Wednesday, 16 March 2016

Arsip Supersemar 1966

Oleh AZMI
Surat Perintah Sebelas Maret alias Supersemar adalah surat perintah yang ditandatangani Presiden Soekarno pada 11 Maret 1966.
Isinya berupa instruksi Presiden Soekarno kepada Letjen Soeharto, selaku Menteri Panglima Angkatan Darat, untuk mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk mengawal jalannya pemerintahan pada saat itu.
Dalam konsep kearsipan, Supersemar merupakan salah satu jenis arsip kepresidenan berupa ”Surat Perintah”, yang benilai kesejarahan sangat tinggi, khususnya sejarah awal Orde Baru. Sebagai bagian dari catatan penting sejarah perjalanan bangsa Indonesia, meski sudah berusia hampir setengah abad, naskah asli Supersemar belum juga ditemukan. Publik pun bertanya-tanya: apakah Supersemar memang benar-benar ada?
5529f49e6ea834c91a8b4567.jpeg
Soekarno dan Soeharto
Tiga versi
Hilangnya naskah asli Supersemar masih jadi misteri. Saat ini, Supersemar yang beredar di tengah masyarakat ada tiga versi. Mengapa harus ada tiga? Apakah ada bagian-bagian tertentu yang sengaja ditutup-tutupi?
Keraguan keaslian Supersemar yang dipublikasikan secara luas muncul setelah Orde Baru (Orba) tumbang pada 1998. Keraguan publik atas keaslian fisik dan ketepercayaan isi Supersemar semakin diperkuat oleh keterangan beberapa saksi sejarah bekas tahanan politik Orba yang akhirnya buka suara.
Sejumlah versi Supersemar pun beredar. Entah mana yang benar. Namun, yang tidak bisa dibantah adalah Supersemar yang disimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) saat ini bukan naskah aslinya.
Saat ini ANRI menyimpan tiga Supersemar. Namun, ketiganya memiliki versi masing-masing. Pertama, Supersemar yang diterima dari Sekretariat Negara, dengan ciri: jumlah halaman dua lembar, berkop Burung Garuda, diketik rapi, dan di bawahnya tertera tanda tangan beserta nama Sukarno.
Kedua, Supersemar yang diterima dari Pusat Penerangan TNI AD dengan ciri: jumlah halaman satu lembar, berkop Burung Garuda, ketikan tidak serapi versi pertama. Penulisan ejaan sudah menggunakan kaidah bahasa Indonesia yang berlaku pada saat itu. Jika pada versi pertama di bawah tanda tangan tertulis nama Sukarno, pada versi kedua tertulis nama Soekarno.
Ketiga, Supersemar yang diterima dari Yayasan Akademi Kebangsaan, dengan ciri: jumlah halaman satu lembar, sebagian surat robek sehingga tidak utuh lagi, kop surat tidak jelas, hanya berupa salinan. Tanda tangan Soekarno pada versi ketiga ini juga berbeda dengan versi pertama dan kedua.
Dengan terdapatnya beberapa perbedaan, banyak pihak meragukan keaslian ketiga Supersemar tersebut. Untuk menjawab keraguan itu, ANRI bekerja sama dengan Pusat Laboratorium Forensik Badan Reserse Kriminal Polri telah melakukan pengujian terhadap material/bahan yang digunakan untuk membuat Supersemar (kertas, tinta, pita mesin ketik), ciri-ciri fisik dan intelektual yang terdapat dalam Supersemar (kop surat, lambang, stempel, huruf, format ketikan).
Hasilnya? Supersemar tersebut dinyatakan tidak asli (tidak otentik). Meski demikian, ANRI tidak dapat mengatakan Supersemar itu palsu sebelum naskah aslinya ditemukan untuk digunakan sebagai pembanding.
Naskah asli Supersemar seharusnya ada di tengah-tengah bangsa Indonesia yang merdeka sehingga ada kepastian terkait sejarah awal Orba. Dengan begitu, tidak ada lagi mitos terhadap Supersemar maupun tokoh-tokoh pelakunya.
Ketidaksediaan naskah asli Supersemar juga mengakibatkan muncul berbagai persepsi publik. Apakah Supersemar sebagai tujuan Soeharto untuk memperoleh kekuasaan presiden, alat untuk melakukan kudeta secara terselubung, pintu masuk Soeharto untuk merebut kekuasaan dari Soekarno, atau Supersemar sebagai dasar pijakan perjuangan Soeharto untuk membangun Orde Baru? Persepsi publik akan mendapatkan kualitas kebenaran jika publik melihat secara langsung isi informasi sebenarnya yang tertera dalam naskah asli Supersemar. Jika dilihat dari konteks peristiwanya, Supersemar tercipta dalam rangka penyelenggaraan kegiatan kenegaraan dan pelakunya adalah penyelenggara negara.
Karena itu, Supersemar merupakan arsip negara, seperti disebutkan dalam Pasal 33 UU Nomor 43/2009 tentang Kearsipan. Sebagai arsip negara, pencarian naskah asli Supersemar merupakan tanggung jawab pemerintah (presiden). Konstitusi kita mengamanatkan bahwa presiden wajib menjamin pelayanan kepada warganya untuk memenuhi hak konstitusionalnya dalam rangka mewujudkan tujuan negara. Salah satu hak konstitusional warga adalah hak memperoleh informasi yang terdapat dalam naskah asli Supersemar.
Sebagai lembaga kearsipan, ANRI wajib menyelamatkan arsip statis (arsip kesejarahan) dan membuat daftar pencarian arsip (DPA), yakni daftar berisi arsip yang memiliki nilai guna kesejarahan. Baik naskah yang telah diverifikasi secara langsung maupun tidak langsung oleh lembaga kearsipan dan dicari oleh lembaga kearsipan serta diumumkan kepada publik.
Dalam Pasal 73 UU Kearsipan juga disebutkan, setiap orang yang memiliki atau menyimpan arsip statis wajib menyerahkan kepada ANRI atau lembaga kearsipan berdasarkan syarat-syarat yang ditetapkan dalam pengumuman DPA. Selanjutnya, pemerintah akan memberikan imbalan kepada anggota masyarakat yang berperan serta dalam penyerahan arsip yang masuk dalam kategori DPA.
Catatan akhir
Pemerintah harus terus mendukung ANRI dalam melakukan pencarian naskah asli Supersemar, terutama dalam hal anggaran, sehingga upaya pencarian dapat dilakukan secara optimal.
Ada beberapa strategi yang dapat dilakukan ANRI. Pertama, mencantumkan naskah asli Supersemar pada urutan pertama dalam DPA dengan menyediakan imbalan tertentu bagi warga yang menyerahkan naskah aslinya.
Kedua, mengoptimalkan penelusuran ke institusi-institusi yang terkait dengan penerbitan Supersemar (Mabes TNI, lembaga kepresidenan).
Ketiga, mengonfirmasi ulang kepada anggota keluarga para tokoh yang terlibat langsung dengan Supersemar (Soekarno, Soeharto, M Yusuf, Basuki Rahmat, Amir Machmud).
Keempat, meningkatkan wawancara mendalam dengan tokoh-tokoh yang mengetahui peristiwa Supersemar.
Kelima, menerima berbagai masukan dari masyarakat terkait dengan naskah asli Supersemar. Sekecil apa pun informasi harus ditanggapi dan terus ditelusuri hingga naskah asli Supersemar ditemukan.
supersemar.jpg
Amir Machmud, Basuki Rahmat, dan M Yusuf
Dalam konteks sejarah nasional, peristiwa diterbitkannya Supersemar termasuk dalam periode sejarah Indonesia kontemporer pasca kemerdekaan. Para pelaku yang terlibat langsung dengan peristiwa itu sudah tidak ada lagi, tetapi pembuktian historis masih dapat dilakukan karena institusi-institusi terkait dan saksi-saksi sejarah masih ada sehingga bisa ditelusuri.
Untuk memperkuat restorasi sosial, kepastian sejarah, dan menjadikan arsip sebagai simpul pemersatu bangsa Indonesia, pemerintah dan ANRI perlu terus melakukan pencarian. Jangan pernah berhenti atau menyerah hingga naskah asli Supersemar 1966 benar-benar ditemukan. Kerja! Kerja! Kerja!
AZMI
Direktur Pengolahan Arsip, Arsip Nasional Republik Indonesia
Kompas, Selasa, 10 Maret 2015
Berikut kutipan dari “Ingatan Bisa Keliru” oleh JAMES LUHULIMA, Kompas, Minggu, 20 Maret 2016
Dokumentasi "Kompas"
Kembali ke soal naskah asli Supersemar, beruntung harian Kompas telah terbit sejak 28 Juni 1965. Itu sebabnya, Kompas sempat memuat salinan (copy) Surat Perintah 11 Maret 1966 secara utuh di halaman 3, Kompas, Senin, 14 Maret 1966. Mengapa baru dimuat tanggal 14 Maret 1966? Itu karena tanggal 11 Maret 1966 hari Jumat.
Oleh karena Supersemar baru ditandatangani di Istana Bogor malam hari, maka wartawan Kompas baru menerima salinan Supersemar pada hari Sabtu, 12 Maret 1966. Pada waktu itu, Kompas belum terbit pada hari Minggu, maka salinan Supersemar baru dapat dimuat pada Kompas, Senin, 14 Maret 1966.
Dalam berita utama (headline) halaman 1, Kompas, Senin, 14 Maret 1966, juga diabadikan bahwa dalam surat pelaksanaan Supersemar yang ditandatangani Letnan Jenderal Soeharto atas nama Presiden Soekarno, Soeharto menghilangkan klausul tiga dari Supersemar yang menyebutkan, supaya Soeharto "melaporkan segala sesuatu jang bersangkut-paut dalam tugas dan tanggung-djawabnya seperti tersebut di atas".
Dan, sejarah kemudian mencatat bahwa Soeharto menggunakan Supersemar untuk berbagai hal atas nama Soekarno, tanpa melaporkan segala sesuatunya kepada Soekarno.
Memang salinan itu bukanlah naskah yang asli. Namun, melalui salinan itu, orang dapat mengetahui isi naskah asli Supersemar. Untuk kebenaran sejarah, salinan naskah asli dapat digunakan untuk mengetahui isi yang sesungguhnya. Namun untuk keperluan arsip, memang diperlukan naskah asli.
Mempersoalkan keaslian kadang bisa jadi sulit. Contohnya, mempersoalkan naskah asli Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Naskah itu awalnya tulisan tangan Soekarno lengkap dengan coretannya yang kemudian diketik sesuai naskah tulisan tangan Soekarno. Pada 17 Agustus 1945 pukul 10.00, Soekarno membacakan naskah yang diketik. Lalu, orang mempersoalkan mana yang lebih asli, naskah dengan tulisan tangan atau yang diketik.

No comments:

Post a Comment