Tim Peneliti Liang Bua menemukan fakta baru tentang keberadaan manusia kerdil Homo floresiensis atau biasa disebut Hobbit di Liang Bua, Flores, Nusa Tenggara Timur. Temuan ini mengoreksi penelitian sebelumnya yang menyebut kepunahan Hobbit terjadi pada 12.000 tahun lalu. Hasil penelitian selama delapan tahun terakhir justru menunjukkan bahwa Hobbit punah sekitar 50.000 tahun lalu.
Arkeolog dari Pusat Arkeologi Nasional, E Wahyu Saptomo (kiri) dan Jatmiko (kanan), mengamati replika tengkorak Homo floresiensis atau manusia Liang Bua, Selasa (16/12/2014), di Kantor Pusat Arkeologi Nasional, Jalan Raya Condet, Pejaten, Jakarta. Selain Wahyu dan Jatmiko, dua arkeolog lain, yaitu Rokus Awe Due dan Thomas Sutikna, turut menemukan kerangka manusia kerdil asal Flores, NTT, ini. Akhir tahun lalu, keempat ilmuwan tersebut masuk dalam daftar ilmuwan paling berpengaruh 2014 menurut Thomson Reuters.(Kompas/Aloysius Budi Kurniawan)
Peneliti pada Program Asal-Usul Manusia Smithsonian Institution, Amerika Serikat, Matt Tocheri, mengatakan, pada penelitian Liang Bua 2001-2004, ekskavasi dilakukan pada deposit tanah yang telah tergerus erosi dan tertutup sedimen tanah muda. Akibatnya, hasil penanggalan pada lapisan arang di lapisan tanah itu menunjukkan usia 20.000 tahun lalu.
Namun, saat dilakukan penggalian kembali pada lapisan tanah yang masih lengkap dan belum terkena erosi, peneliti menemukan fakta bahwa seluruh tinggalan kerangka Hobbit berusia 100.000-60.000 tahun. Adapun artefak-artefak batu yang diduga dibuat oleh spesies ini berumur hingga 50.000 tahun lalu.
"Dalam penelitian lanjutan selama delapan tahun terakhir, kami melakukan penanggalan (dating) dengan Uranium -series, Argon-argon, dan Luminescence. Hasil dari ketiganya hampir sama, yaitu usia kerangka Hobbit 100.000 dan 60.000 tahun lalu," kata Matt yang juga paleontropolog Universitas Lake Head Kanada, Rabu (30/3), di Pusat Arkeologi Nasional, Jakarta.
Peneliti utama Liang Bua dari Pusat Penelitian Arkeologi Nasional yang tengah menempuh studi S-3 di Universitas Wollongong, Australia, Thomas Sutikna, menjelaskan, setelah penggalian diperluas, tampak semakin jelas bahwa terdapat tumpukan deposit tanah cukup luas dan tua yang digerus oleh erosi permukaan sehingga membentuk lereng curam ke arah mulut gua. Kondisi ini mengakibatkan lapisan tanah agak miring dan tidak berurutan sesuai masanya.
"Usia sedimen yang menutupi itu semula diperkirakan seusia atau semasa dengan peninggalan-peninggalan Hobbit. Namun, dalam ekskavasi-ekskavasi dan analisis mulai 2007 hingga 2014, terungkap ada lapisan tanah lain yang masih lengkap dan kompleks," ujar Kepala Bidang Konservasi dan Arkeometri di Pusat Penelitian Arkeologi Nasional E Wahyu Saptomo.
Punah bersama fauna
Peneliti memperkirakan, Hobbit punah sekitar 50.000 tahun lalu. Kepunahan manusia kerdil ini bersamaan dengan hilangnya spesies fauna di sekitar Liang Bua yang meliputi burung pemakan bangkai, burung bangau Marabau raksasa, Stegodon pygmy (gajah purba mini), dan komodo.
Menurut Matt, diduga ada jalinan simbiosis mutualisme antara Hobbit dan hewan-hewan tersebut. Karena itu, saat salah satu di antaranya punah, yang lainnya ikut serta menghilang. "Belum ada bukti pasti mengapa mereka hilang dalam waktu bersamaan. Yang jelas, Hobbit, Marabau raksasa, burung pemakan bangkai, dan komodo sama-sama membutuhkan makanan dalam jumlah banyak dan mangsa yang tersedia saat itu adalah gajah mini. Ketika gajah mini punah, makanan mereka habis. Itu perkiraan kami," ucapnya.
Profesor Richard "Bert" Roberts, anggota dewan peneliti Universitas Wollongong, menambahkan, hingga kini belum ditemukan jawaban apakah para Hobbit sempat bertemu dengan kelompok-kelompok manusia modern yang menyebar melintasi Asia Tenggara lewat Flores dan mencapai Australia sekitar 50.000 tahun lalu. Menurut dia, hal ini merupakan pertanyaan yang terbuka dan menarik untuk diteliti lebih lanjut.
Menyikapi penemuan terbaru Situs Liang Bua, Kepala Pusat Penelitian Arkeologi Nasional I Made Geria yakin masih banyak misteri-misteri lain Liang Bua yang belum terpecahkan. "Penemuan ini kian menantang kita untuk terus menggali lebih dalam tentang keberadaan manusia kerdil di Liang Bua," paparnya.
ISitus Liang Bua di Desa Liang Bua, Kecamatan Rahong Utara, Manggarai, Nusa Tenggara Timur, Sabtu (17/1/2015). Tempat ini merupakan lokasi ditemukannya Homo floresiensis pada 2003. (Kompas/Raditya Helabumi)
Fosil Homo floresiensis (Kompas.com)
Perbandingan tengkorak orang kerdil dari Flores (Homo floresiensis) (kiri) dengan Homo sapiens. Dalam hal ukuran, tengkorak Homo floresiensis sebesar tengkorak anak usia tiga tahun pada manusia modern.. (Nature/National Geographic News/Peter Brown)
Salah satu warga berpostur pendek dari Kampung Rampasasa, Ruteng, Kabupaten Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur, Jumat (22/10/2010), melihat kondisi situs Liang Bua yang menjadi lokasi penemuan fosil manusia purba. Sebagian warga Kampung Rampasasa memiliki tubuh kerdil dengan tinggi sekitar 130-145 sentimeter sehingga sering dikaitkan dengan penemuan fosil manusia purba yang juga berukuran kerdil. (Kompas/Iwan Setiyawan)
(ABK)
Kompas, Kamis, 31 Maret 2016
No comments:
Post a Comment