita kecolongan ada kasus anak balita terserang virus polio," ucapnya (Kompas, 4 Maret 2016).
Kompas, Minggu, 13 Maret 2016
Tambahan:
Vaksinasi Polio Dilaksanakan Serentak. Kompas, Jumat, 4 Maret 2016
Dunia Sepakati Resolusi Eradikasi. Kompas, Senin, 25 Mei 2015

No comments:

Post a Comment