JAKARTA, KOMPAS — Pemodelan terbaru yang memproyeksikan dampak pencairan es di Antartika, kenaikan muka laut global pada 2100 setara 1,14 meter. Tahun 2500, kenaikan bahkan mencapai 13 meter. Meski akurasinya diperdebatkan, kondisi ini mengancam daerah-daerah pesisir di dunia.
Garis pantai timur laut Greenland, satu dari dua pegunungan es besar di Bumi selain Antartika, terlihat dalam foto udara yang dipublikasikan Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA), Selasa (29/3). Pemanasan global mempercepat pencairan es di Antartika dan menambah tinggi permukaan air laut. (AFP/NASA)
Pemodelan terbaru itu dilansir BBC, Rabu (30/3), yang antara lain menyebutkan faktor pemanasan atmosfer akan menjadi faktor dominan hilangnya es. Penelitian-penelitian sebelumnya tidak banyak mengeksplorasi faktor menghangatnya atmosfer.
”Alasan mengapa model lain tak mencakup pemanasan atmosfer, karena itu belum mulai terjadi,” kata David Pollard, asisten penulis dari Penn State University, Amerika Serikat.
Menurut Pollard, pencairan es di Antartika baru mulai musim panas ini. ”Seiring pemanasan, bagian sisi Antartika akan mulai mencair secara drastis dalam waktu 50-100 tahun,” katanya.
Para pembuat model percaya penelitian mereka akurat karena mampu membuat replika kenaikan tingkat permukaan laut pada periode hangat, dari lini masa jutaan tahun lalu hingga kini.
Kepala Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara pada Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Dodo Gunawan menilai, pemodelan itu rasional. ”Pencairan es Antartika itu sangat logis sebagai konsekuensi pemanasan global,” kata Dodo.
Dampak buruknya adalah meningkatnya level permukaan air laut yang berdampak bagi Indonesia yang merupakan salah satu negara kepulauan. Jutaan warga pesisir di Indonesia pun kini didera genangan abadi air laut.
Saat ini, puluhan juta jiwa menghuni pulau-pulau kecil dan kawasan pesisir Indonesia. Di beberapa kota besar, termasuk Jakarta dan Semarang, kenaikan muka air laut diperparah penurunan muka tanah karena sifat alami ataupun penyedotan air tanah diikuti beban bangunan.
Di pesisir utara Semarang, tak sedikit rumah warga yang ditelantarkan karena tergenang air laut. Ada yang bertahan dengan menanggul sekitar rumah hingga menaikkan fondasi rumah.
Persoalan jamak yang terjadi di semua kawasan pesisir adalah ketersediaan air bersih layak minum. Membeli air dalam jeriken setiap hari sudah menjadi keseharian. ”Kita harus menyiapkan diri, seperti memikirkan relokasi di sejumlah kawasan,” kata Dodo. Juga menggalakkan upaya pencegahan dampak buruk perubahan iklim, seperti penanaman mangrove di pantai.
Meski demikian, yang terjadi di sejumlah daerah, kawasan hutan mangrove justru dibabat atas nama perkembangan industri. Di Balikpapan, Kalimantan Timur, kawasan mangrove yang dibudidayakan warga justru akan dibuka untuk industri.
Upaya global
Di tengah ancaman kenaikan muka laut global hingga 1 meter pada 2100, prediksi lain menambah kekhawatiran. Kenaikan muka laut itu akan meningkat dua kali lipat dari perkiraan, terutama jika masyarakat dunia tidak berbuat apa-apa.
Tanpa pembatasan paparan emisi karbon dioksida secara global, yang antara lain disumbang aktivitas industri tidak ramah lingkungan dan kebakaran hutan dan lahan, kenaikan muka laut hingga dua kali lipat dari prediksi awal akan terjadi dalam 100 tahun mendatang.
Sebelum rilis pemodelan terbaru itu, Panel Ahli Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) yang beranggotakan 1.500 peneliti—bekerja di bawah Kerangka Kerja PBB untuk Konferensi Perubahan Iklim (UNFCCC)—mengeluarkan analisis pada 2013 bahwa tanpa upaya berarti mengurangi emisi penyebab pemanasan global, kenaikan muka laut pada 2100 mencapai 98 sentimeter.
Burung Penguin bermain di atas es yang sebagian mencair di Dumont d' Urville di Antartika dalam dokumentasi foto tanggal 22 Januari 2010. (Reuters/Pauline Aski)
Menurut Dodo, pada diskusi IPCC sebelum 2015 disebutkan, secara umum negara di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, akan mengalami kenaikan muka air laut 40-60 sentimeter sampai akhir abad ini. ”Faktanya, kenaikan muka air laut tiap tahun lebih cepat dengan suhu terus menghangat,” katanya.
Pada 2014, Badan Atmosfer dan Kelautan Nasional AS (NOAA) mencatat, suhu tertinggi rata-rata terjadi pada Juni-Agustus sebesar 16,4 derajat celsius. Itu lebih tinggi 0,71 derajat celsius dari rekor 1998, dan suhu tertinggi sejak pencatatan suhu 1880.
Tahun 2015, yang dibarengi fenomena El Nino, NOAA mengumumkan rekor suhu tertinggi, yaitu meningkat 0,16 derajat celsius dibandingkan tahun 2014. Secara keseluruhan, suhu tahun 2015 adalah 0,9 derajat celsius di atas suhu rata-rata abad ke-20.
Kondisi itu menjadi rujukan global, dunia harus bergerak cepat menurunkan laju emisi gas rumah kaca (GRK), unsur kimia di atmosfer yang memerangkap ultraviolet di Bumi yang memicu pemanasan global dan perubahan iklim.
Komitmen Indonesia
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya Bakar mengatakan, komitmen penurunan emisi Indonesia tidak akan lebih rendah dari janji yang diserahkan ke Sekretariat UNFCCC. Sumber emisi terbesar Indonesia masih berasal dari kebakaran hutan dan lahan.
Sebagai gambaran, emisi GRK Indonesia tanpa memperhitungkan kebakaran hutan dan lahan ”hanya” 1,45 persen dari emisi GRK global sebesar 37,17 gigaton setara CO2 (GTCO2e). Seiring kebakaran hutan dan lahan, emisi Indonesia mencapai 3 persen dari emisi GRK global.
Pada Konferensi Perubahan Iklim 2015 di Paris, Perancis, lebih dari 130 negara sepakat, kenaikan suhu Bumi harus ditahan tetap di bawah 2 derajat celsius pada tahun 2030 dibandingkan suhu era pra Revolusi Industri pada 1850. Jika di atas suhu itu, sejumlah negara kecil di Pasifik akan tenggelam.
Kabar buruknya, total komitmen penurunan emisi yang disodorkan seluruh negara peserta masih belum mampu menahan kenaikan suhu bumi tetap di bawah 2 derajat celsius. ”Penurunan emisi nasional kita tidak boleh tidak lebih ambisius dari komitmen global,” kata Direktur Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim KLHK Nur Masripatin. (JOY/RET/ICH)
Kompas, Jumat, 1 April 2016
No comments:
Post a Comment